Type something and hit enter

author photo
By On

cerpen blog


CERPEN BLOG. Dia menyaksikan korupsi itu terang-terangan di atas meja yang dulu adalah miliknya. Abdul, setahun yang lalu masih menjabat sebagai bawahan dari seorang kepala daerah. Meja itu menjadi satu-satunya saksi bahwa Abdul adalah satu-satunya staff yang bersih di lingkungan yang kotor tersebut. Tidak ada transaksi bawah tangan yang ia lakukan di  meja itu. Abdul selalu menjaga meja itu bersih dari kelicikan dan kemunafikan transaksi jual beli peraturan. Ia muak dengan semua orang-orang korup yang ada di sekitarnya dan hampir bisa dipastikan tak ada satu pun yang bersih. Boleh jadi pernah ada satu orang tapi layaknya air bersih yang masuk kubangan lumpur, air itu akan ikut menyatu menjadi lumpur. Butuh air deras dan sangat banyak untuk bisa mengubah satu kubangan lumpur menjadi kolam yang jernih. 


Tapi hari ini ia saksikan sendiri bahwa meja yang selalu ia jaga kesuciannya kini kotor oleh praktek suap salah satu perusahaan mega konstruksi untuk melancarkan proyeknya demi keuntungannya sendiri dan mengorbankan kepentingan publik. Dan, yang lebih kotor dari itu adalah tangan si penerima suap. Orang itu berdasi coklat dengan postur tubuh yang tegap dan atletis untuk ukuran pria yang sudah berumur lima puluh tahun. Abdul tidak tahu siapa orang itu karena orang itu orang yang menggantikan jabatannya di sana. Abdul disingkirkan karena tak mau ikut terlibat dalam proyek korupsi ratusan milyar tersebut. Dari rekaman video pengintai itu Abdul berdecak kesal disaksikan oleh dua matanya yang melotot. 


"Lihat, Nak. Bapak tak akan pernah sudi jika kamu bertingkah seperti orang ini", ucap Abdul pada anaknya Farad. Abdul sengaja mengajak anaknya untuk ikut menonton adegan tersebut karena konten seperti ini tak akan pernah ditayangkan di televisi mana pun. Umurnya masih enam belas tahun tapi Abdul ingin anaknya tahu bahwa anaknya tersebut tinggal di negara yang mana korupsi sudah menjadi budaya sampai ke akarnya. "Ini alasan kenapa Bapak disingkirkan dari sana", tatapannya kemudian ke arah Farad. Farad hanya diam dengan wajah yang berekspresi hampir seperti orang yang terhipnotis fokus pada layar monitor kecil sebelas inch yang hampir tak berwarna itu. "Kenapa Bapak bisa punya rekaman video ini?", Farad akhirnya bertanya. "Bapak sengaja memasang kamera pengintai dan microphone nano ini sehari sebelum Bapak keluar dari sana. Bapak pasang di tempat yang tak pernah mereka jangkau dan Bapak samarkan sebaik mungkin". Memang kondisi di kantor itu hampir tak pernah ada inspeksi sekali pun baik itu untuk urusan kelayakan gedung atau sekedar membersihkan lubang ventilator. Lalu Abdul memanfaatkan kelemahan itu untuk bisa mengungkap kasus korupsi itu sendirian. 


"Ini bukti yang kuat , Pak. Ayo lapor ke kantor urusan rasuah", desak Farad. "Tidak, Bapak masih ingin menunggu sampai dalang dari ini semua muncul atau setidaknya namanya disebut", ucap Abdul tegas. Farad kembali terdiam tapi sambil terus memandang pada bapaknya yang tetap pada layar monitor kecil itu. Di benaknya Farad masih belum begitu paham harus apa dan bagaimana menyikapi persoalan seperti ini. Ia hanya bisa diam dan menyaksikan bapaknya yang keras pada ideologinya itu. "Bapak sudah hampir setahun mengintai kantor ini, baru ini rekaman yang tertangkap jelas di atas transaksi mereka itu", lanjut Abdul. Farad mencoba mencerna ucapan bapaknya yang membuat akhirnya ia putuskan untuk mengagumi sikap bapaknya yang heroik ini. Umurnya masih belasan tapi pola pikirnya sudah ditempa oleh Abdul untuk membenci ketidakadilan sekecil apa pun. Bahkan untuk urusan meminjam uang teman yang hanya seratus rupiah ia harus kembalikan dengan segera. 


