![]() |
novel blog |
4 tahun berselang
Rabu, 18 Maret 2231
Aku sedang mengobrol dengan langit, hari ini aku diundang untuk menikmatinya pada sore hari dengan wajahnya yang menjelang senja. Dia dengan santai mendengarkanku tentang umurku yang bertambah, harus pisah sekolah dengan Lexa karena harus menempuh tingkat yang lebih tinggi. Sekolah Remaja menempuh waktu selama 6 tahun untuk lulus dan saat ini di awal semester kedua di tingkat satu. Kebersamaanku dengan Lexa di Sekolah Anak selama 6 tahun habis sudah, dengan total menjadi juara kelas sebanyak 3 kali dan Lexa 3 kali juga. Memang anak itu tak mau kalah sama sekali.
Suaraku mulai berubah lebih berat sekarang dan ternyata di leherku sudah tumbuh jakun, aku sedikit merasa aneh dengan perubahan ini. Tapi dibalik itu semua perasaanku jadi berbeda tak seperti biasanya, terhadap apapun. Dan yang paling aneh, aku sering memikirkan Lexa belakangan ini. Apa-apaan ini?
Langit masih tenang mendengarkan ocehanku yang dengan santai rebahan di atas atap rumah. Dengan suara-suara klakson kendaraan dari kejauhan yang seperti ikut bicara memotong obrolan kami berdua, mengganggu saja. Aku ada disini karena lebih suka di uar rumah saat sore hari, karena siang hari dengan kebiasaan panasnya membuat nafasku sedikit sesak. Diam di dalam ruangan saat siang hari terasa lebih sejuk karena oksigen kiriman dari perusahaan lebih terasa. Belum lagi jalanan yang semuanya terbuat dari metal membuat suhu udara berkembang biak panasnya, juara.
Semakin bertambahnya usia Planet Lyuon, oksigen semakin berkurang dan pemerintah memberikan pakaian bagi semua penduduk Orlanida yang khusus dibuat untuk melindungi dari kekurangan oksigen. Pakaian ketat dengan bahan yang khusus dibuat nyaman di kulit dan tombol helm yang akan terpasang otomatis saat ditekan, termasuk persediaan oksigen untuk 5 jam diharapkan membuahkan rasa aman. Kondisi planet yang sangat memprihatinkan. Pipa-pipa oksigen yang lama kurang menyuplai oksigen untuk seluruh wilayah Orlanida. Instalasi pipa oksigen sedang diperbanyak mengingat konsumsi oksigen sekarang bertambah banyak sesuai populasi yang bertambah juga. Semua harus memakai pakaian itu setiap hari.
Sesekali aku menengok ke bawah sekitar rumah, kulihat Brian tidur di bawah ayunan di halaman rumah dengan posisi tidur melingkar mungkin menghindar dari sinar matahari. Rumahku peninggalan kakek buyutku dan belum banyak direnovasi dan ayunan tetap dipertahankan. Aku dapatkan Brian dari pet shop yang berada di dekat sekolahku yang dulu. Aku lihat kucing berbulu tebal dengan pola warna abu-abu bergaris, dia lah Brian yang menarik mataku dan akupun mengadopsinya. Tentu saja dengan seizin Ibuku, aku meminta untuk mengadopsi Brian saat umurku 9 tahun dan masih di tingkat empat Sekolah Anak.
Aku mulai berpikir banyak tentang masa depanku, nilaiku sangat baik di sekolah dan aku harus tetap memertahankannya di sekolah yang baru. Dengan teman yang baru dan berbagai permasalahan yang baru juga, aku harus beradaptasi dengan cepat secepat lari cheetah. Tapi sayang cheetah tak bisa berlari bebas jika harus ada di kebun binatang. Maksudku, pikiranku yang sudah mengangkasa tapi harus ditahan kurikulum sekolah. Tapi ngomong-ngomong sebenarnya cheetah di Planet Lyuon memang hanya ada di kebun binatang sih. Pendidikan di Sekolah Anak menurutku hanya pengetahuan dasar soal angkasa luar, aku merasa itu belum cukup dan sangat ingin cepat mengangkasa. Apa mungkin ini yang namanya hormon pubertas, emosi kadang meluap-meluap dan kadang tak tentu arah.
Dan yang paling membuatku merasa aneh adalah ada perasaan yang sedikit tak biasa, merasa ada sesuatu yang kurang. Tapi apa? Lexa sekarang jarang menghubungiku. Terakhir kali mungkin seminggu yang lalu, apa karena itu? Apa mungkin karena Lexa? Akhir-akhir ini aku sering mengingatnya, bagaimana dia di sekolah barunya. Ah sudahlah, dia akan baik-baik saja.
