![]() |
novel blog |
Kamis, 14 November 2232
Satu tahun terlewati aku masih percaya dengan apa yang kulihat tentang langit, Sky yang menjadi temanku dalam persaksian pun masih memercayai cerita ini. Pernah suatu hari aku tak tahan untuk menceritakan kejadian yang aneh ini pada guru di tengah sesi pelajaran yang didengar oleh seluruh kelas, tapi apa yang kudapat? Tertawaan dari semua orang. Saat itu aku ada di kelas yang baru di tingkat dua Sekolah Remaja dengan teman-teman yang baru pula. Sky tak satu kelas lagi denganku karena tiap tahun ajaran baru semua kelas harus mengalami pertukaran murid. Semenjak saat itu aku dan Sky menutup cerita pada siapa pun tentang langit yang retak, karena memang benar kami jadi dianggap aneh oleh semua orang. Cih!
Selain Sky, masih ada satu orang yang percaya padaku, Lexa. Aku hanya bisa menghubungi lewat holophone, kukirim titik koordinat agar ia bisa memastikan perkataanku dan langsung meneropong dengan teleskop pemberianku. Ia pun terkejut dengan apa yang dilihatnya dan ternyata ia mengalami hal yang sama denganku, hanya beberapa orang yang memercayainya. Walaupun bukti lewat teleskop telah nyata terlihat tapi entah kenapa semua orang mengingkarinya. Kenapa semua orang ini?
Ada julukan baru untuk Orlanida saat ini yaitu Negara Hujan, curah hujan sangat tinggi satu tahun terakhir ini. Semua dimulai tak jauh berselang dari peristiwa hancurnya pesawat ulang alik Armadillo, sekitar satu bulan setelah Armadillo hancur cuaca jadi mengalami perubahan secara bertahap sampai saat ini. Matahari hanya muncul satu kali setiap bulan, Orlanida dirundung kesedihan berkepanjangan. Pemerintah mengeluarkan pakaian oksigen yang baru dengan fiture helm tertutup otomatis saat indikator oksigen menunjukkan angka oksigen di udara menipis dan persedian oksigen yang cukup untuk 7 jam, artinya kita tak layak ada diluar rumah dengan kondisi cuaca yang seperti ini.
Sempat terpikir oleh sebagian orang untuk pindah dari Orlanida, tapi yang disayangkan di tempat lain justru lebih parah dari negara ini. Paman Sky pernah berencana untuk pindah dari Orlanida tapi ternyata ia tak dapat bertahan lama di tempat lain. Keadaan seperti ini yang membuat kami harus bisa bertahan bagaimanapun kondisinya. Aku hanya berharap kondisi ini cepat berakhir dan aku bisa bersahabat lagi dengan langit tanpa khawatir kekurangan oksigen. Ini bulan November, memang musim penghujan, tapi harusnya tak seperti ini. Belum lagi bencana alam mulai ramai diberitakan di televisi, dari mulai banjir di negara lain sampai angin topan yang menghancurkan kota.
Kondisi cuaca yang buruk membuat langit selalu tertutup awan hitam, orang-orang jadi tak menyadari bahwa langit sedang bermasalah. Tapi aku selalu memikirkan keadaan langit, kenapa ada retakan kecil di langit? Sampai aku teringat pada kejadian hancurnya Armadillo. Ya, Armadillo kalau tak salah meluncur di titik koordinat yang sama dengan retakan itu. Apa mungkin retakan itu muncul karena tertabrak Armadillo? Dan Armadillo hancur karena menabrak langit? Tapi bagaimana mungkin langit menjadi benda yang solid dan tak bisa ditembus roket berkecepatan 1000 km/jam, sangat mustahil.
Butuh waktu lama untuk menyadari hal itu, satu-satunya orang yang dapat kuajak bicara hanya Sky. Kujelaskan hasil pemikiranku padanya, ia mulai bersemangat mendengarkan pembicaraanku.
“Lalu jika itu benar, Dre, kita harus bagaimana? Kita cuma anak-anak Dre.”
“Ya, kita tak akan didengar lagi oleh orang, terutama orang dewasa. Satu-satunya cara kita harus jadi dewasa untuk bisa meyakinkan semua orang.”
“Kamu punya serum penambah umur Dre?”
“Jangan bercanda Sky, mana mungkin aku punya serum seperti itu.”
“Ya habis, yang kamu bahas jadi dewasa segala. Memangnya jadi dewasa bisa dengan waktu sehari Dre.”
“Maksudnya kita hanya bisa menunggu, Skeleton!”
“Iya, Drehidrasi!”
