![]() |
novel blog |
3 tahun berselang
Selasa, 2 April 2236
Ini hari yang sangat melelahkan, di tahun ketiga menjadi bagian dari Universitas Antariksa yang masih dibawah naungan SA-OD. Tahun ketiga aku jauh dari Yosumi, tahun ketiga aku jauh dari Ibu dan juga Skechers. Dan Lexa? Aku bertemu dengannya di sini di kota tempatku menimba ilmu, Karani. Di kota ini akhirnya hatiku menemukan cahayanya. Tepatnya satu bulan yang lalu kami berpapasan di lift pusat perbelanjaan, saat itu kami ada di lift yang berbeda arah. Aku bisa melihatnya dengan jelas karena dinding lift dibuat transparan. Aku menuju ke lantai atas sedangkan dia menuju ke bawah. Kami saling bertatapan saat lift berhenti di lantai yang sama, darahku mengalir dengan hentakan yang menggelora. Dia Lexa, mataku terasa nyaman menatap wajahnya lalu kulontarkan senyum tanda aku mengenalinya, dia pun tersenyum padaku sekaligus melambaikan tangan. Tapi, ia bersama seorang lelaki yang ia rangkul di tangan kirinya. Lexa sudah punya kekasih di umurnya yang baru 18 tahun. Dan kami belum pernah bertemu lagi sejak saat itu.
Lexa sangat sangat berubah, aku harus jujur, ia cantik sekali. Dan perasaan yang dulu aku tak mengerti sama sekali itu apa, sekarang aku mulai tahu jawabannya. Jantungku berdegup kencang saat mengingatnya. Aku jatuh cinta, sekarang aku yakin, aku jatuh cinta. Lexa yang membuat aku yakin bahwa aku jatuh cinta, hanya dengan melihatnya lagi untuk pertama kali setelah sekian lama. Aku tak peduli pada laki-laki yang bersamanya, aku hanya peduli dengan perasaanku yang akhirnya aku temukan di umurku yang sekarang ini, 18 tahun. Entah apa dan kenapa aku merasa dekat dengannya, seseorang di dalam diriku berkata dengan yakin sekali, dia milikku.
Kucoba mencari nomor kontak miliknya di kota ini dengan basis data online, aku berhasil menemukan satu nama Sani Alexandra, ini pasti dia. Tapi tanganku terasa berat walau hanya untuk menyentuh layar holophone. Mungkin ini yang dirasakan Skechers selama ini pada Genaya, aku tahu sekarang rasanya Sky. Aku hanya tak menduga akan sehebat ini. Sampai hari ini pun aku masih belum punya kesempatan untuk bertemu dengannya secara langsung. Satu alasan yang membuatku tak sembarangan untuk bertindak adalah keberadaan laki-laki yang bersamanya. Aku bisa saja datang ke tempat Lexa tanpa sepengetahuan lelakinya, aku bisa saja menghubunginya lewat holophone. Tapi tidak, aku tahu tempatku dimana.
Satu bulan ke belakang pandanganku tentang hidup berubah drastis, selalu ada Lexa terlintas walau hanya sedetik. Imajinasiku tentang Lexa tak dapat kuhalangi. Dan itu terjadi dimanapun, aku menciptakan sosok Lexa yang kubuat sendiri dalam bayanganku. Kuciptakan sesuai dengan keinginanku, kubuat ia selalu ada untukku dan hanya untukku. Di saat malam hari adalah saat yang paling rentan untuk selalu ingat tentang anak itu. Teringat dulu dia membujukku untuk dibuatkan teleskop, menarik lengan bajuku untuk selalu menuruti kemana dia pergi. Dadaku terasa terbakar, napasku terasa makin dalam. Aku hanya punya kenangan masa lalu untukku sendiri.
