Type something and hit enter

author photo
By On

cerpen blog


CERPEN BLOG. "Kamu tuh anak sulung. Kamu harus bisa membimbing adik-adikmu". Itu adalah kalimat yang dilontarkan ayahnya yang sampai sekarang masih terngiang di kepala Angga. Angga masih berumur dua belas tahun kala itu sedangkan adiknya Mila masih berumur lima tahun  dan adiknya Naura berumur tiga. Sedari kecil Angga selalu berusaha melindungi dan cenderung mengalah pada adik-adiknya dalam hal apa pun. Saat adiknya bermain di rumah, Angga yang selalu mengawasi padahal ia ingin bermain juga bersama temannya. Tapi Angga memilih untuk melaksanakan tugasnya sebagai kakak yang katanya harus melindungi adik-adiknya. Di sekitar teman sebayanya hanya Angga yang menjadi anak sulung yang memiliki adik bahkan sampai dua. Temannya yang lain hampir kebanyakan adalah anak bungsu  atau bahkan ada satu atau dua orang adalah anak semata wayang di keluarganya. "Ga, tar pulang sekolah maen PS yuk di rumahku!", tawaran bermain semacam itu tak akan pernah berhasil diiyakan oleh Angga. Angga sudah pasti akan selalu menjawab, "Kayaknya gak bisa deh. Aku harus jagain adikku". Sebagai kakak, Angga tak bisa menelantarkan tugasnya di rumah. Walaupun bisa tapi Angga tak mau membangkang dan tidak peduli pada tugasnya bahkan sampai ia tumbuh dewasa. 


Sayangnya, seiring waktu Mila tumbuh menjadi gadis yang manja cenderung cengeng dan Naura tumbuh menjadi gadis yang tak mau mendengar cenderung egois. Entah siapa yang salah, tak ada yang bisa disalahkan dari sifat anak manusia. Tapi Angga tetap menjalankan tugasnya sebagai kakak yang katanya harus melindungi adik-adiknya. Apalagi setelah kepergian ibunya dan juga ayahnya yang menikah lagi dengan perempuan lain. Momen ini sempat membuat Angga terpukul dan membuatnya menjadi anak yang pendiam. Angga tak pernah mendapat kesenangan dan kebebasan bermain dari sejak kecil dan kini pun harus merasa terbebani dengan urusan adik-adiknya. Tapi Angga hampir tak mengeluarkan keluhan sedikit pun terucap keluar dari mulutnya. Hati Angga sekeras batu untuk bisa dihancurkan oleh keputusasaan dan kesedihan. Umur Angga sudah sembilan belas tahun sekarang sedangkan Mila sudah dua belas tahun dan Naura sepuluh. Di umur semuda itu Angga harus sudah bisa mencari nafkahnya sendiri dan juga membantu adik-adiknya. 


"Bang, beliin aku HP baru dong. HP yang ini udah lemot banget", Mila selalu lantang saat meminta sesuatu. "Bang, kamu tuh bisa enggak sih peduliin aku? Kamu kerja mulu tapi enggak pernah peduliin adik sendiri", Naura selalu lantang saat menuntut untuk diperhatikan. Sedangkan Angga hanya bisa diam dan ingin mengeluh tak tahu pada siapa. Padahal Mila baru saja dibelikan HP baru dan Naura selalu ada di pikiran Angga. Bahkan Angga tahu jadwal menstruasi adiknya itu karena ia harus membelikannya pembalut tiap bulan. Bagaimana mungkin ia tak peduli pada adik-adiknya, pikirnya. Di umurnya yang kini sudah dua puluh lima, terasa sama saja seperti umurnya saat dua belas tahun yang tak bisa bebas bermain atau melakukan apa yang ia inginkan. 

Baca Juga : Ban Cadangan

Tiba waktunya bagi Angga menuntun tangan adiknya untuk kemudian diserahkan pada laki-laki lain. Mila memutuskan menikah muda saat usianya baru menginjak dua puluh satu tahun. Ia menemukan pria mapan yang sangat bisa memenuhi apa saja yang ia inginkan. Pria yang berpenghasilan dari tambang nikel di pulau seberang. Pria yang juga punya sumber penghasilan kelapa sawit di tangannya. Nampaknya Mila tak akan butuh lagi meminta sambil merengek pada kakaknya itu. Mila akan hidup dengan sangat nyaman, pikir Angga. Dan, yang paling mengejutkan adalah Naura. Di umurnya yang baru dua puluh tahun ia memutuskan untuk pindah kewarganegaraan menjadi Kanada karena ia tak mau hidup di negara yang menurutnya susah untuk mencari kerja. Ia menemukan iklan di media sosialnya tentang Kanada yang mengajak siapa pun dengan skill apa pun untuk menjadi warga negaranya. Yang tanpa basa-basi Mila mengajukan diri untuk itu dan ternyata berhasil. Setelah belasan test telah ia jalani dan puluhan dokumen telah ia siapkan tak lebih dari tiga bulan ia berangkat untuk menetap selamanya di Kanada. Sedangkan Angga, ia tak bisa mencegah keputusan Naura tersebut. Dalam hati kecilnya, Angga merasa kehilangan tapi entah dengan kedua adiknya apakah merasakan hal yang sama atau tidak. Sebab tak ada kata perpisahan atau pun ucapan terima kasih dari mulut mereka pada kakaknya yang sudah mengurus mereka sejak kecil.   


Kini sudah menuju tahun kedua Angga menunggu kabar dari kedua adiknya, tak satu pun memberi kabar tentang mereka masing-masing. Mila yang masih hidup satu negara dengan kakaknya pun seperti sangat sibuk bahkan untuk membalas teks pesan dari Angga. Naura? Angga hanya bisa melihatnya di media sosial. Pada awalnya Naura hanya membalas direct message dari Angga sesekali. Tapi kini isi direct  message yang terakhir Angga kirim pun tak berhasil ia balas. Di renungan dalam duduk diamnya di atas sofa rotannya Angga merasa sentuhan halus di pundak kanannya. "Masih nungguin kabar dari adikmu, Mas?", Sindi lalu ikut duduk di samping suaminya itu. "Iya, mereka belum balas pesanku", suara Angga begitu kecil. "Mas, aku enggak akan menghakimi adik-adikmu seperti apa. Tapi yang pasti aku enggak mau anak-anakku kayak mereka. Aku pengen anakku saling membantu dan perhatian satu sama lain. Enggak ada yang merasa menanggung bebas atas yang lain. Mereka harus mandiri sebagai manusia", panjang lebar Sindi menjelaskan. Dalam senyum renyahnya Angga memeluk erat istrinya dan ia hanya menjawab "Ya, aku setuju"

 

0 Comments