1.
"Kunai, apa kamu lihat tanda yang ada pada telinga anak itu tadi?", tanya Rurai pada kakaknya. "Ya, aku lihat dengan jelas", sahut Rurai pada adiknya itu. "Lalu apa tindakan kita? Apa kita harus mengikuti jalannya?". "Apa!? apa kamu mau mengikuti orang buangan seperti itu, Rai!? nadanya meninggi, ketidaksukaan Kunai jelas sekali terlihat. "Tidak, aku hanya menanyakan sedikit. Soalnya tanda itu yang disebutkan di buku ramalan Bah Tutui bukan? Ya, tapi aku setuju denganmu, Nai".
Ada beberapa suku hidup berdampingan di negeri singa tersebut. Kunai dan Rurai adalah salah satu petinggi di salah satu suku itu, suku Majai. Perang tak pernah berhenti, pertikaian tak pernah usai. Negeri singa selalu menumpahkan darah, tanahnya selalu merah. Sampai ada seorang anak singa muda yang mendatangi mereka, yang dalam dirinya ada pertanda. Pertanda itu harusnya mereka yakini dan patuhi. Bahwa seharusnya anak singa muda itulah yang selanjutnya akan menjadi pemimpin bangsa di negeri singa. "Aku adalah orang yang paling depan menumpasnya, kamu dengar itu Rurai adikku? Camkan itu baik-baik".
Pohon naga hitam menjulang tinggi menaungi pertemuan kakak beradik itu. Daunnya lebar berwarna hitam jarang-jarang. Ada tercium bau kemarahan yang masih mengalir dalam darah kakaknya, Kunai. Sedangkan Rurai hanya mengiyakan apa yang dilontarkan oleh Kunai. "Baik, Nai. Mari kita sampaikan ini pada yang lain". Langkah mereka tegap, geraman sesekali keluar dari mulut Kunai terdengar sampai ke ujung semak yang mereka lewati. DUa ekor pipit ketakutan memandangi mereka dari atas pohon. Saling pandang kemudian terbang pergi terbirit-birit. Bayangan Rurai tampak gontai oleh sebab rumput yang bergoyang ditiup angin sore. Malam ini adalah malam pengaturan siasat.
Taring beradu taring, auman beradu auman. Itulah ucapan salam yang biasa mereka lakukan saat rapat digelar. Beberapa suku merapat dengan cepat tak perlu waktu lama. Suku Aras, suku Kolop, suku Wua bahkan suku yang tak punya kekuasaan pun ikut bergabung.
![]() |
Cerpen |
2.
Perasaan yang membuncah itu adalah emosi kemarahan milik Rurai. Alisnya meninggi, dadanya memanas bak gunung bergolak siap menumpahkan lava pijarnya. Tensi meninggi di sekelilingnya, Kunai dan kepala suku lain kompak dalam kesaksiannya bahwa apa yang disampaikan Rurai adalah benar dan mereka setuju tentang semuanya. "Ya, aku sependapat denganmu", sahut salah satu kepala suku Aras, suku yang paling dekat dengan suku Majai. "Sudah pasti harus setuju denganku. Aku tak pernah salah dalam berkata", Kunai menyombongkan diri. "Lalu apa tindakan kita?", perwakilan suku Wua berbicara. " Tindakan kita adalah, dengan tegas aku sampaikan. Kita akan menyingkirkannya", tegas Kunai dengan taringnya.
Sorak sorai mengaum menggetarkan ruangan tempat diskusi mereka. Semua bereaksi tak ada satupun yang diam. Semangat berapi-api terasa sampai pembuluh nadi. Menjalar hingga kerongkongan. Naluri singa selalu ingin mencengkeram jiwa yang lemah, mengoyak leher hingga patah. Cakar-cakar mengeruk tanah menerbangkan debu ke udara. Kunai, Rurai dan semua yang hadir kemudian terdiam seketika saat terompet ditiupkan oleh Turop, seorang dari suku Kolop. "Inilah awal dari permusuhan kita dengan budak belian yang mengaku akan menjadi raja itu!", teriak Kunai diikuti gemuruh suara auman para singa.
3.
Perburuan demi perburuan selalu mereka dapati dengan kegagalan di akhir cerita. Simai sudah akan pasti selalu berhasil lolos dari cengkeraman Kunai dan Rurai. entah dari mana pertolongan selalu datang dan memihaknya untuk berhasil lolos. Di ujung aksi kakak beradik yang selalu kompak dalam peperangan ini. Kunai berjanji dalam tiap napas dalam paru-parunnya, ia akan terus memburu Simai. " Lihat saja kau Simai pengkhianat, aku akan terus memburumu sampai kapanpun. dan aku tak akan pernah mengakuimu sebagai raja seperti apa yang mereka ramalkan." Taring itu kini tak lagi tersembunyi di antara rahangnya. Mencuat bagai pedang terhunus yang dikeluarkan dari pelindungnya. Memberikan efek ngeri pada siapa saja yang melihat. Semua mengaum tanda setuju dengan Kunai sang kakak. Ia tak akan pernah tau apa yang akan terjadi pada dirinya.
bersambung
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus