Type something and hit enter

author photo
By On

 

cerpen blog

CERPEN BLOG. Kehidupan ini tak pernah bisa aku mengerti. Harusnya ini sudah berhenti tiga tahun lalu. Kenapa aku malah terjebak di hidup orang lain. Seharusnya aku hanya menjadi seorang karyawan kantor biasa yang libur di hari Minggu dan bekerja di hari biasa dari pukul sembilan sampai lima. Tapi kini, tubuhku masih milikku tapi kehidupan yang aku jalani adalah milik orang lain. Di manakah hidup yang aku punya sebelumnya? Apakah aku akan kembali seperti semula atau malah semakin menghilang. Aku sangat rindu kebebasanku menjadi orang biasa bukan yang seperti ini. Aku sudah penat dengan semua aktivitas tanpa mimik wajah ini. Sorotan lampu menyilaukan yang menuntutku untuk terus bergaya sesuai arahan orang lain yang tak pernah aku kenal. Semua orang mengenaliku dengan harapan aku adalah pujaan di hidupnya. Fans, mungkin itu istilahnya. Tapi aku kasihan pada semua orang karena mengira aku adalah dia. Hatiku sangat ingin meneriakkan pada semua orang jika aku bukanlah orang yang kalian maksud. Kalian tertipu dengan wajahku yang sangat mirip dengan idola kalian itu.

Aku mengoceh selama dua jam tanpa henti di atas kursi memanjang yang dibuat nyaman dengan sentuhan lembut di kainnya. Dan sangat shock saat aku mendengar dokter ini berkata bahwa aku hampir mendekati gangguan jiwa.

"Dengan beberapa terapi lagi kamu mungkin akan membaik. Jangan khawatir, semua akan baik-baik saja", berkata dokter psikiater ini dengan lembut. "Saya kenapa, Dok?", tanyaku santai. "Selama dua minggu kamu tak bicara dan menengadah ke langit seolah berinteraksi dengan seseorang", jawabnya jujur. "Dua minggu, Dok? Tapi aku baik-baik saja dua minggu lalu", jawabku lagi. "Ya, sekarang kamu sudah mulai membaik. Coba rileks dan rebahkan lagi badan kamu", pinta dokter itu.

Beberapa terapi dan resep obat-obatan telah aku jalani dua bulan terakhir. Aku mulai merasa kembali pada hidup yang aku inginkan entah perasaan ini datang dari mana. Lambat laun aku mulai bisa mengingat dengan terperinci semua yang terjadi di hidupku tiga tahun ke belakang. Dan sampai pada satu titik terang penyebab semua ini terjadi. Tapi perasaan tertekan itu mulai muncul dengan sangat mendadak dan berhasil membuatku cemas berlebihan kembali. Di atas kursi memanjang ini jantungku mulai sesak dan risau mulai melanda hebat. Sentuhan hangat berhasil menenangkanku.

"Tenangkan pikiran kamu. Kamu sudah berhasil sembuh dan tinggal sedikit lagi. Saya masih harus membuatmu yakin bahwa kamu adalah Andres", dokter ini rupanya tak mengerti. "Saya sangat berterima kasih pada dokter karena sudah merawat saya. Tapi saya ini benar bukan Andres yang dokter atau semua orang maksud", ucapku yakin. "Kalau begitu ceritakan semuanya", dokter ini menatap dengan sabar. "Saya bukanlah Andres, saya bukanlah pemain film ternama, saya bukanlah model kenamaan. Saya hanya orang pengganti", jawabku.

Ya, aku hanya orang pengganti yang secara kebetulan hadir di hidupnya Andres sang selebritis ternama itu. Andres menemuiku dengan susah payah juga dengan kepayahan lain yang tak pernah orang lain saksikan di televisi atau majalah. Aku sedikit tahu kabar berita infotainment bahwa Andres beberapa waktu ke belakang tak pernah lagi hadir di televisi atau pun film mana pun. Rupanya aku bisa saksikan sendiri ia sedang sakit parah dengan penampilan wajah yang mulai tirus dan kurus di sekitar pipinya. Cukup menyedihkan untuk dibilang baik-baik saja. Dia datang dengan ditopang kursi roda oleh seorang asisten karena tak sanggup berjalan tentunya. Ada tiga orang saat itu. Andres hanya diam di atas kursi roda, asisten juga hanya diam memegang handle kursi roda Andres dan satu lagi yang cakap berbicara padaku.