Selasa, 23 June 2231
Pagi-pagi sekali aku sudah bangun, sekitar pukul 5 pagi seperti biasa. Kaca jendela terlihat masih basah sisa hujan semalam yang turun sekitar pukul 12 malam, aku sempat terbangun saat itu karena petir menyambar sangat hebat. Dan untuk pertama kalinya aku merasa sendirian di hujan seperti itu, lalu kutarik selimut untuk membungkus badanku rapat-rapat dan kembali tidur karena besok harus berangkat sekolah.
Ibu sedikit berteriak saat memberi tahu sarapan sudah siap karena kamarku di lantai atas. Saat sarapan holophone ku bergetar, ternyata dari Lexa. Sudah lama sekali sejak kita berpisah, ia mengirim holo message.
“Dre, apa kabar? Ini aku Lexa, kamu sombong sekarang. Kemana aja? Oh iya, nanti sore kamu ada di rumah kan? Aku ke rumahmu ya, boleh? Cepat balas oke.
Ia tampil beda sekarang, dengan potongan rambut lumayan pendek di bawah telinga. Tanpa banyak jurus lagi kubalas holo message dari Lexa, aku sangat senang kalau boleh jujur Lexa akan ke rumahku nanti sore. Saat itu Ibu menonton acara berita pagi di TV nasional, sayup-sayup kudengar SA-OD ( Space Agency- Orlanida ) akan meluncurkan roket ke luar angkasa akhir minggu ini untuk ekspedisi ke Planet Silver, tanggal 28 Juni 2231 Minggu tepatnya. Suatu hari nanti aku harus bisa masuk jadi bagian dari SA-OD.
“Oh iya Bu, nanti sore Lexa akan ke sini.”
“Lexa, sudah lama sekali ia tidak ke sini. Sudah Ibu bilang Dre, jangan banyak berantem dengannya.”
“Dia sibuk dengan sekolahnya, Bu.”
“Bukan berantem? Baiklah, salamkan dari Ibu nanti ya.”
“Oke, aku berangkat Bu.”
“Hati-hati di jalan, Dre.”
Dari pertama bertemu Ibuku sangat menyukai Lexa, katanya anaknya lincah dan pintar. Pernah suatu hari Ibu menggodaku, katanya nanti saat umurmu cukup untuk menikah nikahi saja Lexa. Ah, yang benar saja, masa aku harus menikah dengan Lexa, akan dibuat repot nanti karena harus sarapan uranium tiap hari ha ha ha. Ibuku ada-ada saja.
Jarak sekolahku ini hampir sama dengan sekolahku yang lama, kira-kira 30 menit dari rumah. Karena area tempat sekolah di Orlanida dikumpulkan di satu wilayah. Bus sekolah anak dan remaja semua menjemput di shelter Yosumi, jadi aku masih sering melihat bus sekolahku yang dulu. Tak banyak berubah semenjak satu tahun aku lulus dari Sekolah Anak Angkasa Orlanida. Sekolah Remaja Angkasa Orlanida terlihat lebih futuristik tapi masih ada unsur klasik dengan ornamen berbatu seperti zaman abad 21, zaman dimana musik rock berasal. Musik rock mulai kuperhatikan dan kudengarkan sekarang ini, seperti mewakili diriku yang sekarang.
Lexa mengganggu fokusku hari ini di kelas, rasanya tak betah ada di ruangan kelas sepanjang pagi tadi. Ayo siang cepat datang, aku harus bertemu Lexa. Saat istirahat aku sempatkan mengirim Lexa holo message.
"Hai, Lex. Bagaimana kalau aku jemput kamu pulang sekolah, kabari oke.”
Lexa memutuskan untuk bersekolah di luar wilayah sekolahku, bersebrangan sangat jauh. Sekolah putri dengan lingkungan asrama, jadi dia tak bisa sembarangan keluar masuk sekolah tanpa izin dari pihak sekolah. Holophone-ku berdering, Lexa memanggil untuk live hologramming. Seketika kuterima.
“Hai, Dre. Kamu mau jemput aku? Sekolahmu kan jauh dari sekolahku.”
“Aku bosan lewat jalur yang sama tiap hari Lex, boleh ya kujemput?”
“Oke kalau kamu mau, jemput aku jam 2 oke. Eh kamu tahu kan rute nya?”
“Tenang saja Lex, aku tahu.”
“Oke, aku tunggu ya. Dah.”
“Oke, dah.”
