CERPEN BLOG. "Ini aneh, kenapa semua orang tak mengerti padaku. Apa yang salah dengan perkataanku?", berkata Kiki dalam hatinya. Bertahun-tahun ia hidup dalam ketidakmengertian akan apa yang terjadi. Sempat ia menyalahkan semua orang atas kebodohan orang-orang yang tak mengerti ucapannya. Sejak ia kecil, ia kira semua baik-baik saja. Lambat laun ia pikir dunia ini seperti mempermainkannya. Saat itu umurnya baru lima tahun. Ia tertawa seperti anak-anak yang lain juga bermain seperti anak-anak yang lain. Hanya saja Kiki tak boleh ke luar rumah karena larangan orang tua. Tahun berganti tahun ia menemukan teman di sekitarnya. Jika orang tuanya tak mengawasi ia pergi ke luar kemudian lari sekencang-kencangnya, begitulah caranya bebas. Sampai akhirnya ia menemukan seseorang yang menurutnya teman bermain. "Hei, Indra! ayo main bola di lapangan", sahut Kiki pada temannya. Tapi temannya tak merespon dengan baik ajakan Kiki. Ia hanya bergumam tak jelas kemudian terlihat tertawa tanpa suara diikuti oleh beberapa temannya yang lain. Kiki hanya ikut tertawa tanpa mengerti dengan apa yang terjadi. "Kenapa suara dia hanya berdengung seperti itu?" bertanya Kiki dalam hati. Selayaknya anak-anak yang riang gembira lainnya, ia tak ambil pusing. Ia lantas mengikuti teman-temannya yang meninggalkannya begitu saja menuju lapangan. Malang yang terjadi, ia tak mendapatkan kesenangan saat bermain bola. Yang ia terima hanya ejekan dan tertawaan merendahkan dari teman-temannya. Hatinya terasa sakit tapi ia tak sempat untuk itu karena ia pikir semua baik-baik saja.
Baca Juga : Seorang Pengantar
Beranjak remaja, senyum riang yang biasanya menghiasi wajahnya sempat hilang. Karena ia mulai mengerti pada dirinya sendiri. Saat itu sore hari, Kiki ingin bertanya sesuatu pada ibunya. "Bu, kenapa aku seperti ini?", setidaknya itu yang ingin dikatakannya. Namun ibunya itu tak mendengarkan dengan baik maksud anaknya. Ibunya hanya marah dan menyuruhnya diam saja dengan memberi isyarat telunjuk di bibirnya. Sama seperti apa yang dilakukan ibunya selama bertahun-tahun. Tak lama berselang ibunya menyekolahkannya pada suatu sekolah dasar. Rupanya ibunya sangat terlambat untuk memasukkannya ke sekolah. Di saat umurnya delapan tahun, ia baru masuk sekolah. Di sebuah Sekolah Luar Biasa tingkat SD saat itu ia disekolahkan. Kesan pertama di sekolah yang ia miliki adalah sebuah pertanyaan. "Kenapa semua murid di sini terasa aneh?" pikirnya. Tapi ada beberapa murid yang menurutnya sama sepertinya. Entah mengapa ia merasa seperti itu. "Namaku Hani. Kamu siapa?" seorang murid mencoba berkenalan dengannya. Anak itu memberi isyarat tangan lalu menulis sebuah nama pada secarik kertas. Tentu saja Kiki tak bisa membaca apa yang dituliskannya. Nampaknya Hani sudah bisa baca tulis dan satu-satunya anak yang bisa membaca dan menulis di kelasnya itu. Yang dilakukan Kiki hanya menggelengkan kepala kepadanya tanda tidak mengerti.
Pengetahuan tentang dunia dimulai di sana. Di sebuah sekolah yang di kemudian hari ia mengerti akan arti dari tunarungu. Di sekolah yang ia lanjutkan sampai tingkat SMA Sekolah Luar Biasa. Ya, di kondisi yang pada hari ini ia genap dua puluh tahun. Senyumnya masih ada di wajahnya. Senyum yang sempat hilang termakan keegoisan dunia. Senyum yang tulus atas kondisi fisik yang dimilikinya. "Ini adalah pemberian Yang Maha Kuasa", ia berbicara pada Hani dengan bahasa isyarat. Hani pun mengiyakan dengan senyum tulus yang sama sepertinya. "Telinga kita hanya tak bisa menangkap gelombang suara", imbuhnya lagi. Hani hanya tersenyum dan menurutnya itu manis.
Baca Juga : Seorang Pengantar
![]() |
cerpen blog |
Beranjak remaja, senyum riang yang biasanya menghiasi wajahnya sempat hilang. Karena ia mulai mengerti pada dirinya sendiri. Saat itu sore hari, Kiki ingin bertanya sesuatu pada ibunya. "Bu, kenapa aku seperti ini?", setidaknya itu yang ingin dikatakannya. Namun ibunya itu tak mendengarkan dengan baik maksud anaknya. Ibunya hanya marah dan menyuruhnya diam saja dengan memberi isyarat telunjuk di bibirnya. Sama seperti apa yang dilakukan ibunya selama bertahun-tahun. Tak lama berselang ibunya menyekolahkannya pada suatu sekolah dasar. Rupanya ibunya sangat terlambat untuk memasukkannya ke sekolah. Di saat umurnya delapan tahun, ia baru masuk sekolah. Di sebuah Sekolah Luar Biasa tingkat SD saat itu ia disekolahkan. Kesan pertama di sekolah yang ia miliki adalah sebuah pertanyaan. "Kenapa semua murid di sini terasa aneh?" pikirnya. Tapi ada beberapa murid yang menurutnya sama sepertinya. Entah mengapa ia merasa seperti itu. "Namaku Hani. Kamu siapa?" seorang murid mencoba berkenalan dengannya. Anak itu memberi isyarat tangan lalu menulis sebuah nama pada secarik kertas. Tentu saja Kiki tak bisa membaca apa yang dituliskannya. Nampaknya Hani sudah bisa baca tulis dan satu-satunya anak yang bisa membaca dan menulis di kelasnya itu. Yang dilakukan Kiki hanya menggelengkan kepala kepadanya tanda tidak mengerti.
Pengetahuan tentang dunia dimulai di sana. Di sebuah sekolah yang di kemudian hari ia mengerti akan arti dari tunarungu. Di sekolah yang ia lanjutkan sampai tingkat SMA Sekolah Luar Biasa. Ya, di kondisi yang pada hari ini ia genap dua puluh tahun. Senyumnya masih ada di wajahnya. Senyum yang sempat hilang termakan keegoisan dunia. Senyum yang tulus atas kondisi fisik yang dimilikinya. "Ini adalah pemberian Yang Maha Kuasa", ia berbicara pada Hani dengan bahasa isyarat. Hani pun mengiyakan dengan senyum tulus yang sama sepertinya. "Telinga kita hanya tak bisa menangkap gelombang suara", imbuhnya lagi. Hani hanya tersenyum dan menurutnya itu manis.
0 Comments