Type something and hit enter

author photo
By On

 

cerpen blog

CERPEN BLOG. Ini tengah malam menjelang dini hari jika kamu ingin tahu. Sekitaran pukul satu lebih sepuluh aku menemukan tulisan itu. Sempat terpikir, "Kok ada tulisan seperti ini di internet". Dan, bukan cuma satu tapi banyak orang dengan nama anonim atau bahkan dengan namanya sendiri yang berani menyuarakan hal ini. Ini gila kupikir. Atau aku yang terlalu anti sosial atau aku yang terlalu hidup di bubble-ku sendiri sampai tak tahu bahwa orang-orang kini sudah berani menyuarakan apa yang dulu dianggap tabu. Aku klik link tersebut dan menemukan bahwa ada kata-kata dan idiom yang sebelumnya tak pernah aku tahu. Akun ini nampaknya datang dari pikiran anak yang baru berumur belasan tahun, mungkin mendekati dua puluh. Judulnya bertuliskan "Tolong Aku Untuk Bundir". Bundir? Ku pikir sejenak kata apa itu sampai akhirnya aku menemukan tebakan yang pas dan yakin kemungkinan bundir adalah singkatan dari bunuh diri. 


Pikiran tentang bunuh diri itu terbawa sampai aku bangun keesokan harinya. Masih berkesan seperti beraroma aneh di pikiranku. Janggal tapi ini sebuah fenomena yang sedang terjadi. Apakah dunia sosial kita sepatah ini sampai ada anak yang tak ingin melanjutkan hidupnya? Lamunanku terganggu dengan kehadiran temanku Tri.

"Ngelamun mulu luh. Kesambet setan TikTok lu entar."

"Eh lu, Tri. Ke mana aja lu baru keliatan?"

"Ada, lu nya aja yang enggak pernah ngantor. Mentang-mentang bisa kerja dari rumah lu."

"Kalo bisa di rumah ngapain ngantor, Tri. Males gua macet-macetan di jalan."

"Kenapa lu keliatan ngelamun? Ada masalah lu?"

"Enggak, gua lagi kepikiran aja tulisan dari akun tadi malem di satu medsos."

"Apa katanya?"

"Masa ada yang minta tolong buat bantuin bunuh diri?"

"Lah, banyak kali. Temen adek gua sampe ada yang live mau bunuh diri."

"Serius lu, Tri?"


Ku pikir tulisan semalam sudah epic. Ternyata masih ada yang lebih epic. Tri menyadarkanku dari hidupku yang lebih banyak hidup di gua dan terisolasi dari dunia luar. Kegiatanku hanya bekerja, makan-minum lalu bekerja lagi. Membuat laporan, audit sana-sini lalu tidur. Begitu terus setiap hari sampai aku hampir tak pernah melihat matahari. Simpatiku tak sampai di situ saja tapi juga sampai ke perasaan. Aku merasa kasihan pada mereka yang tak pernah merasakan indahnya hidup walau sedetik. Apakah hidup mereka semenyedihkan itu sampai ingin mengakhiri hidup mereka sendiri? Lantas apa arti hidup untuk mereka?


Setelah berpamitan dengan Tri kami berpisah di lobi kantor lalu menuju parkiran masing-masing. Ini waktunya kami menerjang kemacetan kota dan menghirup polusinya yang tak sedap untuk paru-paru juga berpotensi kanker. Sepanjang jalan menuju rumah perkara bunuh diri ini masih saja merecoki pikiranku. Kenapa, kenapa dan kenapa adalah kata pertama yang hadir di pikiranku selama perjalanan ini. Lihat, tukang asongan itu sudah tua dan kelihatan kelelahan tapi sepertinya semangatnya masih ada. Atau bahkan pengemis sekali pun mereka tetap hidup walau bisanya hanya mengemis. Sampai akhirnya tebersit sebuah ide untuk menuliskannya juga di medsos yang sama. "Kenapa kalian ingin bunuh diri?"