Jam istirahat kuhabiskan untuk mencari rute menuju sekolah Lexa, tadi hanya sok tahu di depan Lexa, biasalah akupun tak mau terlihat bodoh di depan dia ha ha. Setelah beres dengan urusan jalan aku kembali ke kelas untuk membuang waktu yang terasa lama ini. Saat Lexa dirumah nanti aku berencana memamerkan teleskop baruku, pasti dia ingin dibuatkan lagi teleskop yang sama dengan punyaku. Tapi tak akan segampang itu, syaratnya akan kubuat lebih berat untuk yang sekarang. Mungkin kuberi syarat untuk mengalahkanku di mata pelajaran olahraga, atau sekalian kutantang dia untuk lomba lari, pasti dia kalah. Dia paling tak bisa untuk urusan olahraga.
Di tahun pertama ini aku sedikit tak nyaman dengan suasana kelas, kadang perkelahian sering terjadi antar murid lelaki. Dari urusan sepele sampai urusan berebut perempuan kadang terjadi. Dari yang ingin menunjukkan dominasi sampai yang hanya ingin iseng mengganggu teman yang lain. Aku berusaha menghindari untuk urusan yang satu itu, tapi bila ada seseorang yang menggangguku aku tak akan segan melawan. Seperti tadi pagi, perkelahian dimulai saat aku datang ke kelas, entah apa yang mereka pertengkarkan, mungkin urusan perempuan lagi. Dan ternyata memang benar, urusan perempuan.
Mata pelajaran terakhir adalah fisika kuantum, aku cukup disibukkan dengan mata pelajaran yang lebih menantang kali ini, tidak seperti di Sekolah Anak dulu. Tapi pikiranku lebih terbuka setelah menginjak bangku Sekolah Remaja, aku harus segera menanggalkan sifat kenakak-kanakanku. Disini lebih berat, tak punya banyak waktu untuk bersantai. Disini, tak boleh lengah, seperti ada mata yang selalu mengintaimu.
Jam dinding menjadi pusat perhatianku di jam terakhir bel akan berbunyi, entah berapa kali aku memeriksa jarum jam berputar. Dan akhirnya bel berdering. Ah iya, aku harus menjemput Lexa. Dengan bergegas, kuambil jalur kereta bawah tanah agar perjalananku cepat sampai tujuan. Kereta biasanya belum terasa sesak oleh penumpang kalau hari masih siang, saat berjalan kusempatkkan menengok ke atas dan kulihat langit menjadi
lebih gelap, ada yang aneh dengan langit akhir-akhir ini. Kakiku akhirnya menginjak gerbong kereta lalu kuambil tempat duduk di dekat seorang bapak yang sibuk membaca. Ia masih mengenakan pakaian biasa dan ia terlihat santai dengan itu. Anjuran pemerintah adalah mengenakan pakaian yang melindungi diri dari kekurangan oksigen. Mungkin karena di kereta oksigen terjamin jadi ia merasa santai saja. Kereta melaju sangat cepat sekali, hanya belasan menit aku sampai ditujuan. Pintu kereta terbuka otomatis dan aku keluar bersama yang lain. Aku harus berjalan lagi beberapa menit untuk mencapai sekolah Lexa.
“Dreeee.”
“Hai Lex.”
“Dre, suaramu jadi aneh, apa kamu sakit tenggorokan? Terus itu lehermu kenapa?”
“Kamu juga berubah Lex”.
“Apanya? Jangan macam-macam Dre. Jangan senyum-senyum begitu”
“Kamu juga senyum-senyum, ayo kita berangkat sekarang”.
Kami mengobrol kesana kemari sepanjang jalan, Lexa bercerita kegiatan sehari-harinya di asrama perempuan yang membuatku membayangkan ada disana dikerumuni perempuan. Apa mungkin sanggup tinggal di lingkungan homogen, apalagi kalau semua seperti Lexa yang cerewet. Ia membawa teleskop buatanku ke asramanya, katanya teleskop itu selalu dipakai mengangkasa tiap akhir minggu saat libur sekolah. Membuang jenuh diantara perempuan.
Kami turun di stasiun O’Brian lalu naik bus ke shelter Yosumi dan diakhiri dengan berjalan, waktu perjalanan kami habiskan selama hampir 20 menit. Selama 20 menit itu semua pembicaraan didominasi oleh Lexa, siapa lagi. Saat tiba dirumah jam sudah mengarah ke angka 3, belum terlalu sore untuk menyaksikan wajah langit, tapi aku mengajak Lexa makan terlebih dulu.
“Sudah lama kita tak makan puff noodle bareng, Dre.”
“Terakhir kapan ya Lex, setahun yang lalu seingatku.”
“Dre, bagaimana sekolahmu?”
“Sekolahku lumayan lancar, Lex. Aku sudah mulai beradaptasi dengan suasana yang baru.”
“Baguslah, jangan sampai kangen aku ya. Ha ha ha.”
“Ha ha ha, aku? Kangen kamu yang cerewet seperti itu? Mana Mungkin. Ha ha ha.”