Karena seringnya kami terlihat berdua, di sekolah kami punya julukan Duo Ambigu. Mungkin mereka iri karena aku anak yang berprestasi di kelas jadi mereka memberi kami julukan yang seenaknya. Terutama saat semester awal di tingkat dua aku membicarakan soal langit yang retak dan hanya Sky yang mengiyakan, dapatlah kami julukan Duo Ambigu. Tapi tak ada yang sampai berani memukuli kami, coba saja kalau berani akan kubuat babak belur. Sabuk yang kudapat dari ekstrakurikuler Tinju Derajat di sekolah adalah warna coklat, artinya aku tak akan begitu saja kalah saat bertarung. Prestasiku di sekolah masih kupertahankan, termasuk di kegiatan ekstrakurikuler aku harus bisa mencapai sabuk hitam.
Umurku sudah 13 tahun tapi aku belum sempat memberitahu langit soal umurku sekarang, dia selalu menutup dirinya. Terakhir kali berbincang saat umurku 12, saat itu wajahnya sangat ceria dengan warna orange menjelang senja dan awan yang putih berarak-arakan, cahaya matahari menyelinap dari celah awan terlihat seperti cahaya dari surga. Tapi saat-saat seperti itu sudah tak kutemui lagi hampir setahun lebih. Dia sudah berubah, langit sudah berubah.
Dan Lexa, sahabatku dari umurku 6 tahun, aku coba untuk menghubunginya beberapa kali lewat holophone tapi tak ada jawaban. Mungkin kegiatan asrama membuatnya sangat sibuk. Ya, ia mengirim holo message menanyakan kabarku dan meminta maaf karena tak sempat menerima live hologramku. Aku merasa Lexa mulai menjauh, dengan hidupnya dan sekolahnya yang sekarang, aku selalu berharap ia bahagia.
Jumat, 15 November 2232
Saat itu hari sedang hujan lumayan lebat, aku ada di garasiku yang biasa kugunakan untuk membuat sesuatu. Sore itu, aku mencoba menyibukkan diri untuk membuat sesuatu yang baru. Flying boardku selesai kuperbaiki minggu lalu dan kutambahkan motor penggerak dari baterai bekas yang bisa diisi ulang secara otomatis saat rotor berputar, dan berhasil. Jadi aku percaya diri untuk berkarya, kali ini aku akan membuat hal yang baru, robot dari barang bekas. Rencanaku adalah membuat robot untuk menemaniku mengobrol saat di rumah, membantu membersihkan rumah dan bisa juga untuk mengurus Brian kucingku.
Oke, walaupun spare part yang dipakai adalah barang bekas tapi setidaknya masih berguna dan layak pakai. Aku memakai energi baterai Li-ion rechargable yang dikombinasi dengan tenaga surya. Ku mulai dari membuat rangka untuk menopang tubuhnya, ini yang lumayan menguras tenaga karena perkakas yang dipakai lumayan berat. Brian mengeong dari arah pintu mencoba menyapaku yang sedari tadi siang tak beranjak dari garasi, mungkin ia tahu aku belum makan siang. Sesekali petir menyambar di sekitar rumahku tapi tak tahu dimana tepatnya, suara gemuruh hujan seperti mencoba menakutiku. Setiap hari curah hujan yang sedang atau lebat turun tak pernah berhenti. Sekalipun berhenti matahari tak akan langsung muncul, hanya ada mendung dan hawa dingin.
Rangka baja sudah hampir selesai, sedikit membaca dan selebihnya bakat adalah modalku untuk membuatku bisa langsung mencerna dalam soal teknik konstruksi. Tinggiku 165 cm, robot ini tak akan kubuat lebih tinggi dariku karena rasa-rasanya akan menyeramkan jika dilihat dari jauh. Suspensi untuk rangka kaki kuambil dari flying bike milik ayah yang sudah tak terpakai lagi, sepertinya akan berdecit tapi tak apalah. Tadinya aku ingin membuat robot ini melayang tapi lantai rumahku tak terbuat dari metal jadi aku urungkan. Kakinya harus diberi bantalan supaya lantai rumahku tak jadi cepat berlubang diinjak kaki baja setiap hari.
Untuk kedua kalinya Brian datang padaku sambil mengeong, kali ini dibawah kakiku. Keringat dari wajahku jatuh mengenai rambut abu-abu nya yang tebal. Mataku secara otomatis melihat jam di tangan kiri ku, astaga sudah jam 6 petang aku belum menyiapkan bahan untuk makan malam. Kubiarkan rangka baja ini untuk sementara waktu, sampai kutemukan konsep lain yang lebih bagus. Kubersihkan badanku lalu bersiap untuk makan malam, hujan sudah berhenti dan menyisakan udara dingin yang membuat malam semakin dingin. Makan malam hari ini adalah masakan ala timur, kari dan makanan bersantan lainnya. Ibuku salah satu koki terbaik di rumah, yang kedua adalah aku yang selalu berhasil memasak puff noodle dan memasak telur dadar. Brian pernah kuberi makan telur dadar buatanku, tapi tak kutanyakan padanya bagaimana rasanya.