Tapi setidaknya sekarang aku tahu dia baik-baik saja. Mungkin saat ini dia sedang mengejar mimpinya yang dulu pernah ia ungkapkan padaku, menjadi seorang ahli astronomi. Jika ia ada di sini di kota ini, pasti akan seperti yang aku pikirkan yaitu dia di sini untuk kuliah, karena kota ini dirancang untuk mahasiswa. Kota Karani adalah kota yang dibangun untuk pemusatan perguruan tinggi di Orlanida.
“Lex, jika kau mendengarku..aku hanya ingin mengatakan ini, aku senang melihatmu lagi. Senang sekali.”
Seandainya ia merasakan apa yang aku rasakan, ia pasti akan mendengar kata-kata barusan yang selalu ku bisikkan dalam hati. Sebelum mataku terpejam, beristirahat dari dunia.
Rabu, 3 April 2236
Rutinitasku saat ini lebih padat dibanding dulu, waktuku hanya kuhabiskan untuk belajar dan belajar. Sejak paman Gracaa membawaku ke sini tiga tahun lalu untuk kuliah, aku tak punya waktu untuk bersantai walau hanya ingin menikmati langit sore. Pendidikanku nomor satu dan yang lain entah nomor berapa. Pernah suatu hari Sky marah padaku karena panggilan hologramnya tak pernah aku angkat. Oh iya, Sky saat ini tengah dikontrak oleh pabrikan sportbike untuk mengikuti MotoRace. Ia dikontrak oleh Kirin untuk mengikuti balapan. Ya, Sky telah menjadi pebalap profesional, ia telah membuktikan perkataannya. Terakhir aku memerhatikan MotoRace ia ada diurutan no. 2 klasemen sementara. Pastilah dia sangat hebat karena aku tahu sejak awal betapa mahirnya ia mengendarai flyingbike. Sky menjadi juara pertama saat dulu mengikuti perlombaan di Lars Arena tiga tahun lalu, sayang aku tak ada di sana. Waktu berlalu sangat cepat.
Hari ini jadwalku untuk mengikuti kuliah personifikasi alam semesta dengan dosen yang hampir membuatku tak punya waktu untuk tidur lebih awal karena tugas yang ia berikan tak pernah usai. Jam dinding masih menunjuk angka 6 pagi ini.
“Kepada saudara Dreo Olivion, ditunggu di ruang tamu. Harap segera turun.”
Panggilan dari petugas asrama untukku di pagi hari seperti ini, ada apa? Perasaanku selama ini aku tak pernah melanggar peraturan. Dengan masih mengenakan pakaian seadanya aku turun ke bawah.
“Dre!, Ibu kangen padamu. Kamu sehat kan?”
“Ibu!, aku sehat Bu. Ibu kenapa tak bilang akan ke sini?”
“Ini hari ulang tahunmu Dre, Ibu ingin memberimu kejutan.”
“Sekarang tanggal 3? Astaga aku lupa tanggal ulang tahunku sendiri. Ayo Bu ke asramaku. Tempatku di atas di lantai 2.”
Ternyata Ibu datang menemuiku, dan hari ini adalah ulang tahunku. Bodohnya aku lupa hari lahirku sendiri. Ibu datang membawa kue dengan lilin angka 18 di tengahnya.
“Selamat ulang tahun, Dre. Semoga sisa hidupmu lebih berarti.”
“Terima kasih Bu, aku sayang Ibu.”
Aku hanyut dalam pelukan Ibu, air mata membanjiri pipi kami berdua. Ibu tak pernah menunjukkan rasa senangnya seperti ini sebelumnya. Aku tahu pasti Ibu sangat rindu padaku dan aku pun sama, sangat rindu pada Ibu, pada rumah, Brian dan Zadar. Aku tak pernah diberi waktu untuk pulang selama tiga tahun ini. Tapi sekarang rinduku terbayar lunas.
“Bu, aku harus berangkat kuliah. Ibu tinggal di sini saja dulu sampai aku pulang. Aku punya banyak persediaan makanan di kulkas. Kalau Ibu bosan, Ibu bisa minta antar petugas keamanan untuk berjalan-jalan sekitar kota.”