“Huh..seenaknya saja kamu Hercules.”
“Selesai makan aku akan tunjukkan sesuatu padamu, Lex.”
“Apa?”
“Lihat saja nanti.”
“Jangan buat aku jadi penasaran begini Dreo!”
Aku memperlihatkan teleskop baruku padanya, ekspresi wajahnya kulihat semangat sekali. Ia langsung mencoba meneropong ke arah langit.
“Dre, keren sekali. Yang ini lebih detail dan lebih jelas. Tapi lebih panjang sih daripada yang dulu.”
“Tapi bagus kan, Lex?”
“Dre, buatkan aku seperti yang ini.”
“Hmmm...bagaimana ya?”
“Ayolah Dre, please.”
“Oke, tapi ada syaratnya. Kamu harus mengalahkan aku lomba lari 100 meter.”
“Apa? kejam benar kamu Dreo.”
“Baik, aku terima tantanganmu.”
“Tapi nanti saat aku bilang siap, oke.”
Minggu, 28 Juni 2231
Hari ini sepertinya hari yang ditunggu-tunggu oleh sebagian orang untuk menyaksikan peluncuran roket ekspedisi Planet Silver menembus atmosfer Lyuon. Akupun salah satunya, tapi hanya menunggu untuk menyaksikan lewat siaran TV. Hampir sebulan terakhir siaran berita TV hanya sibuk menyiarkan kabar tentang peluncuran roket ekspedisi dari SA-OD. Beragam macam kontroversipun kadang diangkat ke media. Dan yang paling menghebohkan adalah kabar akan hancurnya Planet Lyuon dalam waktu dekat, aku dapat informasi itu dari acara talkshow yang diangkat salah satu channel dengan mendatangkan narasumber entah dari mana asalnya. Berbagai macam teori dipaparkan, dari teori efek rumah kaca yang semakin parah sampai oksigen yang benar-benar akan lenyap dari planet ini.
Hari ini sekolah libur memperingati hari raya Netiri bagi suku minoritas Hish yang dijadikan libur nasional. Jadi aku bisa lebih leluasa menyimak perkembangan dan menjadi saksi sejarah kegiatan luar angkasa SA-OD. Antusiasku tak terbendung, bahkan game mutakhir sekalipun tak bisa menggodaku untuk tak menyimak perkembangan dari SA-OD. Reporter TV dari channel berita favorit NTN masih mengabarkan situasi di sekitar peluncuran roket yang sudah mulai terlihat ramai oleh orang-orang yang penasaran ingin dibuat takjub dengan menyaksikan langsung roket terbang membelah langit Orlanida, dari kejauhan tentunya karena suaranya akan sangat bising.
Semua channel TV menyiarkan secara langsung peluncuran ini, hanya satu channel yang tidak ikut-ikutan kawan-kawannya, yaitu KidsToon yang masih menayangkan acara untuk anak-anak. Skechers, teman sekolahku memanggil lewat holophone untuk live hologramming saat aku asyik memerhatikan layar TV.
“Hai Dre, kamu lihat tidak Dr. Queen membeberkan rahasia kontroversi soal kiamat di TV?”
“Ya Sky, aku lihat tadi dan membuatku bingung. Menurutmu bagaimana?”
“Aku kan sudah bilang Dre, Dr. Queen bisa saja benar soal teorinya. Kita kan sudah pernah membahas itu di sekolah kalau kiamat sebentar lagi datang, kamu lihat kan gejala di alam?”
“Ya tapi tak bisa disimpulkan gitu aja kan Sky, teori harus ada bukti nyata bukan teori kontroversi.”
“Oke, itu kita bahas lagi nanti di sekolah. Dah.”
Skechers adalah penggemar Dr. Queen, dia yang memaksaku mendengarkan teorinya soal kiamat dan sebagainya. Nafasnya menderu saat kami membahas soal aksi-aksi Dr. Queen dimanapun, entah di sosial internet atau dimanapun. Skechers salah satu teman yang asyik untuk diajak debat soal kontroversi yang merebak di masyarakat. Tapi dia sering mencontekku untuk urusan pelajaran teknik. Dia tahu aku pernah membuat teleskop dan menurutnya itu keren. Dan terbukti kalau Sky penggemar Dr. Queen dia langsung menghubungiku saat tahu Dr. Queen tampil di TV.