Selesai makan kusempatkan memeriksa kembali hasil kerjaku di garasi, kuperiksa secara cepat seperti petugas tiket kereta. Terpikir sepintas untuk menambahkan bahan yang ringan, tujuanku agar langkah robot tak begitu berat. Tapi bahan apa? Oh bagaimana kalau plastik? Tapi sangat sulit untuk menemukan plastik sekarang ini, plastik adalah materi yang mempunyai undang-undang untuk tidak diproduksi secara sembarangan. Satu-satunya alasan fiber terutama plastik sulit untuk ditemukan karena faktor ramah lingkungan. Jadi aku harus menemukan bahan plastik di tempat barang bekas sepertinya, oke aku harus ke sana nanti pulang sekolah.
Ibuku tertidur di sofa dengan TV yang masih menyala, sepertinya Ibu sangat kelelahan hari ini. Kuselimuti dengan hati-hati untuk membuatnya tak kedinginan dan kumatikan TV lalu aku pun pergi ke kamarku untuk istirahat. Ada yang mengganggu pikiranku selama ini tentang Ibu, Ibu selalu menyimpan kisah dariku tapi aku tak mau membuatnya merasa terganggu bila aku harus menuntut sesuatu darinya. Aku sangat ingin tahu tentang Ayah, Ayah yang meninggal saat aku berumur 2 tahun. Aku ingin tahu seperti apa sosoknya, seperti apa cintanya pada keluarga, seperti apa cintanya pada Ibu dan seperti apa cintanya padaku. Aku rindu padanya. Satu-satunya ingatan yang aku punya adalah saat ia tertawa di hadapanku. Aku hanya ingat ada seseorang yang mempunyai rambut disekitar bibir yang tertawa di hadapanku dan mengangkat badanku tinggi-tinggi. Itu adalah ingatan visual yang pertama aku dapat saat kecil, dan orang itu ternyata Ayah. Saat aku mulai sadar sosok di ingatanku tak pernah kulihat lagi, dan saat aku melihat foto keluarga kulihat pria yang ada dalam ingatanku ada di foto itu. Ibu memberi tahu padaku pria di foto ini adalah Ayahku. Tanpa alasan apapun, tak tahu kepercayaan ini datang darimana aku sangat bangga pada Ayahku.
Sabtu, 16 November 2232
“Hidupmu adalah kertas kosongmu, segera ambil pena dan tulis sesuatu”, kata-kata itu ada dalam poster terpajang di kamarku yang aku baca tiap pagi saat bangun dari tidur. Dan langsung mengingatkanku pada robot yang belum rampung sama sekali. Kemarin hujan turun sangat deras, dan pagi ini disambut dengan angin dingin menusuk tulang. Aku harus pergi sekolah dengan hawa dingin menemani sepanjang jalan, jadi kuputuskan untuk pergi berbalut jaket dibalik pakaian oksigenku. Aku selalu membayangkan ada pohon di sepanjang jalan yang kulihat saat pergi sekolah seperti di film-film Box Office, tapi hal semacam itu tak akan pernah ada di kehidupan nyata. Hanya ada bangunan kokoh yang tahan dari goncangan gempa terbuat dari baja lunak. Dan hanya rumahku saja yang memertahankan kondisi yang lama seperti awal dibangun karena warisan dari kakek buyutku, sementara semua rumah tetanggaku sudah dibangun dengan desain abad 23 tanpa kayu dan semen.
Tadi sebelum berangkat, berita masuk ke telingaku karena Ibu menonton acara berita pagi yang isinya mengenai gelombang demonstran anti pemerintah yang makin hari makin berani menyuarakan kebenaran dengan langsung turun ke jalan. Sungguh aku tak mengerti apa yang mereka suarakan, apa yang pemerintah sembunyikan. Aku hanya bisa menerka-nerka apakah masih soal langit? atau ada kepentingan lain? Yang aku tahu aku harus menemukan bahan plastik untuk membereskan proyek robotku. Lamunanku sampai di situ saat aku naik bus sekolah yang sudah terisi oleh beberapa murid saja.
Tiba-tiba Sky naik beberapa menit setelah aku duduk di kursi belakang, ia tak mengenakan jaket di hawa sedingin ini. Tapi anehnya ia datang dengan ngos-ngosan dan langsung duduk di sampingku.
“Halo Dre”. Dengan senyum khas nya yang menyuruh orang untuk mual melihatnya.
“Kenapa kamu ngos-ngosan begitu, Sky?”
“Tadi dikejar polisi, kuledek dia tadi biar kerja sedikitlah.”
“Dasar anak perompak. Terus berhasil lolos?”
“Ya lah, polisi gendut begitu mana bisa ngejar atlet maraton.”
“Kamu bakal kena batunya nanti Sky, aku tak akan ikut campur.”
“Tak setia kawan kau, Drehidrasi.”