“Jangan khawatir Dre, Ibu akan baik-baik saja.”
“Oh iya, ibu pasti cuti kerja sekarang kan?”
“Ya, ibu ambil cuti seminggu Dre. Zadar yang akan mengurus rumah dan Brian.
“Baguslah, Ibu bisa berlibur di sini. Aku berangkat Bu.”
“Hati-hati di jalan Dre.”
Aku senang Ibu ada di sini dan aku senang masih ada Ibu yang ingat ulang tahunku. Sebenarnya aku tak ingin meninggalkan Ibu sendirian di asrama tapi aku harus berangkat kuliah. Holophone-ku bergetar, ada pesan masuk.
“Selamat ulang tahun Hercules, maaf aku tak bisa memberi hadiah. Tapi aku kasih doa saja, oke. Semoga kamu selalu sehat dan selalu pintar seperti dulu. Lexa.”
Lexa? aku membuka pesan barusan menjadi teks, dan ini pesan dari Lexa. Hei, dia masih ingat ulang tahunku. Langkahku terdiam membaca pesan tadi, jantungku berdebaran, semangatku membara dan senyumku melebar. Bagaimana ia bisa tahu nomor holophone-ku? pasti ia sengaja mencari, itu pasti. Lalu kubalas pesannya tanpa menunggu lagi.
“Terima kasih, Xena The Warrior Princess. Lama kita tak berjumpa, bagaimana kabarmu sekarang.”
Aku masih memerhatikan layar holophone-ku dengan harapan pesanku segera dibalas, tampilan layar menunjukkan ia sedang mengetik, aku tunggu dengan sabar.
“Ha ha ha aku selalu ingat suaramu saat memenggilku itu Dre. Kabarku baik-baik saja, kabarmu bagaimana?”
“Aku juga baik Lex, kamu ada di sini sejak kapan?”
Kali ini pesanku tak langsung dibalas, tak ada tampilan sedang mengetik di layar holophone-ku. Mungkin lain kali, sekarang waktu untuk kami para mahasiswa bergelut dengan mata kuliah. Tanpa aba-aba aku melanjutkan perjalananku menuju kampus.
Letak kampusku hanya berjarak 50 meter dari asrama jadi tak ada alasan untuk telat masuk kuliah. Jika dilihat dari kejauhan kampus ini akan tampak seperti kastil abad 17, bedanya hanya dari material yang digunakan. Tentu saja titanium akan sangat mendominasi bila dilihat dari kejauhan. Kampusku dijaga sangat ketat, tak sembarangan orang bisa masuk begitu saja. Semua mahasiswa masuk dengan melewati pemindai retina terlebih dahulu, dengan begitu akan dikenali bahwa mahasiswa yang bersangkutan adalah benar mahasiswa dari Universitas Antariksa. Tak ada yang bertingkah konyol di sini, semua tampak sangat teratur dan rapi. Begitu melewati gerbang luar pertama akan terasa suasana yang membuatmu seakan bisa melihat masa depan yang cerah. Dengan taman berbentuk bulat yang dibuatkan labirin di tengahnya. Pintu masuk utama terlihat setelah melewati gerbang luar pertama kampus, dipintu masuk itulah semua orang akan dipindai untuk dapat masuk. Dengan arsitektur yang megah gaya abad 23, semua orang melayang memakai stand walker karena saking malasnya untuk berjalan.
Jalur pipa untuk oksigen tak terlihat sama sekali, sekarang semua telah dipugar untuk kenyamanan dan keindahan kampus. Di seluruh kota pun sama, jalur pipa oksigen telah diubah sesuai peraturan pemerintah pusat. Aku memasuki kampus dengan mantap setelah pemindaian retina selesai lalu diikuti mahasiswa yang telah mengantri di belakangku.
“Ini dia Dreo Olivion si bocah jenius.”