Waktu peluncuran roket ekspedisi ini dijadwalkan pukul 10.00, dan sekarang masih pukul 09.00, satu jam lagi roket yang ditempel pesawat ulang alik Armadillo dengan awak astronot Sir Deniso Lazuard dan Sir Lang Gioni akan lepas landas dari pangkalan udara milik SA-OD di gurun Maya. Itu informasi yang diberikan oleh reporter TV secara langsung dari tempat peluncuran. Aku akan ingat nama-nama itu sebagai nama-nama hebat yang akan mengunjungi sahabatku, langit. Reporter memberi gambar yang menakjubkan lewat siaran TV pada pemirsa, termasuk akupun merasa takjub dengan melihat pesawat dan roket yang masih belum bergeming tegak berdiri menghadap langit. Luar biasa.
Kemudian, siaran langsung dialihkan pada Presiden Negara Orlanida yaitu Sir Manik Kanyopi yang akan memberikan pidato langsung di ruang kerja istana kepresidenan yang bertempat di ibu kota, Visonic. Visonic sangat jauh dari tempat tinggalku Yosumi, akupun belum pernah ke sana, hanya tahu lewat internet map di holophone-ku saja. Ibuku berkomentar sedikit tentang presiden Sir Manik Kanyopi, entah kenapa nadanya agak ketus kepadanya.
“Bu, Ibu pernah bilang ada sesuatu yang disembunyikan oleh pemerintah, apa itu?”
“Tanya saja pada orang itu”.
Ibuku menunjuk presiden Sir Manik yang sedang memberikan semangat dan doa pada ekspedisi ini, nada ibu sangat tidak enak.
“Apa itu, Bu?”
Ibuku malah pergi ke luar rumah duduk di teras ditemani Brian. Aku malah merasa Ibu yang menyembunyikan sesuatu padaku, bukannya pemerintah.
Dalam diam menghadap televisi mataku tiba-tiba mengarah pada foto ayah yang ditempel di dinding ruangan TV sebelah kiri, foto ayah dan ibu sih, tapi aku hanya memerhatikan sosok ayah yang tersenyum memeluk ibu. Aku tak tahu banyak soal Ayah, Ibu hanya bercerita Ayahku orang yang baik. Dulu saat umurku sekitar 5 tahun aku sering diajak Ibu mengunjungi makam Ayah, semoga Ayah tenang di alam sana.
Lamunanku dikagetkan oleh suara iklan robot di televisi, di rumah kami tak ada robot untuk membantu mengurus rumah karena harganya sangat mahal. Aku kira kita harus menjual rumah ini untuk membeli robot. Suatu hari nanti aku akan mencoba membuat robotku sendiri, dan akan kubuat murah bila laku dipasaran. Agar semua orang tahu bagaimana rasanya memiliki robot.
Dan akhirnya peluncuran roket tinggal hitungan menit, kuperiksa setiap channel TV kuangkat tangan lalu kugeser ke kanan dan ke kiri agar sensor TV merespon tanganku untuk channel berpindah terus menerus dan tenyata semua channel memberikan sudut pandang gambar langsung pada Armadillo dan dua roket peluncur yang mengapit di kedua sisi. Pesawat Armadillo berwarna dominan putih dengan warna hitam di hidungnya. Hanya satu channel TV yang baru mulai menyiarkan persiapan peluncuran, yaitu KidsToon. Itupun masih menayangkan seorang reporter perempuan yang baru menjelaskan kondisi di sana. Langit di sana terlihat cerah tapi sedikit berawan, sepertinya ia mendukung ekspedisi ini.
NTN masih kupercaya untuk kutonton, penyiaran hitungan mundur peluncuran di lakukan oleh dua reporter, satu di ruang kontrol SA-OD dan satu lagi di lapangan langsung. Reporter lapangan memersilakan rekannya untuk mengambil alih siaran di ruang kontrol SA-OD. Orang-orang di SA-OD sangat sibuk dengan tugasnya masing-masing dan sangat tegang, tak ada yang terlihat berdiri santai. Mana mungkin santai di situasi seperti itu. Saat semua sudah dipastikan oke, hitungan mundur dimulai, dengan suara yang menggema di ruangan yang telihat megah oleh teknologi abad ini.
“Peluncuran dimulai dari hitungan 10..9..8..7..6..5..4..3..2..1.”
Armadillo bergerak perlahan sacara vertikal dengan bantuan dorongan roket yang sangat dahsyat, api biru berhembus keluar tanpa asap dari sistem pembuangan roket yang memberikan dorongan untuk meluncur dengan suara gemuruh yang menggemparkan. Perlahan dan sangat pasti Armadillo terbang bebas tanpa sedikitpun mengucapkan salam perpisahan pada seluruh warga Orlanida yang sedang menyaksikannya tanpa bergeming sedikitpun. Tiap detik kecepatannya bertambah dengan api mengekor dibawahnya, terdengar suara gemuruh yang semakin jauh meninggi ke angkasa. Aku membayangkan ada disana menyaksikan secara langsung dengan wajah terus menghadap ke langit melihat Armadillo makin jauh dan semakin jauh.