Sky tertawa dengan puas diikuti bus mulai yang bergerak saat penumpang baru terisi setengahnya, hawa dingin memaksa masuk ketika pintu bus mulai tertutup dan langsung mengenai wajah dan leherku yang sedari tadi mulai hangat ada dalam bus. Tapi Sky mulai mengoceh lagi.
“Dre, nanti libur akhir semester kamu mau ke mana, bulan depan nih?”
“Aku belum punya rencana kemana-mana Sky.”
“Ah payah, bagaimana kalau kita ke luar kota seminggu? ke Visonic?”
“Visonic? kita mau tinggal di mana?”
“Tenang saja, kita bisa tinggal di rumah saudaraku.”
“Yakin? aku penasaran sih ingin lihat Museum Pesawat.”
“Ya sudah kebetulan berarti, kita sepakat oke? bulan depan ke Visonic!”
“Okelah, kita siapkan persiapannya nanti.”
Sekolah diselimuti hawa dingin pagi hari, kami semua turun dari bus dengan tangan disembunyikan dalam saku jaket. Sky baru merasakan kedinginan karena tak memakai jaket, tadi mungkin ia kegerahan karena habis berlari dikejar pak polisi. Sambil berjalan kita berbincang sedikit kemungkinan nanti di Visonic, dengan siapa dan di rumah siapa kami menginap dan berdiskusi tentang gambaran keadaan ibu kota yang hiruk pikuk. Kami setidaknya harus tahu sesuatu tentang Visonic, tempat pusatnya pemerintahan berjalan. Ibu kota Orlanida itu punya banyak gedung bersejarah dan gedung penting lainnya seperti Museum Pesawat yang sangat ingin aku kunjungi. Dan tempat kerja Presiden Sir Manik Kanyopi bertempat di Gedung Crysol, aku jadi ingat Ibu yang kurang peduli pada presiden.
“Sky, aku sedang mengerjakan sesuatu. Sebelum ke Visonic aku harus segera menyelesaikannya.”
“Apa itu, Dre? kamu mengerjakan apa? Jangan sok sibuk.”
“Bukan sok sibuk, sudah terlanjur kukerjakan kemarin.”
“Iya Drehidrasi, itu apa?”
“Aku sedang membuat robot.”
“Wiiiiih..robot Dre? Robot apa? Jangan bilang robot yang hanya bisa bergerak tanpa tujuan ya Dre.”
“Bukan, cuma robot yang bisa membantuku di rumah.”
“Kereeen, aku mau dong Dre.”
“Mau? Minta pada polisi yang tadi mengejarmu. Ha ha ha”
“Sialan kau!”
Sudah dijadwalkan sekolah hari ini akan mengadakan ujian semester pertama untuk kelas tingkat dua selama seminggu, rencananya liburan kami ke Visonic setelah ujian ini selesai. Dan, mata pelajaran yang diujikan hari ini adalah favoritku, sains dasar. Tak ada kesempatan untuk mencontek karena kamera dipasang di meja masing-masing, gerak gerikmu akan terawasi oleh kamera. Materi soal sudah muncul di layar sentuh meja masing-masing dan aku menjawab dengan waktu yang ditentukan tertera di layar. Waktu hitung mundur sudah dimulai, kami hanya diberi waktu 45 menit untuk membuat sains menurut pemikiran masing-masing. Tak ada pembatasan materi, semua dituntut untuk mengembangkan materi.
Aku mengembangkan teori dari evolusi, bahwa evolusi memang terjadi tapi tetap bukan dari kemampuan makhluk hidup itu sendiri, makhluk hidup berevolusi dengan perintah dari alam dan alam pun mendapat energi dari partikel kosmos. Secara garis besar tak ada yang berkembang sesuai dengan keinginan makhluk hidup itu sendiri melainkan ada campur tangan dari luar diri makluk hidup itu. Terbukti dengan adanya rantai makanan, maka rantai kehidupan pun ada. Begitu kira-kira sebagian besar tulisanku dengan bukti-bukti lain yang harus disebutkan pada jawabanku, aku harap mendapat hasil yang memuaskan. Aku selesai dengan waktu yang masih berjalan di angka 30 menit, berarti aku masih punya waktu 15 menit sebenarnya.
Jam sekolah sudah habis, aku berjalan keluar gerbang sekolah bersama Sky, sudah jelas karena kami si Duo Ambigu. Jam di tanganku menunjukkan pukul 2 siang, seperti kemarin mendung tak pernah mau isirahat menutupi langit. Aku harus segera sampai ke toko barang bekas untuk mencari suku cadang plastik yang ku perlukan, hujan sepertinya akan cepat turun jadi aku harus cepat-cepat. Sky memutuskan untuk langsung pulang ke rumah.