Geldo menghampiriku dengan langsung mengajakku berjabat tangan gaya kami sendiri. Nama lengkapnya adalah Geldo Faranyee. Dia temanku yang tiga tahun ini bersamaku dari awal kami masuk kuliah. Usianya lebih tua 4 tahun dariku. Karena aku mahasiswa akselerasi jadi aku paling muda diantara semua mahasiswa. Dengan rata-rata perbedaan 3 sampai 4 tahun. Kabarnya hanya aku mahasiswa akselerasi termuda di kampusku, Geldo yang memberitahuku.
“Apa ada ide baru untuk proyek matahari kita, Dre?”
“Lumayan rumit untuk proyek yang satu itu Gi, perlu kesabaran lebih.”
“Yah, setidaknya kau lebih pintar dariku. Serumit apapun kau pasti berhasil memecahkannya kan? Sebagai anggota tim aku akan ikut berjuang.”
“Pastinya Gi. Kau di kelas siapa sekarang?”
“Aku di kelas Prof. Mandeta, Tata Ruang Galaksi. Kau?”
“Di kelas Prof. Early, Personifikasi Alam Semesta.”
“Ha ha. Aku tak diluluskan di mata kuliah itu oleh dosen killer macam Bu Early, Dre.”
“Ha ha ha. Sudah jangan jadi curhat, aku harus buru-buru.”
“Sombongnya kau Dre, kita bertemu di aula nanti sore.”
“Oke.”
Jujur saja aku sering gugup jika harus berhadapan dengan Prof. Early, matanya menyorot tajam saat mengajak bicara semua orang. Dia dulu adalah dosen yang mengajar Ayahku juga, aku mengetahuinya dari paman Gracaa. Saat ini kuambil konsentrasi kuliah yang sama dengan Ayahku yaitu Ilmu Luar Angkasa. Bidang ilmu yang kudambakan sejak kecil. Di awal perkenalanku pada masa orientasi, sebagian dosen menatap seperti mencoba membaca sesuatu dariku dan itu terjadi tiap kali kuperkenalkan namaku. Pasti karena nama belakangku, nama peninggalan Ayahku.
Prof. Early boleh dibilang adalah perawan tua, karena di umurnya yang sudah menginjak kepala 5 belum pernah menikah sama sekali. Mungkin itu yang membuat pembawaannya selalu terlihat tak menyenangkan, galak, tak mau tahu dan cenderung menyeramkan. Hari ini pun sama, saat masuk melewati pintu kelas raut mukanya masih menggunakan raut muka minggu yang lalu. Tanpa senyum, tanpa belas kasihan dan tanpa basa-basi. Mungkin dosen yang satu ini sarapan dengan timbal di setiap paginya yang akhirnya menjadi seperti ini, auranya membuat suasana kelas menjadi kelabu.
“Olivion, coba tunjukkan tugas yang saya kasih minggu lalu dan jelaskan ke semua temanmu di sini, di depan kelas dengan hologram buatanmu.”
Astaga, aku menjadi sasaran pertama untuk hari ini. Tapi untunglah tugasku rampung tanpa banyak kendala. Kuhadapi dosen killer ini dengan hati baja, akupun tak mau kalah dengannya. Matanya masih menyorot tajam padaku dan terus menyorot sampai akhirnya berhenti saat penjabaranku selesai. Kulihat bibirnya meruncing ke bawah bukti ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya tentang hasil karyaku.
“Apa kamu yakin dengan teorimu bahwa alam semesta akan hilang setelah energi hitam di jagad raya habis?”
“Ya, karena semua yang tiada akan kembali menjadi tiada pada akhirnya.
Seperti tubuh ini yang tergantung pada oksigen dan asupan yang lain, alam semesta pun sama tergantung pada energi hitam.”
“Oke, dapat diterima. Kerjamu bagus, Olivion. Silahkan kembali ke tempatmu.”
“Terima kasih, Prof.”