Saat dipastikan Armadillo telah lepas landas dengan sukses siaran kembali dialihkan pada reporter lapangan yang memberikan testimoni dari pemberitaannya saat itu, reporter di ruang kontrol SA-OD mengabarkan suasana disana yang riuh dengan tepuk tangan dari personil SA-OD yang terlihat sangat gembira dan puas dengan kinerjanya. Reporter di ruang kontrol memersilakan lagi kepada rekannya di lapangan untuk mengambil alih.
“Baik pemirsa, Armadillo sudah dipastikan mengudara menuju ekspedisi ke Planet Silver dengan pesawat yang diawaki Sir Deniso Lazuard dan..”
*BOOOOOOMMMM*
Reporter itu terhenyak seketika memandang langit lalu diikuti gerakan kamera yang sembarangan mengikutinya. Api dari ledakan memenuhi sebagian langit, apa itu?. Astaga, aku sampai tak percaya dengan apa yang kulihat dari sini, Armadillo meledak. Sekejap mata siaran itu berubah menjadi kepanikan dan langsung menularkannya pada kami.
“Astaga Buu, pesawat itu meledak, pesawat itu meledak!”
“Ada apa Dre? astaga!”
“Kejadian ini terulang lagi.”
“Kejadian apa, Bu?”
Ibu masih saja diam dengan kedua tangan menutupi sebagian wajahnya. Ia tak mau menjawabku.Suara dering holophone mengagetkanku, ternyata dari Sky.
“Dre, kamu lihat apa yang kulihat?”
“Sky, kamu juga sedang nonton TV kan? astaga pesawat itu meledak!”
“Aku lihat itu Dre, aku lihat itu!”
“Ya, aku setengah mati tak percaya Sky.”
“Menurutmu apa penyebabnya, Dre?”
“Aku tak tahu sama sekali apa itu Sky, yang pasti ini sangat mengerikan!”
“Ya, ini sangat mengerikan Dre. Nanti kuhubungi lagi.”
NTN masih memberitakan kejadian itu, mereka berusaha meyakinkan penonton kejadian itu adalah kecelakaan. Kecelakaan yang sangat mengerikan untuk disaksikan secara langsung oleh seluruh penduduk Orlanida. Reporter yang masih ada di ruang kontrol berusaha mewawancarai salah satu personil SA-OD untuk meminta konfirmasinya atas hancurnya pesawat ulang alik milik SA-OD itu. SA-OD belum bisa memberikan penjelasan lebih jauh tentang apa yang terjadi, mereka harus menyelidiki lebih lanjut atas kejadian ini.
Senin, 28 Juli 2231
Sebulan berlalu tapi kita masih ingat Armadillo meledak di langit Orlanida dalam perjalanannya menuju Planet Silver, SA-OD memberikan claim bahwa itu kecelakaan murni. Tim penyelidik kecelakaan dari SA-OD memerlihatkan teori dan sedikit bukti dari kecelakaan pesawatnya tersebut. Sebulan tak habis memberitakan tentang kecelakaan tersebut, Sky bersikeras sependapat dengan Dr. Queen kalau pemerintah menyembunyikan sesuatu dari rakyatnya. Memang, Dr. Queen pernah diwawancarai lagi oleh stasiun TV dalam acara talkshow tengah malam. Ia menjelaskan bahwa ada konspirasi di dalam pemerintahan sekarang, tentu dalam hal ini adalah soal kecelakaan Armadillo.
Tak tahu kenapa langit sepertinya merasakan kesenduan yang sama seperti yang dirasakan penghuni Orlanida. Hujan hampir datang tiap hari, mendung sering mengganggu matahari untuk bersinar saat siang. Saat itu tepat di jam istirahat kelas, Sky mendebatku soal kiamat akan datang dalam waktu dekat, ia memang sangat terpengaruh idolanya yaitu Dr. Queen. Hampir setengah jam kami mempersoalkan kiamat akan datang kapan, semua dipicu oleh kita berdua yang berpikiran sama tentang langit yang sering sekali turun hujan dan mendung datang menggantikan setelahnya.
Padahal aku masih duduk dibangku kelas tingkat satu Sekolah Remaja, tapi aku merasa ada yang tak beres dengan dunia saat ini. Bagaimana tidak, oksigen yang seharusnya bebas untuk kita hirup sekarang harus dibantu disuplai oleh perusahaan penghasil oksigen dari pemerintah, hal-hal aneh seperti langit menjadi terlihat agak gelap dan matahari menjadi lebih berbahaya pada kulit sering menjadi bahan renunganku. Sahabatku, langit, sudah mulai tidak bersahabat lagi denganku. Wajahnya sudah terlihat lebih murung dan masam akhir-akhir ini, ceritaku sudah jarang didengar lagi. Dia sibuk meluapkan kekesalannya dengan menumpahkan air hujan ke atap Orlanida.