Ide yang aku dapat sepanjang jalan tadi akhirnya aku eksekusi walaupun jari-jariku sempat ragu apakah aku bakal menerima komentar yang tak sedap jika aku tekan enter ini. Tak butuh waktu lama postingan-ku direspon oleh seseorang yang tak kukenal dengan nama anonim. Ia menjawab pertanyaanku dengan kalimat yang panjang dan pilu untuk dibaca. Isi komentar itu penuh dengan kegundahan hati dan kesedihan dahsyat yang ia terima dari masalah keluarganya yang abusive. Lalu ada lagi respon dari seorang dengan nama jelas di akunnya, seorang nama perempuan lebih tepatnya. Ini, hampir sama dengan akun yang sebelumnya menceritakan alasan ia ingin bunuh diri tapi dilatarbelakangi oleh kecacatan di dirinya yang tak bisa diterima oleh keluarganya. Dia menceritakannya dengan kalimat yang bagus tanpa ada singkatan-singkataan yang bertujuan mengetik lebih cepat. Seolah dengan mengetik dengan benar orang lain ingin betul-betul mengerti perasaannya bahwa ceritanya ini benar datang dari cerita hidupnya yang berantakan. Dan, memang betul aku pun merasakan apa yang ia rasakan lewat ketikan tangannya tersebut. Anehnya dari beberapa akun tersebut aku bisa menyimpulkan dengan kasar bahwa di balik akun itu banyak sosok perempuan.


Ya, aku akhirnya ikut merasakan apa yang mereka rasakan lewat cerita-cerita mereka. Ini hari kedua sejak aku menemukan postingan bundir atau bunuh diri itu. Tapi aku bisa apa? Apa yang bisa aku bantu sementara aku tak kenal dengan mereka secara personal. Sedetik aku berpikir untuk tidak memedulikan itu semua karena mereka orang asing di hidupku. Namun akhirnya pekerjaanku lah yang menyelamatkanku sejenak dari pikiranku yang berputar di masalah bunuh diri tersebut.  

Baca Juga : Capeknya Perhatian Tapi Tak Diperhatikan

Tapi di sela istirahatku pikiran itu menyerang lagi tapi dengan porsi yang berbeda. Ia membawa ide untuk menyuruhku lebih mengenal lagi masalah yang dialami oleh salah satu akun yang akunnya tidak digembok. Ya, karena jika akun tersebut digembok aku tidak bisa mengirim pesan sembarangan. Mungkin akun yang tidak digembok ini adalah orang yang lebih terbuka, pikirku. Selesai dengan semua pekerjaanku aku istirahatkan lagi mataku yang sejak tapi pagi memelototi laptop. Ototnya agak tegang sampai-sampai kepalaku terasa berat di belakang tengkuknya. Satu jam dan total dua jam mataku akhirnya merasa rileks kembali dan siap membuka laptop-ku lagi. Ku tunaikan niatku tadi siang untuk mengirim pesan pada salah satu akun itu, namanya Bunga. Ku usahakan agar gaya mengetikku tidak norak dan terkesan sok akrab. Ku tulis dalam kalimat yang mudah dipahami dan sesingkat mungkin. Setelah yakin ku kirim pesan itu tanpa ada harapan dibalas dengan cepat. Tapi, sebuah bunyi notifikasi datang beberapa menit kemudian. Ternyata pesanku langsung dibalas. Bunga membalas pesanku dengan antusias terlihat dari panel online-nya ia sedang mengetik lalu mengetik lagi yang tandanya kalimat yang ia sampaikan sangat panjang.


Keesokan harinya setelah semalam berhasil berbagi pikiran dengan Bunga lewat fitur pesan itu pikiranku agak tenang karena ada beberapa kegundahanku terjawab. Aku berhasil berbagi keresahan dengan akun Bunga tersebut. Tampaknya masalah hidupku tidak ada apa-apanya dibanding masalah hidup yang dialami olehnya. Dengan intensitas berkirim pesan ini yang sudah berhari-hari aku seperti menemukan dunia baru lewat cerita orang lain. Aku memutuskan untuk berteman dengan Bunga di medsos yang lain dan ia ternyata sangat senang lalu ia ceritakan lagi lewat pesan padaku. Berbulan-bulan kami saling berkirim pesan dan berbulan-bulan itu tanpa sadar aku telah memberikan pemahaman baru di hidupnya. Sama halnya ia yang memberikan pemahaman baru di hidupku sampai aku keluar dari bubble-ku sendiri. Yang lebih mengejutkan lagi adalah ia tak punya pikiran lagi untuk bunuh diri. Ternyata mereka hanya butuh seseorang untuk bisa mendengarkan apa yang sedang mereka rasakan. Istilah dari bahasa Inggris itu ternyata benar, "sharing is caring".

0 Comments