Begitu dapat dijinakkan, singa sekalipun akan dapat diam dan mendengarkan apa katamu. Berlebihan memang, tapi terbukti bila kekuatan yang kau punya langsung menyentuh titik terlemah musuhmu ia akan kalah. Anggap saja beliau ini musuh yang membuat nyali menciut saat berhadapan langsung, musuh dari keberanian maksudku. Aku telah mengalahkannya barusan, mengalahkan singa betina. Di akhir sesi kuliah Prof. Early meminta waktuku sebentar sekedar ingin berbincang.
“Olivion, Nak. boleh saya minta waktumu sebentar”.
“Ya Prof, tentu saja”.
“Saya lihat umurmu lebih muda dari mahasiswaku yang lain. Berapa umurmu, Nak?”
“18 tahun, Prof. Saya mahasisawa akselerasi 3 tahun lalu.”
“Oh, jadi kamu masuk diumur 15 tahun?”
“Ya, saya masuk ke sini di umur 15 tahun dengan rekomendasi paman Gracaa.”
“Gracaa? Sepertinya aku kenal nama itu.”
“Gracaa Laxtrazi, Prof. Sahabat dari Ayahku, Jara Olivion.”
“Ya ya, saya ingat sekarang. Apa tadi kamu bilang? Jara Olivion Ayahmu?”
“Ya Prof, dia Ayahku.”
Lalu air muka beliau berubah saat aku mengatakan siapa nama Ayahku, beliau sempat terdiam dengan pikiran menerawang.
“Saya ingat, Jara Olivion mahasiswa yang sangat pintar dan aktif. Dulu, 20 tahun yang lalu. Sampai akhirnya ia meninggal karena kecelakaan pesawat ulang alik yang diawaki nya hancur. Ayahmu sempat menjadi presiden mahasiswa di kampus ini, Nak. Saya yang memberikan jabatan itu padanya.”
“Benarkah Prof? Saya pun berniat ingin menjadi presiden mahasiswa.”
“Oh ya? Berjuanglah nak. Semoga kau terpilih.”
“Terima kasih Prof, panggil saja Dre kalau professor mau.”.
“Oke Dre, sampai jumpa minggu depan. Aku bangga pada Ayahmu.”
Untuk ukuran dosen killer professor Early tak terlalu menyeramkan seperti yang orang lain kira. Beliau bisa sangat ramah padaku, ya walaupun masih terasa sedikit kaku. Tapi beliau orang yang peduli aku rasa, buktinya beliau masih mengingat Ayahku yang dulu pernah menjadi mahasiswanya. Professor Early baru menjadi dosenku di semester ini, di awal sampai semester keenam aku belum pernah diajar olehnya. Tapi reputasinya di kampus sudah mendahului orangnya. Memang beliau dikenal sangat galak dan pelit dalam memberi nilai, banyak mahasiswa yang tak lulus di mata kuliah yang beliau bawakan. Termasuk Geldo yang tadi pagi memberitahuku bahwa ia tak lulus mata kuliah Prof. Early yang sedang aku jalani.
Semua mata kuliah sudah beres untuk hari ini dan janjiku pada Geldo adalah menemuinya di aula. Aula kami untuk latihan di organisasi bela diri tangan kosong, Sitsui. Aku punya hutang tadi pagi untuk melawan Geldo dipertemuan minggu ini, mungkin ia masih penasaran karena dikalahkan olehku minggu lalu. Aku kenal Geldo pertama kali di organisasi kemahasiswaan ini, selain bela diri kami juga mengembangkan teknik melawan senjata dengan tangan kosong. Bukan melawan secara langsung, tak ada yang bisa melawan senjata dengan tangan kosong. Tapi teknik untuk menghindar dan juga merampas saat dekat dengan orang yang bersenjata. Kebetulan aku yang dipilih menjadi ketua organisasi tahun ini. Dan juga menjadi presiden mahasiswa adalah ambisiku yang patut untuk diperjuangkan nanti. Programku menjadi ketua organisasi Sitsui ini adalah membekali mahasiswa dan mahasiswi dengan bela diri, bagaimanapun caranya agar mereka tertarik dan bergabung mengikuti program organisasi kami. Salah satunya dengan menampilkan pertarungan antar anggota, sore ini adalah giliranku dengan Geldo untuk berduel. Ini adalah acara mingguan yang digelar komite Sitsui kampus. Aula sudah lumayan ramai oleh pengunjung dari berbagai fakultas yang menyempatkan untuk menyaksikan kami. Ini dia lawan duelku.