Setelah puas mendebatku, Sky mengalihkan pembicaraannya pada teleskop buatanku. Mungkin ia teringat begitu saja pada teleskop-ku. Sky anak yang to the point, mata yang bulat dihias kacamata dengan frame bulat juga, katanya kacamatanya itu sama dengan yang dipakai John Lennon musisi legenda dari abad 21.
“Dre, nanti aku boleh ya pinjam teleskopmu kapan-kapan.”
“Boleh, datang saja kerumahku, aku malas kalau harus bawa ke sekolah.”
“Memang berat ya?”
“Beratlah Sky, hampir 3 kg beratnya.”
“Berarti teleskopmu kurang efisien, Dre.”
“Jadi, kamu mau pinjam teleskopku yang kurang efisiennya kapan?”
“Ah kamu Dre, segitu aja marah.”
“Nanti Sabtu aku ke rumahmu saja kalau begitu Dre.”
“Sabtu ya? oke”.
Saat pertama kenal dengan Skechers aku berpikiran ia anak yang menyebalkan, tapi saat kenal lebih dekat ia jauh berbeda. Sifatnya memang sedikit menyebalkan tapi buatku tak jadi masalah karena sebenarnya tak terlalu mengganggu. Suatu hari kami pernah bermain drone battle dari pertengahan hari sampai hampir malam, walhasil aku makan malam dengan omelan Ibu saat pulang ke rumah. Dan ternyata Skechers juga mengalami hal yang sama denganku.
Sabtu, 1 Agustus 2231
Sky berjanji akan datang hari ini ke rumahku, sekarang jam 2 siang sebentar lagi dia akan datang. Rumahnya sekitar 2 blok dari rumahku, tak terlalu jauh memang. Hari ini hari libur jadi kami bisa bermain game virtual, GameBox adalah console andalan kami keluaran dari Futures Sting. Selain itu Sky juga ingin meminjam teleskop-ku untuk melihat bintang malam ini, itupun kalau langit sedang riang gembira dan membuka wajahnya. Sekarang sore hariku pun jarang untuk bersantai di atap rumah memandang langit, selalu mendung atau bahkan turun hujan.
Sky tiba jam 3 sore dengan flying board tipe terbaru, dengan motor penggerak tenaga surya. Ah dia selalu punya barang-barang keren keluaran terbaru. Flying board punyaku sudah 6 tahun sejak masih si Sekolah Anak, walau sudah terlihat lecet sana sini tapi masih bisa kunaiki, tanpa motor penggerak tentunya. Sore ini cuaca lumayan cerah, memengaruhi suasana hati untuk lebih ceria. Entah kenapa cuaca cerah membawa hati lebih gembira dibanding mendung dan hujan. Kucingku pun duduk tegak seperti pengawas patroli memandang keluar dari teras rumah.
Sky menantangku bertarung dalam game adventure di Gamebox, kuambil tantangannya ingin tahu sampai sejauh mana kehebatannya. Kami pakai kacamata yang terhubung langsung ke console dan masuklah dunia digital dalam penglihatan kami. Sky ternyata hebat dalam urusan game, ia dapat nilai tinggi dan mengalahkanku beberapa poin. Sampai akhirnya kami berdua merasa lapar dan berhenti bermain untuk pergi ke dapur mencari makanan, puff noodle adalah pilihan tercepat saat itu. Secara tiba-tiba aku ingat Lexa, Sky belum tahu siapa itu Lexa, aku belum bercerita apapun soal Lexa.
“Teleskopmu disimpan dimana, Dre?”
“Ada tuh kusimpan di atas di balkon kamarku.”
“Sepertinya langit mendukungku untuk melihat bintang malam ini.”
“Yah, kamu lagi beruntung Sky.”
“Keberuntungan selalu didekatku, Dre.”
“Kita coba seberapa beruntungnya kamu nanti malam, Sky.”
“Boleh.”
Ku cuci semua piring yang kotor setelah selesai makan, Brian mencoba menarik perhatianku dengan mengeong dan mendengkur di bawah kakiku. Terlihat jelas bekas luka di telinganya hadiah dari pertarungan dengan kucing jantan lain di sekitar sini. Kupikir Brian harusnya ditakuti kucing lain dengan postur tubuh yang gemuk dan gerakan yang gesit. Dan ku rasa Brian sudah punya kekuasaan sekitar satu blok dari rumahku karena aku sering melihatnya di perempatan jalan sedang berpatroli.
