![]() |
cerpen blog |
CERPEN BLOG. "Cay, lu udah ganti ban mobil depan belakang, kan? tanya Lana. "Udah lah, kan lu tau gua kemaren pergi ke bengkel", jawab Ucay agak ketus. "Ya, siapa tau lu lupa", Lana menimpal balik. Ban yang mereka bicarakan adalah ban untuk mobil yang akan mereka kendarai menuju kampung halaman. Mobil mereka bertransmisi manual kapasitas mesin 1000cc sistem poros roda 4x4 pabrikan Jepang rakitan tahun '89 warisan mendiang ayah tercinta. Mobil itu cukup tua bagi mereka atau setidaknya sebaya dengan umur pemiliknya sekarang. Hari ini mereka akan pulang menemui keluarga satu-satunya yang tersisa di kampung halaman. Tak ada persiapan berarti kecuali kondisi mobil yang mereka perhatikan dengan baik. Perbekalan pakaian, makanan dan minuman tak begitu mereka pedulikan. Sangat tipikal bujang terlantar yang serampangan.
Cuaca sudah mendukung, langit sepertinya akan memberkati perjalanan mereka. Tak ada awan hitam yang mengancam turunnya hujan. Ucay menatap heran pada ban cadangan bekas pakai yang sudah menempel kencang pada bautnya di sisi belakang mobil. "Ngapain lu pasangin ban cadangan segala sih? Ban kan udah gua ganti baru semua kemaren", Ucay heran. "Ya udah sih jaga-jaga", timpal Lana cepat. "Gak akan gembos nih mobil orang gua pilih ban yang paling mahal", lanjut Ucay. "Udah diem lu orang udah nempel tuh ban", tangkis Lana.
Persaudaraan mereka memang terasa seperti anjing dan kucing atau air dan minyak atau juga Naruto dan Sasuke, tapi hati mereka akan selalu terpaut satu sama lain. Di waktu yang lalu pernah Lana mengalami kecelakaan di jalanan kemudian pihak Kepolisian menelepon keluarga dan orang pertama yang datang untuk menolong adalah Ucay. Begitu juga Lana, saat Ucay terkena demam berdarah cukup parah Lana yang pertama menolong dan menemaninya di rumah sakit sampai sembuh. Dalam kalimat yang keluar dari mulut mereka terasa seperti tak peduli tapi hati mereka berkata sebaliknya.
Baca Juga : Aku Bukan Pengecut
Panel bensin menunjuk di bar tengah yang artinya mobil mereka masih cukup bahan bakar. Perkiraan mereka akan mengisi bahan bakar kembali di pertengahan jalan. Tak butuh waktu lama setelah semua pintu dan gerbang rumah berhasil mereka amankan mobil warisan itu pun tancap gas. Mobil berhasil maju menderu dengan tenaga yang masih prima sebab Ucay merawat mobil itu dengan baik. Lana berdoa dalam hati agar perjalanan mereka selamat sampai tujuan. Ucay tak peduli kemudian meraih kaset dari band favoritnya dan menyetelkannya dengan cassette player di mobil tersebut. Alunan musik rock '80an mengudara hampir satu jam side A dan side B. Giliran Lana meraih kaset favoritnya lalu menyetelkannya di player yang sama. Masih bergenre rock tapi dengan pilihan alternative rock '90an. Tak ada percakapan di antara mereka sejauh ini.
Di kilometer ke tujuh puluh enam Ucay merasa letih menyetir dan memaksa mobilnya untuk menepi di pinggir jalan yang memang ada jajaran warung bambu. Mereka parkir di tempat yang minim pengawasan dan meninggalkan mobil itu di sana. Lana memilih tempat yang tidak jauh dari mobil tapi Ucay memilih tempat yang lebih jauh dan lebih bagus dibanding hanya warung bambu yang cuma menyajikan mie instan. Lana yang tak ingin ada konflik menuruti permintaan Ucay dan berjalan di belakangnya. Ucay menemukan kedai dengan bangunan permanen dan lebih banyak pilihan menu. Tanpa sempat menghentikan langkahnya untuk berpikir, Ucay terus melaju pada satu meja yang kosong lalu memesan makan dan minum di sana. Lana, tetap mengikuti di belakangnya.
Setelah puas makan dan minum juga isapan sebatang rokok filter, mereka beranjak dari tempat duduknya membayar tagihan dari apa yang mereka pesan dan berlalu menuju mobil yang sedang diparkir. Langkah Ucay cepat karena memang begitu kebiasaannya. Dan Lana, tetap di belakangnya. Mobil sudah terlihat dari kejauhan tapi ada yang aneh. Ucay yang ada di depannya kemudian berlari agar bisa cepat memastikan keadaan mobil mereka. Saat jarak mereka sudah sangat dekat dengan mobil dan mata mereka sudah benar-benar bisa memastikan yang mereka dapati adalah kaca mobil sudah pecah dengan kondisi barang-barang yang hilang. Tape mobil, tas berisi pakaian seadanya dan yang paling penting dompet Lana yang ditinggalkannya di mobil sudah raib menghilang. "Kampret!", teriak Ucay sekencang-kencangnya. "Dompet gua gak ada! Gimana nih? Duit bensin di situ semua!", Lana berdecak kesal. "Hah? mampus nih. Mana duit gua udah mau abis tadi dipake makan", lanjut Ucay.
Tapi untungnya mereka tak mengutuk satu sama lain. Mereka sadar hanya akan menambah runyam suasana. Dalam benaknya Lana berpikir untuk meminta bantuan pada kakeknya yang akan mereka tuju itu. "Gimana kalo kita telpon Aki?, tenyata Ucay pun berpikiran yang sama. "Jangan deh, kasian kita masih jauh", jawab Lana. "Terus gimana?, tanya Ucay. Lana tidak lantas menjawab, ia menerawang ke sana ke mari dan berpikir keras. Ada satu kemungkinan yang ia dapati di pikirannya. "Gimana kalo kita jual aja tuh ban cadangan sama velg-nya? Lumayan kayaknya masih laku tiga ratus ribu. "Oke, ya udah kita jalan cari bengkel pinggir jalan", jawab Ucay.
Setelah berhasil menambal kaca dengan plastik seadanya dan melaju, kemudian berhasil menjual roda cadangan di bengkel pinggir jalan, uang yang mereka peroleh tak mereka sia-siakan. Bahan bakar diisi penuh saat tiba di pom bensin. Walaupun kaca mobil pecah dan ada barang yang hilang setidaknya mereka berhasil sampai di kampung halaman tempat kakeknya berada. "Untung gak lu cabut tuh ban cadangan", ujar Lana. "Iya, gua baru tau ban cadangan punya fungsi yang lain", jawab Ucay santai.
0 Comments