![]() |
cerpen blog |
CERPEN BLOG. Aku berteman dengan seorang pria yang hidup di dalam tenda. Ya, dia hanya mempunyai sebuah tenda untuk berlindung dari hujan dan panas. Maxinus, dia biasa dipanggil. Menyedihkan memang pada awalnya tapi tak semenyedihkan itu saat kau kenal lebih jauh. Justru malah kau akan menatap hidupmu sendiri yang lebih sedih dibanding dia. Bagaimana bisa seorang pria yang tak punya apa-apa tapi membuatmu merasa miskin dibanding dia. Bagaimana bisa seorang pria yang tak punya uang jutaan di kantongnya bisa lebih bahagia dibanding kau yang punya segalanya. Dia hanya makan mengandalkan buah jatuh atau sekedar jamur yang tumbuh. Dia hanya minum mengandalkan air sungai yang mengalir dari mata airnya. Bagaimana bisa?
Hari itu aku baru saja pindah ke desa yang sudah lama ditinggalkan oleh kakek untuk mengemban tugas negara sebagai prajurit puluhan tahun yang lalu. Ia meninggalkan rumah dan semua tanah garapannya saat itu. Kakek dan nenek hanya punya aku sebagai ahli warisnya. Ibu dan ayahku meninggal sebab kecelakaan pesawat yang mereka tumpangi gagal mendarat lalu tergelincir menghancurkan diri sendiri dan semua isinya. Juga menghancurkan hatiku yang sangat mencintai mereka kedua orang tuaku yang direnggut oleh kebodohan pilot yang menerbangkan pesawat sambil mabuk. Bagaimana bisa pilot senior pemabuk diijinkan untuk menerbangkan pesawat tanpa ada pencegahan sedikit pun dari pihak otoritas penerbangan.
Desa ini sangat indah tapi akan sangat membosankan untuk aku yang sudah terbiasa dengan hectic-nya kota. Di suatu hari atas dorongan rasa penasaran aku ingin lebih mengenali daerah di setiap sudut desa ini. Ternyata penduduk desa sangat ramah walaupun ada beberapa orang yang menyebalkan. Hampir semuanya menyambut dengan senyum saat berkunjung ke daerah mereka. Satu persatu tempat aku kunjungi dari mulai pusat desa sampai ke bukitnya. Di situ lah aku sedikit heran dengan pemandangan yang aku dapat. Ada tenda kuning segitiga yang tampak perapiannya masih berasap di ambang pintunya. Rupanya ada orang berkemah di situ. "Halo, saya Dematrius penduduk baru di Desa Clayton. Apa Anda sering berkemah di sini?". Orang itu masih di dalam tenda lalu menengadahkan wajahnya ke arahku. "Oh, halo orang asing penduduk baru". Dia tak langsung mengenalkan dirinya sendiri. Dia lalu bangkit keluar dan sekedar membersihkan pakaiannya yang tampak lusuh dengan menepuk-nepukkan tangan di atasnya. "Aku Maxinus. Tidak, aku tidak sedang berkemah di sini. Aku tinggal di sini". Jawabannya pasti dan tidak terdengar ingin dikasihani. "Tinggal di sini?", batinku. Bagaimana bisa?
Di hari itu aku menemukan hal baru yang tak pernah aku temukan selama apa pun aku hidup. Maxinus sudah tinggal di sana bahkan lebih lama dari kepala desanya. Dari penampilan dan keadaannya yang hidup hanya di sebuah tenda orang pasti akan berpikir bahwa ia orang yang gagal dan tak berguna bahkan untuk hidupnya. Mungkin tebersit sedetik aku akan berpikiran yang sama tapi tidak setelah tahu cara bicaranya yang tenang dan berwibawa. "Silakan duduk di mana pun kau mau. Jangan takut dengan kotornya tanah". Ia lalu menyiapkan selai untuk disuguhkan. Rupanya itu madu yang sudah dijadikan selai entah bagaimana ia membuatnya. Lalu aku pun mengeluarkan sesuatu yang ada di saku jaketku. "Wah, terima kasih banyak. Ini sangat berarti". Padahal hanya crackers yang kuberikan tapi ia sangat senang sekali. Jarang sekali aku menemukan ekspresi semacam itu di kota modern nun jauh di sana.