"Kami ada di sini atas persetujuan. Kami yakin Anda pun sudah setuju dengan tawaran kami sehingga Anda menerima kami di sini", tegas manajer ini. Ya, orang yang hanya berinteraksi denganku hanya manajer ini. "Jadi perlukah saya sampaikan lagi tawaran kami atau tidak usah?" tanya sang manajer. Aku hanya menggeleng tanda tak perlu. "Baik, ini kontrak yang harus Anda tanda tangani. Silakan dibaca terlebih dahulu agar lebih dimengerti", tukas manajer ini. Aku membaca dengan saksama dan berusaha untuk membacanya secara perlahan agar tak ada poin yang terlewat. Namun bagaimana pun aku berusaha untuk membaca, kontrak ini berlapis dan sangat tebal dan dibuat dengan bahasa yang sulit dicerna begitu saja yang berisi pasal-pasal tentang kontrak antara aku dan pihak manajerial mereka. Aku menutup lembaran terakhir dengan sedikit rasa malas dan menyerah pada keinginan mereka. "Anda sudah mengerti dengan jelas?", tanya sang manajer. "Ya, saya terima kontrak ini", jawabku singkat.

Baca Juga : Terik

Itu kejadian lima tahun lalu saat aku menandatangai perjanjian kontrak untuk menggantikan posisi Andres yang mulai sakit-sakitan. Penawaran mereka menggiurkan untukku kala itu yang memang sedang butuh banyak uang untuk pengobatan ibuku. Aku masih ingat air muka Andres yang terpana saat melihatku pertama kali. Ia memang tak berkata sama sekali tapi pandangannya menjelaskan sesuatu yang menyatakan bahwa betapa miripnya aku dengannya tanpa cela sedikit pun. Lalu kemudian aku mulai menggantikan semua kegiatan yang harus dijalani Andres yang kebanyakan adalah sesi fotografi. Ini gila kupikir karena aku tidak diharuskan berbicara sama sekali. Alurnya adalah aku masuk didampingi asisten lalu asisten lah yang mengurus semuanya dan aku hanya perlu berpose sesuai yang mereka mau. Jujur, ada sedikit rasa nikmat saat menjalani profesi yang dijalani Andres. Namun itu hanya sesaat sebab ini bukan diriku.

"Kalau kamu bukan Andres lalu kamu siapa?", tanya heran dokter itu. "Aku hanya orang biasa pekerja kantoran. Namaku Sky Schatzy", jawabku singkat. "Sky? apa hubunganmu dengan Andres?", tanya dokter lagi. "Saya tak punya hubungan apa-apa dengan Andres. Saya hanya dibayar untuk menggantikan Andres yang sakit dan sekarang sudah tiada", jawabku yakin. "Hmmm...bisa diceritakan lebih dalam dan lebih rileks lagi?", pinta dokter itu.

Aku menceritakan semuanya tanpa ada hal yang ditutup-tutupi. Dokter hanya mendengarkan dengan teliti dalam pergerakan tubuh yang diam menyilangkan kaki di atas kursi. Semuanya berhasil aku keluarkan hanya dalam waktu tiga puluh menit. Mata dokter yang terhalang kacamata itu kemudian serius pada kertas di atas pangkuannya dan mencoretkan tinta bolpen di atasnya. Lalu beberapa detik kemudian menengadah dan menyanggah kacamatanya yang sedikit melorot. "Anda sudah boleh pulang dan tak perlu terapi lagi", pungkasnya. Aku hanya mengangguk dan bernapas sangat dalam. Ada perasaan sedikit lega dirasa di dadaku. "Saya sudah dinyatakan sehat, Dok?" tanyaku. "Ya, dan Anda sudah boleh beraktivitas kembali", jawabnya santai.

Beberapa hari berselang hidupku terasa tenang tanpa ada tekanan dari manajer dan kontrak sialan itu. Namun hidupku ini harus bagaimana? Aku harus kabur dari kota ini pikirku. Ku kemas semua baju seadanya dalam tas ransel tanpa resleting yang aku punya. Kubiarkan televisi tetap menyala sedari tadi agar ruangan tetap terasa hidup. Celakanya aku, sebuah acara infotainment memberitakan bahwa aku mengidap gangguan jiwa. Apa ini? itu dia dokter yang kemari merawatku ada di dalam sedang diwawancara di tayangan dengan tajuk "Andres mengalami gangguan jiwa". Sialan, mereka membayar dokter itu juga. Aku semakin bergegas dan memilih untuk mempercepat langkahku ke luar apartemen tanpa memedulikan kondisi apartemen yang aku tinggalkan. Aku berhasil turun dari lantai apartemenku dengan buru-buru. Di lantai lobi tempat tujuanku saat elevator membuka pintunya muncul lah dua wajah yang sudah aku kenal. Manajer didampingi asisten Andres langsung menyergap tanganku yang berusaha untuk kabur.

"Lepaskan aku, biadab! Aku sudah menjalankan kontrak yang kamu mau! Jadi lepaskan aku!", bentakku. "Maaf, partner. Ini diluar dugaan kami. Seharusnya Andres sembuh tapi nyatanya malah meninggal. Demi nama baik manajemen kami kamu harus masuk rumah sakit jiwa dengan begitu tak ada yang percaya dengan semua kisahmu. Maaf, partner. Tapi ini lah bisnis".

0 Comments