Type something and hit enter

author photo
By On
CERPEN BLOG. “Apa aku masih sahabatmu?” tanya Uria pada Hamidah. “Jika kamu mau”, sahut Hamidah dengan sedikit enggan. Mereka beradu tatap dalam dimensi dan ruang yang sama dalam keheningan. Uria masih menginginkan kehadiran Hamidah dalam hidupnya. Sebuah penginginan yang tak pernah akan terwujud dikarenakan Hamidah akan menikah dengan laki-laki lain yang telanjur diiyakan oleh nya. Kisah mereka tak pernah bisa terjalin oleh sebab orang tua Uria tak menginginkan calon menantu hasil pilihan anaknya itu. “Apa kurangnya dari Hamidah”, pikir Uria yang dipertanyakan pada dirinya sendiri. “Mungkin Tuhan punya jawaban yang lebih pantas untukku”, lanjutnya lagi.


cerpen blog 

Kembali pada keheningan yang mengosongkan hati. Uria dengan sabar berusaha tegar sembari menghela napas panjang melihat Hamidah yang telah dibalut dengan gaun pengantin khas Jawa Barat. Sebuah kebaya merah dihiasi manik-manik berkilauan dan mahkota ratu tersemat di kepalanya. Matanya indah dibubuhi serbuk riasan yang Uria tak pernah tahu apa namanya. Ia melihat itu dalam lamunan yang mendalam akan hasrat untuk memilikinya. Namun itu semua hanya akan menjadi guratan luka dalam hatinya. Maka ia menetapkan hatinya untuk singgah sementara lalu pergi lagi. “Bukankah kamu janji padaku untuk menjagaku sampai aku tiba di pelaminan. Apa kamu masih memegang janjimu itu?”, tanya Hamidah dengan nada yang malas. “Ya, tentu saja. Aku masih ingat janjiku”. Sebelumnya Uria sempat berjanji pada Hamidah di hari mereka berpisah. Hamidah sempat menangis di atas pundak Uria, tersedu-sedu dalam dekapan. 

Kini hari itu telah datang padanya. Uria harus mengantar sang mantan kekasih pada pelaminannya. Itu adalah janji yang ia ucap sendiri. Seorang sahabat yang dipilih oleh pengantin akan mengantarnya pada hari pernikahannya sekaligus menjaganya dari marabahaya yang kemungkinan terjadi di perjalanan. Dan, itu semua memang terjadi. Mobil yang ditumpangi Hamidah mogok dalam perjalanan. Sempat panik, keluarga memutuskan untuk segera menyewa mobil via telepon dari kenalan. Tapi, Uria menyampaikan sarannya pada keluarga pengantin untuk membawa Hamidah dengan taksi, dan itu disetujui mengingat jarak sudah sangat dekat menuju gedung pernikahan. 

Taksi segera mereka masuki, tak perlu bersusah payah menunggu. Uria menempati kursi di samping supir sedangkan Hamidah di belakang mereka. Tak ada gusar yang diperlihatkan Hamidah, ia cenderung tak bersemangat tentang hari pernikahannya itu. Mukanya ia tekuk sambil memalingkan pandangannya ke arah jendela. Uria hanya menyaksikan itu dari kaca spion tengah. Tak ingin mengganggu lamunan Hamidah, Uria hanya berdiam mulut. Tapi ia memaksakan untuk membuat suasana menjadi cair dari kebekuan. “Tenang saja, kamu tak akan terlambat”, ujar Uria. “Terlambat juga biar saja”, Hamidah menyahut dengan ketusnya. Uria bingung, apa yang harus ia perbuat. Bukankah gadis ini adalah satu-satunya gadis yang selama ini ia ingini. Tapi kenyataan tak menyetujui mereka. 

Taksi dibuat menukik berbelok menuju sebuah parkiran luas. Hamidah tak lantas keluar dari taksi, ia masih duduk di belakang sopir sampai ia ingin untuk beranjak dari sana. “ Ayo, pengantinmu sudah menunggu”, ajak Uria. Lalu Hamidah memanjangkan tangannya mencapai tuas pintu dan membebaskannya dari kungkungan kendaraan ini. Tak lama, mobil keluarga berhasil menyusul dengan tergesa-gesa. Satu persatu keluar, seorang lelaki paruh baya yang tak lain adalah ayahnya sendiri mencengkeram pergelangan tangan Hamidah lalu membetotnya masuk ke dalam gedung pernikahan yang telah dihias sedemikian rupanya. “Ini harusnya jadi kewajiban suamimu untuk bayar taksi”, Uria mengomel di kepalanya sendiri. Ia ditinggal sendirian setelah kendaraan umum itu lewat dengan gas yang diinjak sang supir. Uria tak mau memasuki gedung yang sedang ia tatap ini, ia tak mau menyaksikan Hamidah disunting laki-laki lain. Ia tak ingin menangis, namun hatinya berkata lain. Kakinya terasa berat seberat kapal karam yang enggan untuk berlayar. Tubuhnya terasa kaku sekaku pohon musim dingin. 

Tapi kini ia ada diambang pintu menyaksikan dua orang saling mengucap janji setia sehidup semati. Ia hanya melihatnya dari kejauhan, berdiri dengan kedua tangan meraih saku celana kanan dan kirinya. Pikirannya berceloteh, “harusnya aku yang ada di sampingmu”

0 Comments