“Dari mana saja Dre? Ayo cepat ganti pakaianmu. Sepertinya kau takut melawanku.
“Kau tak salah bicara Gi? Sebentar aku bersiap dengan alat pelindungku dulu.”
“Bagaimana sekarang? Kau sudah siap melawanku?”
“Pastinya, mari kita buka acaranya.”
Sebagai ketua aku membuka acara minggu ini diawali dengan rasa terima kasih kepada semua yang sudah bersedia datang ke aula, dan juga rasa penghormatan kepada semua petarung yang akan mengisi acara, termasuk diriku sendiri. Dilanjutkan dengan menggambarkan visi dan misi diadakannya acara mingguan ini. Tak lama, hanya 5 menit. Dan pertarungan pun dimulai, yang pertama adalah aku dan Geldo sebagai pembukaan.
“Dre, aku akan membalas kekalahanku minggu lalu.”
“Ayo kita mulai saja Gi.”
Dengan posisi tangan saling menempel di dada sebagai tanda kehormatan kemudian Geldo mengambil kuda-kuda siap untuk menyerang, akupun bersiap dengan pertahanan yang kuat. Dengan hentakan kedua kakinya ke udara tubuhnya melayang mencoba mendaratkan kaki kanan miliknya di sekitar perut sampingku, aku bisa membaca itu lalu menghindar dengan cekatan sebelum terlambat. Tanpa basa-basi ia menyerang lagi mencoba memukul dengan membelakangiku, kutahan siku tangannya dan kujepit kaki kirinya dengan kedua kakiku yang membuat Geldo tersungkur jatuh dan memberikan ruang yang luas untukku mengunci tubuhnya. Tapi ia masih memiliki tenaga tak menyerah begitu saja, kuncianku berhasil dibuka seketika membuatnya bisa berdiri lagi.
Gilliranku untuk menyerang, kali ini dengan sedikit trik. Aku berlari berusaha mengecoh matanya agar terlihat seperti aku akan melompat dan meninjunya dari depan, tapi tidak, di detik berikutnya kugulingkan badanku sehingga berhasil mengenai pertahanan terlemahnya. Kaki kirinya sedikit terangkat dan disitu kesempatanku untuk menjatuhkannya lagi. Dia berhasil jatuh dengan indah di posisi terlentang membuat tanganku mudah untuk menjangkau bagian yang akan dilumpuhkan. Aku tidak sungguh-sungguh melumpuhkannya, hanya melakukan gerakan melumpuhkan tapi tidak benar-benar mengenainya karena ini hanya untuk kepentingan demonstrasi. Pemenang sudah ditetapkan.
“Sialan kau Dre, aku kalah lagi.”
“Hei-hei jangan mengeluh begitu sudah terima saja.”
“Oke-oke kau memang jagonya.”