Jam di dinding menunjuk ke arah angka sepuluh dan dua di waktu tengah malam. Sepeninggal ibunya, Farad dan Abdul mereka hanya tinggal berdua di rumah itu. Rumah yang sangat sederhana jauh dari kata mewah hanya rumah tipe perumahan rakyat jelata. Abdul hidup dari gaji sebagai pegawai pemerintah dan hanya itu yang ia ambil. Tak ada uang tambahan atau uang sogokan sedikit pun dari kekuasaanya sebagai pegawai pemerintahan. Ia menjadi staff langsung di bawah kepala daerah yang harusnya ia punya sedikit kekuasaan walaupun tidak mutlak. Di kondisi yang hampir hening selama belasan menit Farad mengangkat kepalanya lalu bertanya, "Kenapa Bapak memperlihatkan ini sekarang ke Farad?. "Ya, kamu tahu Bapak dari dulu muak dengan perilaku rendahan seperti ini. Dan, Bapak tak bisa menjaga ini sendirian. Bapak ingin kamu menyalin video ini ke hard disk yang kamu punya", jawab Abdul lugas. "Jangan, jangan di hard disk. Di sini saja", kemudian Farad membuka laptopnya lalu menyalin video itu ke penyimpanan online. Ia tahu hard disk bisa diambil oleh siapa saja atau bahkan dihancurkan. Ia cukup cerdik untuk anak umur belasan tahun. Dan mereka mengakhiri obrolan tersebut pada waktu jam dinding menunjuk angka di sepuluh lewat dan angka tujuh. 

Baca Juga : Tolong Aku Untuk Bundir

Dalam usahanya untuk mengistirahatkan tubuh, alih-alih pulas malah kegelisahan yang dialami Farad. "Ini bakalan jadi kasus besar di kemudian hari", pikirnya sendiri. Pikiran Farad melanglangbuana pada aktor-aktor di balik mega korupsi tersebut. Ia mencoba mengingat satu per satu tokoh yang pernah ia temui saat bapaknya membawanya ke acara kantornya. "Adakah orang yang bisa dipercaya?", batinnya. Lama bergelut dengan pikirannya sendiri akhirnya ia dibawa alam bawah sadarnya menuju mimpi. 


Hari berganti dan Farad harus menyiapkan sarapannya sendiri karena bapaknya ternyata sudah pergi sejak tadi pagi sekali. Tak aneh karena memang Farad sering menyiapkan sarapannya sendiri. Kemudian ia siap untuk pergi sekolah tapi ia sempat menengok kamar bapaknya, entah angin apa padahal ia pasti tahu bapaknya sudah pergi dan tak ada di kamar. Namun tak seperti biasanya tempat tidur yang harusnya rapi ini terlihat berantakan tak seperti biasanya. Tak menghiraukan itu ia lalu bergegas menuju motor cungkringnya dan tancap gas menuju sekolah. Sampai di sekolah pikirannya masih terganggu dengan video semalam. Visualisasi video itu masih terus datang dan pergi di pikirannya dan ia tak bisa membicarakan hal semacam ini pada teman-temannya. Sepanjang jam sekolah ia berubah menjadi sosok yang pendiam dan sibuk dengan pikirannya sendiri. 


Matahari sudah meluncur ke barat dan langit akan berganti warna, Farad tiba di rumah masih dengan kondisi pikiran yang kalut. Ternyata kegiatan dan hiruk pikuk sekolah tak berhasil membuatnya lupa akan video itu walau sejenak. Ia dapati rumah masih kosong dan bapaknya belum pulang. Ia membersihkan diri lalu ia memutuskan untuk tidak tidur sampai bapaknya pulang. Tapi, tak ada tanda-tanda bapaknya akan pulang ke rumah. Hari berikutnya, hari berikutnya lagi, lalu hari berikutnya lagi sampai akhirnya bertahun-tahun. Tak pernah ada kabar dan bapaknya tak pernah pulang ke rumah itu lagi seolah dimangsa bumi.

0 Comments