Hari ke hari aku jadi sering mengunjunginya di bukit. Entah kenapa aku merasa senang berbagi cerita dengannya. Aku lebih nyaman berbincang dengannya menanyakan seputar kehidupan di desa ini dibanding harus bertanya pada kepala desanya. Maxinus bukan orang yang tertutup, ia bercerita mengenai hidupnya sejauh ini. Hari itu juga ada kedatangan tamu yaitu seekor rakun. Sambil bercerita ia menyisipkan sesuatu yang membuatku terdiam. "Kamu tahu, rakun ini lebih menghargai pemberian dibanding manusia yang selalu mengharapkan lebih". Tangan rakun itu menggapai biji kenari yang diberikan Maxinus padanya. Mulutnya yang lebar lalu mengunyah tanpa aba-aba. Di sela itu aku berpikir sangat dalam pada kehidupanku yang sebelumnya tak pernah puas akan apa pun. Betapa bodohnya aku.
Dari hari ke hari lalu berganti bulan kemudian tahun aku selalu mengunjungi Maxinus di tenda kuningnya yang lusuh itu. Tapi pagi ini aku dapati ia tak ada di sana. Perapiannya tak berasap, tak ada sisa-sisa kehidupan. Ini tak pernah terjadi sebelumnya. Kuputuskan untuk berlari segera setelah lima detik aku diam mematung di sana menuju pusat desa untuk bertanya pada ranger di desa. Sambil bernapas terengah-engah aku buru-buru bertanya pada salah satu ranger yang sedang bertugas. "Jim, kau lihat Maxinus? Ia tak ada di tendanya, perapiannya pun mati". Jim hanya diam tak segera menjawab mendengar pertanyaanku yang terburu-buru itu. "Max, sudah tak ada. Dem, maaf". Jim mengantarku ke tempat peristirahatan Max. Hatiku pilu bercampur sedih dan entah itu apa namanya lainnya. Di sebuah pemakaman yang dekat dengan hutan pinus Max dimakamnkan. "Max meninggal saat kau pergi ke kota, Dem. Ia sudah menebus kesalahannya sekarang dan semoga arwahnya tenang di dunia sana". Apa maksudmu, Jim?". "Apa kau belum tahu? Max adalah pendiri desa ini. Desa ini sempat ditinggalkan penduduknya termasuk oleh kakekmu. Ia yang membawa kami semua yang gelandangan di kota ini menjadi penduduk desa Clayton dan membangunnya kembali. Dengan semua harta yang ia punya ia membangun lagi semuanya". Aku hanya bisa diam sambil memandangi batu nisan bertulisan Maxinus Burton. "Lalu apa maksudnya dengan menebus kesalahannya, Jim? aku mencoba menggali lebih jauh. "Selama di kota Max adalah orang kaya pemilik bank. Tapi ia bercerita untuk mendapat kekayaannya itu ia harus menempuh segala cara. Termasuk menyewa pembunuh bayaran untuk melenyapkan kreditur yang tak mau membayar".
Dalam perenungan aku mendengar dengan bijak semua cerita dari Jim. Dan, aku menemukan sesuatu tentang apa yang pernah diucapkan Max tentang manusia yangg tak pernah puas. Rupanya ia sedang menceritakan dirinya sendiri lewat pengalaman hidupnya dan memutuskan untuk menebus semuanya sebelum ia mati. Lalu seketika angin dari selatan meniup kencang sampai rambutku tersibak dan memberikan rasa dingin yang lumayan. Dalam hatiku aku berharap semua orang serakah berlaku menebus dosanya seperti Max. Tapi, Bagaimana bisa?
0 Comments