Tawa kami lepas setelahnya, demonstrasi kali ini berhasil mencuri perhatian cukup banyak pengunjung. Tepuk tangan terdengar dari tiap-tiap orang menunjukkan apresiasi untuk pertunjukkanku dan Geldo. Aku harap ketertarikan muncul setelah acara ini selesai dan organisasi bertambah besar. Tujuanku membesarkan organisasi ini sekadar membantu negara agar rakyat yang dapat memertahankan diri sendiri jadi lebih banyak, khususnya wanita. Karena akhir-akhir ini tidak kejahatan sudah mulai marak walaupun tak terlalu mencolok terjadi di tengah-tengah masyarakat. Sebagian besar terjadi di jalanan dan perempuan selalu menjadi sasaran tindak kejahatan tersebut. Penyebab mereka melakukan aksi kriminalitas bermacam-macam, dan ada alasan terkonyol menurutku yaitu mereka melakukan aksi kriminal hanya untuk mencari kesenangan. Ini pola pikir macam apa melukai orang lain hanya untuk kesenangan. Apa terlalu damai menjadikan sebagian mereka bosan lalu berbuat seenaknya? Alasan paling tak masuk akal. Lambat laun keresahan di masyarakat sudah mulai kurasakan. Diskusiku dengan diri sendiri terganggu oleh tepuk tangan pengunjung di aula. Acara akan segera selesai.
Penutupan dilakukan dengan penghormatan seluruh anggota kepada pengunjung. Geldo merangkul pundakku setelah semua orang bubar dari tempatnya.
“Selamat ulang tahun Dre, sehat dan berkarya selalu.”
“Hey terima kasih Gi, jangan adakan kejutan seperti tahun lalu oke, kau tahu kan.”
“Ha ha oke oke Dre, santai saja. Aku juga malas repot-repot untuk hal semacam itu. Tapi aku ada satu permintaan untukmu.”
“Apa?”
“Bantu aku mengerjakan tugas.”
“Ahh jangan lagi.”
“Ayolah Dre, hadiah untukmu nanti menyusul.”
“Oke, tapi aku tak akan lama. Ibuku sedang berkunjung ke asramaku.”
“Baiklah kawan, tak masalah.”
Geldo sebenarnya cukup pintar tapi ada sedikit sifatnya yang mendominasi yaitu malas. Tapi untuk urusan berorasi dan memanaskan suasana dia jagonya. Ia aktif juga di organisasi eksekutif kemahasiswaan bersamaku. Saat rapat anggota ia sempat memperkeruh suasana dengan mengungkit dana sosial yang tak jelas mengalir kemana. Saat itu ruangan menjadi tempat adu argumen dan hampir adu otot. Dialah Geldo Faranyee sang penantang.
Geldo satu asrama denganku tapi berbeda gedung, aku di gedung rajawali sedangkan dia di gedung garuda. Gedung garuda berdekatan dengan asrama putri, ia sering mengajakku untuk sekadar melihat-lihat ke sana. Mengintip lebih tepatnya, tapi aku tak pernah menuruti ajakan mautnya. Cukup berbahaya bila harus mengorbankan reputasiku di kampus. Kami meninggalkan kampus dibawahi langit hitam mencekam yang menjadi ciri khas Orlanida negara kami tercinta. Selain karena hari telah malam ditambah lagi mendung menyertainya. Sesuai janjiku, aku tak akan berlama-lama ada di asramanya. Setelah selesai kubantu tugasnya akupun segera pergi menuju asramaku.
“Aku pulang Bu.”
“Oh kamu sudah pulang Dre, ayo cepat mandi lalu makan. Kamu pasti lapar, Ibu sudah masakan kentang bumbu pedas untukmu.”
“Yang benar Bu? Aku sudah lama tak makan masakan Ibu, kangen sekali rasanya.”
“Ibu tidak bosan kan seharian ada di sini?”
“Tenang saja Dre, jangan khawatirkan Ibu. Ayo cepat sana mandi.”
“Baiklah Bu.”
Kado terindah untuk hari ini adalah kedatangan Ibuku ke asrama, dan yang paling aku rindu adalah masakannya. Masakan Ibu rasanya tak pernah kutemukan dimanapun, ada cinta di dalamnya yang membuat lidahku tak bisa menduakan dengan masakan yang lain. Mandiku tak perlu lama dengan sekejap kuselesaikan. Pikiranku sudah penuh dengan makanan yang sudah dipersiapkan di meja makan.
“Ayo Bu kita makan, sepertinya sangat enak.”
“Bagaimana kuliahmu Dre?”
