CERPEN BLOG. Namaku adalah, tak
pentinglah siapa namaku. Mari aku ceritakan saja apa yang harus aku ceritakan.
Sebentar, aku coba pikir dulu harus cerita dari mana. Oh, mungkin dari sini
saja. Aku selalu berkendara dengan sebuah sepeda motor keluaran Birmingham
tahun 1952. Aku namai dia Bejo. Kenapa aku namai dia Bejo? Ya suka-sukaku lah. Oke
setuju ya, mari kita lanjutkan. Aku bersama Bejo tak pernah terpisahkan, seperti
lirik sebuah lagu cinta yang menye-menye
tentang pria dan wanita. Tapi ini versi manusia dan motornya. Bisa dibayangkan
cinta antara manusia dan motor? Tak usah,
pasti pusing. Oke, mungkin diluar sana banyak komunitas motor tua dengan
berbagai seragam dan atributnya. Haruskah aku bergabung? Naah, aku memilih
berkendara sendiri. Dengan begini aku menemukan jalanku sendiri tanpa harus
mengikuti perintah atau aba-aba dari ketua komunitas. Dengan begini aku menjadi
diri sendiri tanpa harus sama dengan yang lain. Aku membuat atributku sendiri. Jaket,
rompi dan sebagainya aku buat sendiri. Tak ada nama dibubuhkan di jaket dan
rompinya, kubiarkan jaket dan rompi itu yang menamai dirinya sendiri.
Di sore hari yang
menjingga di langitnya. Awan selalu begitu saat sore, sedikit muram karena
cahaya matahari akan segera menghilang dihadapannya. Aku melaju diatas jalan
aspal abu-abu yang sering tampak lubang di sana-sini. Angin menghadangku
seperti menghalangi perjalanan soreku ini. Jika muncul pertanyaan lagi kenapa
aku senang berkendara tanpa arah dan tujuan? Itu karena aku harus menemukan
sesuatu yang hilang di masa lalu. Perempuan? Oke langsung pada tujuan saja.
iya. Mengendarai jalanan Bandung saat sore hari mengumpulkan lagi cerita yang
tertinggal di setiap sisi jalannya. Aku butuh itu. Satu temanku menamaiku si
Pengendara Kesepian. Dan, istilah menye-menye yang biasanya aku sebut pada lagu
cinta harus aku terima untuk diriku sendiri. Apa aku peduli? Aku tak peduli. Lalu
apa yang aku pedulikan? Sangat banyak, hanya saja aku tak mau menceritakannya.
Aku merasakan geraman
suara semakin tinggi saat kuputar tuas gas lebih dalam. Alunan sebuah lagu
terputar di kepalaku. Lagu dari sebuah penyanyi bule yang tak penting untuk
diceritakan. Masa lalu yang aku cari aku dapatkan kembali di tikungan jalan
layang yang membawaku turun kembali ke jalan utama. Pemandangan kokohnya gunung
berperahu telah aku lewati dan aku mendapatkan sesuatu darinya. Akulah sang
pengkhianat. Ya, itu yang aku dapat dari masa laluku. Apa aku berkhianat? Mari aku
paparkan apa itu yang namanya berkhianat. Berkhianat adalah saat kau berlaku
curang dalam satu rangkaian kasus atau perjanjian. Berkhianat adalah saat kau
bermain di belakang seseorang kemudian berkata lain tentangnya. Mari dipermudah,
berkhianat adalah selingkuh. Sama sekali tidak, aku tak pernah berkhianat, Jo. “Sebentar,
ini bukan untukmu, Jo. Ini untuk perempuan di masa laluku. Kamu jangan salah
paham, Jo”, kutepuk tangki warna hitam miliknya sementara ia tetap menderu.
Untuk sebagian orang
berkendara adalah untuk sekadar menghabiskan waktu berkomunitas atau untuk
sekadar mendapatkan foto yang bagus agar bisa dipajang di sosial medianya. Bagiku
itu tak penting. Ya, mungkin untuk mereka itu penting, biarlah mereka dengan
caranya dan aku dengan caraku. Ratusan kilometer aku habiskan hanya untuk
menjawab pertanyaan apa aku berkhianat? aku tetap tak bisa menjawabnya. Dan,
namaku adalah, Bram si Pengendara Kesepian.
0 Comments