Toko yang akan aku kunjungi satu arah dengan jalur bus sekolah mengantar kami pulang ke rumah dan ada di pertengahan antara rumah dan sekolah jadi aku minta diturunkan di pertengahan jalan. Awan mendung terlihat sangat hitam dan tak seperti bersahabat, orang-orang berlalu lalang dengan sedikit mengebut seperti dipaksakan untuk menambah kecepatan. Untuk mereka yang malas berjalan biasanya akan memakai stand walker ke manapun mereka pergi, ayolah sehatkan jantungmu dengan berjalan bung. Perutku protes karena lapar dan keroncongan sejak dari dalam bus, kuhampiri toko roti pinggir jalan untuk membuatnya berhenti protes. Biasanya aku membawa bekal roti untuk makan siang tapi sekarang sepertinya tak terlalu perlu, lebih tepatnya aku malu dibawakan bekal ke sekolah.
Tiba-tiba sirine polisi terdengar meraung, rotiku tinggal satu suapan lagi saat terlihat flying car, tapi aku lebih suka menyebutnya mobil, mobil warna hitam melaju sangat kencang dari arah belakangku diikuti beberapa Hi-Top polisi yang mengejar setelahnya, aku hanya bisa menyaksikan pemandangan ini di trotoar jalan. Dan untuk pertama kalinya menyaksikan senjata diacungkan dan ditembakkan melawan polisi. Dorr..dorr.!. Astaga, ini bahaya. Tanpa berpikir panjang lagi aku berlindung di balik dinding gedung dan merunduk berusaha menghindar dari peluru, semua orang pun sama merunduk berusaha menyelamatkan diri. Orang dalam mobil itu bertengger keluar dari jendela berusaha menembak pada polisi yang mengejarnya. Kejadian itu hanya beberapa detik saja tapi berhasil membuat kepanikan para pengguna jalan. Polisi terus melakukan pengejaran sampai aku tak mendengar lagi suara sirinenya. Jantungku sudah bisa tenang sekarang, ini pertama kalinya tindak kejahatan terjadi lagi di lingkunganku setelah sekian lama. Kira-kira mereka melakukan apa? apa merampok bank? Kalau benar merampok bank pastilah mereka ini penjahat kelas kakap seperti diceritakan di film-film. Aku kira selama ini tak akan menyaksikan hal seperti itu di dunia nyata.
Belum habis rasa panik pergi suara sirine terdengar lagi di kejauhan sangat jauh di depanku, ternyata pemadam kebakaran yang langsung belok kanan di perempatan jalan menuju arah penjahat dan polisi itu pergi. Ada apa lagi ini?, aku diam berdiri beberapa detik. Ah iya aku hampir lupa harus mencari keperluan robotku saking disibukkan dengan pengejaran mereka tadi. Tempatnya bertuliskan Robert Shop di pintunya, ini dia tempatnya.
Wow, ini seperti surga barang bekas. Barang-barang disatukan menurut fungsi dan kegunaannya agar pembeli tak merasa bingung harus mulai mencari dari mana. Tapi aku tetap merasa pusing melihat barang sebanyak ini.
“Pak, saya cari suku cadang untuk robot berbahan serat plastik.”
“Oh, mari mari saya antar. Ini, silakan pilih nak. Mau buat robot seperti apa?”
“Hmmm..robot rumahan sih pak, bukan sistem magnetic.”
“Robot yang berjalan ya, hmm..ini dia untuk rangkanya nak.”
Aku dibawa melewati lorong dengan penuh rak di kanan kirinya. Pemilik toko membantuku mencari barang yang ku butuhkan. Ia menemukan barang satu set dan masih lengkap. Aku memperhitungkan sejenak dengan desain yang kubuat. Ternyata cocok, kuambil tanpa banyak menawar lagi dan langsung menuju pintu keluar dengan perasaan was-was yang masih tersisa gara-gara aksi kriminal yang baru saja kulihat. Jantungku hampir mau copot tadi. Taksi pilihan tercepat untuk pulang kerumah, soalnya bus tak memungkinkan kalau dengan barang bawaan sebanyak ini. Kudapati satu taksi, dengan kedua tanganku yang penuh dengan barang kuberhentikan taksi itu dan langsung kunaiki menuju Yosumi tanpa pikir panjang lagi. Berbarengan dengan pintu kututup, hujanpun turun perlahan dan lama-lama membasahi kaca depan taksi, wiper dihidupkan sehingga dari kursi belakang akupun bisa melihat jalan di depanku.
Tak sengaja kulihat asap hitam tak terlalu tebal membumbung di langit tak jauh saat taksi ini berjalan, aku menengok ke sebelah kanan kaca taksi. Supir taksi melihat gerak gerikku yang terlihat penasaran dengan asap tersebut dan memberitahuku sesuatu.
“Asap itu asap dari mobil penjahat yang barusan beraksi, polisi berhasil melumpuhkannya.”
