![]() |
cerpen blog |
CERPEN BLOG. "Ada hal yang tak bisa aku pahami dari diri kamu, Fel."
"Kamu memang gak pernah bisa ngerti, Dim. Kamu cuma bisa berpikir untuk diri kamu sendiri, tau?"
"Oke, aku terima semua perkataan kamu. Aku memang egois, aku sadar betul itu."
"Percuma kalau cuma sadar sadar sadar dan sadar tapi gak pernah ada perubahan dari diri kamu. Percuma!"
"Aku gak bisa berubah untuk orang lain. Maaf."
Dimas mengatupkan bibirnya dengan pahit sedangkan Felisa mulai berderai air mata. Mereka hanya memunggungi satu sama lain tapi tidak ada satu pun yang beranjak dari tempatnya masing-masing. Keengganan untuk pergi itu karena mereka masih saling menyayangi satu sama lain. Felisa tetap merasakan bahwa Dimas itu masih berarti di hidupnya tapi memang keegoisan lelaki yang tak pernah bisa ia pahami. Begitu juga Dimas, ia masih membutuhkan Felisa di hidupnya tapi darah memanas yang sedang mengalir deras membuat hatinya sekeras batu untuk mau mengalah.
"Aku selama ini mencoba terus mengalah dari semua keegoisan kamu, Dim. Tapi sayangnya kamu lebih peduli dengan perasaan batu kamu itu."
Dimas hanya diam mencoba menahan amarahnya yang masih membuncah. Dadanya sesak seolah ingin membludak. Tapi ia mengatur napas panjang dengan pompaan jantungnya yang masih memompa deras. Suhu tubuhnya ia rasakan naik hasil dari emosi yang kencang tapi masih bisa ia tahan. Sementara Felisa terus saja menyeka air matanya yang seperti anak sungai. Air mata itu mengalir deras tanpa bisa dihalangi oleh bulu matanya. Tak ada gelas yang jatuh atau barang-barang yang berterbangan. Dimas menikmati emosinya sendiri tanpa harus melampiaskannya pada benda di sekitanya. Ia tak bisa menangis seperti Felisa, emosi itu hanya bisa ia rasakan mengalir memutar di tubuhnya.
"Aku dulu memang sempat ragu, Dim. Kamu terlalu keras kepala saat itu tapi aku masih bisa menilai kamu mau berubah. Tapi ternyata aku salah. Salah besar."
Dimas tidak menjawab bukan berarti ia tidak mau mendengar. Ia mencoba memahami perasaan apa yang diutarakan oleh Felisa dan ia refleksikan pada dirinya sendiri. Memang, saking keras hatinya ia tidak mau diatur bahkan untuk hal kecil sekalipun dari dirinya. Gunung itu bisa didaki tapi tidak bisa dibelah menurutnya. Tapi ia juga mengerti bahwa hal semacam ini akan melukai Felisa namun ia tidak punya kemampuan untuk melawan dirinya sendiri. Entah keteguhan hati semacam ini baik atau buruk.
"Kalau kamu menuntut aku berubah seperti yang kamu mau. Maaf aku gak bisa, Fel."
"Apa susahnya sih berubah buat aku, Dim?"
"Kalau aku berubah buat kamu itu berarti aku menggantungkan hidupku pada orang lain. Apa jaminan kamu kamu bisa ada selamanya buat aku? Gak ada. Semua orang pasti mati dan gak ada yang tau kapan. Lantas kalau aku berubah artinya aku memberikan separuh hidup aku buat kamu."
"Ya bagus, dong. Itu memang tugasnya laki-laki."
Diskusi mereka semakin pelik tak terlihat akan ada yang mengalah. Angin itu saling bertabrakan yang akhirnya membentuk topan puting beliung yang siap memorakporandakan seisi rumah. Dimas masih mencoba menerima semua ucapan Felisa tapi hatinya selalu saja menolak seperti ada penjaga di gerbangnya yang mengusir semua orang asing yang ingin melewatinya. Sementara orang asing itu adalah ucapan Felisa yang menggedor di ambang pintunya. Felisa selalu percaya tekad yang kuat akan melubangi batu walau setetes demi setetes. Tapi sayang batu itu adalah Dimas yang bisa menggeser dirinya sendiri dari tetesan air tersebut.
"Aku gak akan memaksa, Fel. Aku bukan orang yang suka memaksa kehendak pada orang lain. Terima aku seperti ini atau kamu bisa pilih yang lain."
"Enteng banget omonganmu itu."
"Justru aku mementingkan hidup kamu. Aku gak mau lihat kamu sengsara terus karena aku, Fel."
Baca Juga : Seorang Pria dan Tenda Kuning
Sementara Felisa setuju dengan ucapan Dimas air matanya mulai berhenti mengalir. Mungkin rasionalitas yang memaksanya untuk memikirkan lebih dalam perkataan itu. Jika ikatan ini terasa menyakitkan kenapa hanya ia sendiri yang berusaha untuk merasakannya. Di dalam dirinya berucap sesuatu tentang melepas ikatan yang sesak itu. Dengan begitu rasa sakit genggamannya akan hilang dan tali itu akan lepas pada pemiliknya. Sedetik kemudian ia mengiyakan penawaran dari Dimas.
"Apa kita akan baik-baik saja setelah ini?"
"Jika itu pilihan kamu, aku hargai, aku gak akan dendam atau benci."
"Berarti kamu percaya ada perpisahan yang baik-baik saja?"
"Iya."
Dimas mengiyakan kalimat terakhir yang keluar dari mulut Felisa. Dengan getir dan rasa pahit yang menyelimutinya walaupun begitu tetap mereka telan masing-masing dengan kedewasaan. Akhirnya mereka saling menatap seolah mata di keduanya ingin meyakinkan diri masing-masing bahwa hati mereka sudah mantap dengan kesepakatan itu. Felisa memicingkan matanya lalu membuat kalimat pamungkas untuk menyelesaikan semuanya.
"Semoga ada satu saja rumah buatmu untuk berteduh dari teriknya hidup kamu."
0 Comments