Langit sudah mulai berubah gelap saat aku dan Sky asyik mengobrol di kamarku, ternyata sudah hampir pukul 7 malam. Akhirnya Sky tahu siapa itu Lexa, aku bercerita tentang Lexa yang kuberi hadiah teleskop saat tingkat enam Sekolah Anak karena berhasil mengalahkanku jadi juara kelas. Sky pun bercerita tentang teman-temannya dulu sewaktu masih di Sekolah Anak. Sky beranjak dari posisi tidur terlentangnya dan langsung memegang ujung teleskop-ku.
“Wow, ini teleskopmu. Dre?”
“Yap, itu generasi kedua. Yang pertama seperti yang kuberi pada Lexa dulu.”
Sky meneropong menggunakan satu mata dengan mulut terbuka dan semua gigi seri miliknya terlihat. Nampak sangat serius dengan teleskop itu seakan teleskop itu miliknya saja. Ia sedikit bergumam tentang bintang yang ia lihat, berusaha sok pintar di depanku mungkin ha ha. Tapi air mukanya tiba-tiba terlihat kaget dan langsung menyuruhku untuk melihat apa yang ia lihat.
“Dre, Dre apa itu? Kemari Dre!”
“Apa? Coba kulihat.”
“Ini! Lihatlah.”
Dengan perasaan kaget aku pun menerka-nerka benda apa itu, apakah mungkin piring terbang atau UFO (Unidentified Flying Object) yang sering dibicarakan. Tapi benda itu tak bergerak, kalau bintang tak mungkin bintang seperti itu, bersinar tapi redup dan tak berbinar-binar seperti bintang. Apa itu? benda apa itu? berbentuk garis strip tipis dan sangat pendek hampir seperti titik bintang yang bersinar sangat redup. Kami berdua saling tatap merasa aneh dengan apa yang kita temukan. Sky mencoba lagi untuk meyakinkan apa itu yang barusan kita lihat, tapi tetap masih tak ada petunjuk benda apa itu. Kalau dilihat dengan mata telanjang tak nampak seperti benda asing, hanya terlihat seperti bintang yang kurang bersinar. Untuk terakhir kali aku mencoba meneropong benda tersebut, dengan lebih teliti dan berpikir lebih keras berusaha mencari tahu benda bersinar ini. Kuperbesar jarak pandang sampai 5 kali pembesaran. Dan ya, aku hanya yakin benda ini berbentuk garis sangat pendek dan bercahaya sangat redup, aku jadi tak yakin cahaya yang dipancarkan adalah milik dari benda asing itu karena tak berkerlip seperti bintang. Benda apa ini?
Minggu, 2 Agustus 2231
Aku terbangun masih dengan rasa aneh dan heran, benda apa yang dilihatku dan Sky semalam tadi. Semalam Sky pulang dengan membawa rasa ingin tahu tentang benda itu, aku bisa lihat ekspresi wajahnya. Di sekolah kami masih membahas tentang benda asing itu, tapi hanya kami berdua saja. Berbagai macam kemungkinan kita coba keluarkan dari pikiran masing-masing, tapi selalu tak berujung dengan kata sepakat. Akhirnya kita putuskan untuk tidak membahasnya sementara waktu dan tidak memberi tahu pada orang lain. Aku takut orang lain tak akan percaya dan menganggap kami orang aneh.
Setelah jam sekolah usai kuputuskan untuk langsung pulang kerumah. Seharusnya aku ikut latihan bela diri, tapi rasa penasaranku sangat besar untuk mencari tahu benda apa yang dilihatku semalam jadi kuputuskan untuk langsung pulang ke rumah dan melanjutkan meneliti langit.
Aku sampai dirumah dengan tergesa-gesa, kulempar tas ke sembarang tempat dan langsung lari menuju balkon kamarku lalu mencengkeram ujung teleskop dan kubuka sebelah mataku lebar-lebar kudekatkan ke lensa teleskop-ku. Ku mulai mencari dari posisi yang sama dengan posisi semalam, kuputar adjustment gauge pada teleskop agar terlihat pemandangan yang terbaik. Sekarang langit mendukungku dengan memberikan wajah cerahnya tanpa awan sedikitpun, Sky belum tahu keberuntungan pun ada di pihakku saat ini.
Benda itu luput dari pandanganku, aku tak melihat ada yang aneh di titik koordinat yang sama dan aku hampir menyimpulkan benda itu adalah benar-benar bintang. Tapi sebentar, apa itu? kuperjelas penglihatanku 5 kali lipat. Hah? kenapa ini? kulihat garis seperti retakan pada gelas di langit. Apa mataku tak salah lihat? retak? Ada retakan di langit Orlanida?
Bersambung Chapter III
0 Comments