“Darimana bapak tahu?”
“Aku mendapat kabar di radio taksi ini.”
Setiap taksi harus memiliki radio untuk berkomunikasi dengan penegak hukum kalau-kalau ada tindakan kejahatan dalam taksi. Dan pantas saja mobil pemadam kebakaran datang tak lama setelah penjahat dan polisi menghilang.
“Tenang saja. Semua sudah teratasi, Nak.”
Memang benar jantungku berdebar kencang dari tadi karena khawatir dengan keselamatanku dan pak supir sepertinya bisa melihatnya. Lalu mulai kurebahkan punggungku lekat-lekat ke jok kursi taksi ini sambil melihat hujan turun dari langit. Kupandang langit kali ini dari jendela sebelah kiri, jendela yang buram karena terkena air hujan bertubi-tubi. 15 menit taksi berjalan akhirnya Shelter Yosumi sudah terlihat dari sini berarti rumahku sudah dekat beberapa blok. Kuperintahkan pak supir untuk belok kiri setelah shelter Yosumi lalu lurus terus dan belok kanan di perempatan kemudian belok kiri lagi dan sampailah aku di rumah, akhirnya.
Kakiku terasa lemas setelah seharian berjalan, sekarang pukul 5 sore, Brian menghampiriku yang tengah duduk menegakkan kaki mencoba untuk bersantai.
“Sepertinya kau lapar Brian, oke tunggu kuambilkan makananmu.”
“Ini, makanan kaleng kesukaanmu. Makan yang banyak.”
Dia makan dengan lahap tanpa tahu kalau tuannya kelelahan setelah seharian ini di luar rumah. Oh, robotku!. Aku bangun dari duduk santaiku dan kubawa suku cadang yang sudah kubeli tadi ke garasi. Oke, mana dulu yang harus ku kerjakan. Baiklah aku mulai dari kaki-kakinya saja. Semua bagian bisa dipasangkan tapi perlu ada pembentukan ulang, aku akan lembur hari ini sepertinya. Brian! Kau jaga-jaga di luar oke.
Aku mencoba mengobrol dengan Brian agar ia tahu kalau ia adalah deputi di rumah ini selama aku tak ada di rumah. Hampir 2 jam waktu kuhabiskan untuk mengerjakan robotku, dan sekarang sudah terlihat lebih hidup. Kutegakkan tubuhnya di atas lantai, tingginya 160 cm sejajar telingaku saat berdiri. Tapi ia masih berdiri tak bernyawa karena perangkat lunak belum kutanamkan di dalamnya. Kupandang bagian wajahnya yang kubuat mirip kucing robot. Oke, tinggal satu tahap lagi, memersiapkan perangkat lunak dan sepertinya untuk hari ini cukup sampai disini dulu. Kubiarkan robotku tetap berdiri seperti itu di garasi. Badanku sudah banjir oleh keringat. Dalam diam tahu-tahu Ibu ada berdiri di depan pintu masuk garasi.
“Dre, kamu membuat apa?”
“Karya seni, Bu. Ibu kapan pulang?”
“Baru saja, kamu belum mandi? Ayo cepat mandi setelah itu kita makan malam.”
Masakan Ibu memang selalu yang terbaik, aku makan dengan lahap. Di umurnya yang sudah 40 tahun Ibu masih terlihat muda belum terlihat uban sedikit pun. Ibu pernah berpesan padaku, “Dre, kalau umurmu sudah kepala empat, itulah usia kematangan sebagai lelaki. Cintai istrimu seperti saat umurmu dua puluh”. Ucapan itu masih jadi tanda tanya buatku, umurku pun belum mencapai lima belas tahun mana tahu aku urusan percintaan orang dewasa. Memikirkan soal rasa cinta antara laki-laki dan perempuan, entah kenapa kalau teringat kata perempuan yang langsung terlintas adalah Lexa. Kenapa harus Lexa? Makan malamku tinggal berapa suapan lagi, sambil mengunyah aku bertanya sesuatu pada Ibu.
“Cinta itu seperti apa, Bu?”
“Kenapa tiba-tiba kamu menanyakan soal cinta Dre? Kamu lagi jatuh cinta?”
“Penasaran saja Bu, aku masih tak mengerti.”
“Dre, cinta itu perasaan yang tak kenal pamrih, tak menuntut sesuatu. Ibu masih mencintai Ayahmu walaupun ia sudah tak menemani Ibu lagi di sini. Cinta tak akan mengikuti keinginanmu, kamu yang akan mengikuti cinta. Cinta bukan hanya untuk pasanganmu, anakmu kelak akan merasakan cinta darimu.”
“Seperti Ibu yang mencintaiku saat ini?”
“Ya, seperti dulu Dara Hadio mencintai Jara Olivion. Sekarang aku mencintai kamu Dreo Olivion.”
Ibu mengakhiri makan malam dan perbincangan kami dengan mengecup keningku. Kejadian tadi siang tak kuceritakan pada Ibu, aku tak mau ia cemas memikirkanku. Dan rencanaku ke Visonic juga belum aku ceritakan. Lalu aku pergi merebahkan diri di tempat tidurku, perkataan ibu masih terngiang di kepala. Suatu hari nanti aku akan mengalami jatuh cinta seperti yang Ibu katakan. Tapi tiba-tiba aku ingat perangkat lunak untuk robotku. Ya ampun kenapa bisa lupa, perangkat lunak ini harus segera kubuat. Kira-kira harus meminta tolong pada siapa? Kalau Sky tak mungkin, Lexa apalagi. Website tak akan memberikan perangkat lunak seperti itu secara gratis. Baiklah aku harus ke perpustakaan mencari referensi untuk membuat perangkat lunak.
Senin, 17 November 2232
Ujian hari ini berjalan lancar, tak seperti Sky yang mengeluh padaku tak puas dengan jawabannya. Salah sendiri selalu mengantuk kalau ada di kelas atau malah memerhatikan perempuan cantik yang ia taksir. Aku selalu menyimak gerak geriknya yang kadang mencoba merayu perempuan yang ada di depan bangkunya itu, namanya Genaya. Cantik sih, tapi hanya cantik. Kuajak Sky ke perpustakaan menemaniku mencari referensi perangkat lunak, sambil jalan ia merangkul sok akrab pada pundakku.
“Dre, Genaya itu Dre, aku tak bisa satu haripun tak memikirkannya. Oh hatiku lemas, Dre.”
“Kamu suka padanya? yang jadi masalah dia menyukaimu tidak?”
“Itu masalahnya Dre, dia dingin sedingin es kutub selatan.”
“Berarti ada sesuatu di dirimu yang ia tak suka.”
“Kira-kira apa Dre? ayo beritahu aku.”
“Kamu kurang tampan mungkin. Kuberitahu Sky, putri cantik selalu mencari pangeran tampan.”
“Sok tahu, kamu sendiri tak ada yang naksir. Ah kenapa juga aku harus men-dengarkan nasehat jomblo.”
”Mukamu berubah masam macam jeruk limo, Sky. Ha ha ha”
Kami beranjak dari ruang kelas menuju perpustakaan sekolah, mencari referensi yang aku cari. Ruang perpustakaan dibuat gelap dengan lampu yang hanya dipasang di meja dan rak sangat panjang saling berhadapan. Disini masih ada buku tebal terbuat dari kertas, wanginya seperti terasa manis saat aku coba membuka dan membacanya. Buku dari abad 21 yang adalah masa dimana teknologi mulai berkembang, zaman dimana kakek buyutku menjalani hidup. Yang katanya bahan bakar yang dipakai oleh kendaraan dan industri pada zaman itu pemicu awal dari pemanasan global. Kutemukan buku yang menarik perhatianku bukan dari abad 21 tapi pada zamanku sekarang dibuat tanpa kertas, tak terlihat seperti buku karena memang sebuah storage berbentuk kotak tipis dengan nama flashbook tinggal kuhubungkan dengan bookplate-ku untuk membacanya. Aku menemukannya di rak untuk perangkat lunak.
Kubaca untuk mencari hal penting yang cocok pada robotku dan cepat kupahami codingnya, hanya kutemukan beberapa elemen yang cocok. Kucari flashbook yang lain dengan dibantu Sky yang ikut mencari, dia jadi tak banyak bicara karena memang harus tahu diri kalau ada di perpustakaan kan. Beberapa puluh menit mencari tak kutemukan flashbook yang menarik. Kutepuk pundak Sky dari belakang yang sedang sibuk mencari di rak yang lain.
“Sepertinya cuma ini Sky, ayo kita mencari di perpustakaan kota saja.”
“Tapi traktir aku makan habis itu, oke?”
“Oke oke, kita makan di kedai Mie Oniyashi.”
Sekarang jam 14.30, perpustakaan kota letaknya sebelum toko barang bekas yang kemarin aku datangi. Untuk sampai ke sana harus ditempuh dalam waktu 10 menit lebih kurang. Siang ini awan tebal menutupi sinar matahari tanpa memberi celah untuk menyelinap. Dalam perbincangan santai kami dalam bus Sky memberitahuku bahwa tempat kita menginap saat nanti kita sampai di Visonic sudah siap menampung kami. Pamannya sudah memberi izin.
“Pamanku sudah kuberitahu kalau minggu depan kita akan ke sana Dre.”
“Terus bagaimana Sky? boleh?”
“Tentu saja boleh, dia tinggal sendiri. Tapi dia sangat disiplin Dre, kamu jangan kaget nanti kalau sampai di sana.”
“Oke, tak masalah. Aku tak akan membuat keributan, tak tahu kalau keponakannya.”
“Maksudmu aku Dre? tenang saja kalau kita harus pulang telat aku yang akan tanggung jawab.”
“Yah, terserah kau saja Skeleton.”
“Drehidrasi!”
Kami sampai di perpustakaan jam 3 kurang dengan perut kerocongan. Aku daftar masuk dengan kartu pelajarku dan Sky dengan kartu pelajarnya. Gedungnya sangat besar dengan ciri khas gedung pemerintahan di Orlanida yaitu berbentuk setengah bola. Udara di dalam gedung terasa sejuk dan pemandangan pertamaku adalah patung bola dunia yang ada di tengah aula besar. Ada banyak koridor untuk memilih buku, tujuanku ada di koridor teknologi di sebelah kiri pintu masuk utama. Aku hanya perlu untuk melengkapi referensi yang kurang dan disini sangat lengkap sekali, tak perlu waktu lama untuk menemukan apa yang aku cari. Perutku mulai makin terasa keroncongan dan Sky mulai merengek minta makan jadi kupercepat proses pengunduhan arsipnya. Selesai.
Sesuai janjiku, Sky kutraktir makan di kedai Mie Oniyashi. Tempatnya ada di persimpangan jalan shelter Yosumi, setelah shelter Yosumi di sebelah kiri jalan kalau dari rumahku. Mie Raare disini paling enak se-Yosumi, mie kami telah siap disajikan dengan kuah kental dan irisan daging sapi diatasnya, sayuran organik menghiasi sekitar daging. Sky menyambar mangkok yang baru saja disimpan di depannya. Aromanya membuatku tak tahan juga dan kulahap sampai mulutku penuh. Makan disaat lapar memang nikmat sekali. Sky tak berhenti mengunyah sambil sesekali berkomentar tentang rasanya.
Perutku terisi penuh sekarang, Mie Oniyashi memang paling juara di cuaca yang mendung seperti ini. Aku istirahatkan perutku dan ku buka bookplate untuk mengkaji sedikit seperti apa coding yang harus aku buat sementara temanku yang satu ini berhenti mengoceh dan memegangi perutnya karena kekenyangan. Sepertinya lumayan rumit untuk membuat perangkat lunaknya walaupun bahasa pemrograman yang aku pilih adalah yang paling dasar, bahasa pemrograman Vulture. Sistem basis datanya pun kupilih ukuran kecil karena ini baru percobaan. Ya, ternyata aku harus membayar lebih karena Sky minta tambah setengah mangkok, dasar perut karet. Langit masih mendung tapi tak ada tanda akan turun hujan, kuajak Sky untuk segera pulang.
Tiba dirumah pukul 17.35 dan disambut oleh Brian yang menunggu di teras, masih ada waktu untukku menyiapkan bahan makan malam. Setelah makan malam aku harus memberitahu Ibu kalau minggu depan aku akan liburan di Visonic bersama Sky, Ibu pasti tak akan keberatan. Ibu bukan tipe orang tua yang suka melarang anaknya melakukan sesuatu, tapi bukan berarti aku bisa seenaknya sendiri karena aku harus punya rasa tanggung jawab pada apa yang aku lakukan. Setidaknya begitu.
Robotku masih berdiri seperti kemarin saat aku tengok dia di garasi, aku mulai berpikir untuk memberi dia nama. Siapa ya kira-kira? ah itu bisa dipikirkan nanti sekarang aku harus memikirkan perangkat lunak untuknya terlebih dahulu. Terdengar suara pintu depan rumah terbuka, itu pasti Ibu. Aku masuk ke dalam rumah untuk menyambutnya.
“Sore, Bu.”
“Sore, Dre. Kamu belum makan malam duluan kan?”
“Belum lah Bu, aku menunggu Ibu pulang.”
Ibu terlihat lelah, lalu kucium kening Ibu untuk mencoba menenangkannya. Seperti makan malam sebelumnya, makan malam kali ini Brian duduk satu meja dengan kami, tapi sebenarnya dia selalu berkeliaran entah ke mana. Mungkin ia tahu aku akan memberitahu Ibu akan ke Visonic dan ia ingin mendengarkan langsung.
“Bu, minggu depan Sky mengajakku liburan di Visonic selama seminggu. Aku akan tinggal di rumah pamannya.”
“Mendadak sekali Dre, tak akan merepotkan pamannya nanti?”
“Aku tak akan membuat repot Bu, tenang saja.”
“Oke, Ibu percaya padamu, selamat liburan. Tapi nilai semestermu harus bagus, Dre.”
“Ibu tak usah khawatir soal tugas di rumah, sebelum aku pergi akan kubereskan robot buatanku jadi rumah tetap terawat selama aku liburan.”
“Robotmu yang di garasi itu, Dre?”
“Iya Bu, tapi dia belum kuberi nama.”
Bersambung Chapter IV
0 Comments