“Berjalan lancar Bu, aku sedang mengerjakan proyek untuk meneliti matahari.”
“Matahari? Kau tak akan pergi langsung ke sana kan? yang benar saja.”
“Jangan khawatir Bu, aku tak akan meneliti langsung. Aku membuat android untuk dikirim ke sana.”
“Baguslah, Ibu sudah sangat cemas mendengarnya.”
Aku tahu Ibu terlihat kaget dan cemas karena pasti sangat khawatir bila aku harus mengikuti jejak Ayah.
“Bu, aku ingin tahu cerita saat Ayah dulu menjadi presiden mahasiswa?”
Ibu memandangku sangat dalam saat aku bertanya seperti itu. Ia pasti sedang mengingat kembali saat dulu Ayah menjadi presiden mahasiswa.
“Ayahmu dulu menjadi presiden mahasiswa di tahun ketiga masa kuliahnya dan menjabat selama satu tahun. Ia dilantik oleh ketua dosen, Ibu lupa siapa namanya tapi Ayahmu bercerita kalau ia dilantik oleh dosen muda seorang perempuan.”
“Ya, namanya Prof. Early dan sekarang ia menjadi dosenku Bu. Ia yang menceritakannya padaku.”
“Oh ya itu, nama dosen itu adalah Early Ibu ingat sekarang. Dulu Ayahmu membuat program kerja yang sangat bagus. Setiap mahasiswa diajak menyumbangkan ide setiap minggu demi kemajuan kampus dengan mengadakan pertemuan berkala di akhir minggu untuk saling bertukar pikiran. Itu salah satunya.”
“Aku akan menjadi presiden mahasiswa Bu.”
“Hmm? kau ingin menjabat jabatan itu? kejarlah kalau kau mau. Ibu yakin kau akan mendapatkannya jika kau sungguh-sungguh Dre.”
“Aku akan bersungguh-sungguh.”
Itu janjiku kepada Ibu, juga kepada diriku sendiri. Semangatku untuk memperoleh jabatan itu jadi semakin besar, karena Ayah yang menjadi panutanku. Aku akan meneruskan tahta untuk mendiang Ayahku. Aku ingin membuat Ayah bangga, caranya adalah dengan melihat Ibuku bangga, aku tahu Ayahku juga akan bangga bila beliau masih ada.
Cerita tentang Ayah masih membekas dan terus teringat sampai ke tempat tidurku. Ada banyak cerita untuk hari ini, aku selalu terbiasa mengingatnya sebelum terlelap dan berusaha mengoreksi kesalahan bila memang terjadi di hari itu. Hari ini sepertinya tak ada kesalahan. Oh iya, ada, aku lupa pada hari ulang tahunku sendiri. Tapi sepertinya lupa adalah manusiawi, setiap orang pasti pernah lupa. Jadi itu tak masuk hitungan untuk dikoreksi sepertinya. Lexa..ah dia seperti orang baru dalam hidupku sekarang, orang baru yang menempati hatiku. Perempuan dengan wajah terbarukan dan sayangnya baru ditemukan setelah sekian lama. Oke, Lexa kumasukkan menjadi salah satu agenda dalam misiku. Menjadi ambisi yang ingin kugapai dan kumiliki. Agak berlebihan bila harus kutinggalkan konsentrasi kuliahku demi untuk mencari keberadaan dan kebenaran tentang dia. Tapi kenapa hal itu sempat terpikirkan olehku? Mungkin hanya pikiran liarku saja, yang terpenting aku tahu setiap langkah dan setiap keputusanku telah kupikirkan dengan matang. Aku teringat ucapanku sendiri pada Sky beberapa tahun lalu soal Genaya, “jika dia jodohmu, dia akan bersamamu nanti”. Kata-kata itu harus kutelan untukku sendiri sekarang pada Lexa.
Selasa, 9 April 2236
Ibu telah menemaniku selama seminggu di asrama dan hari ini waktunya untuknya kembali ke rumah. Ibu bercerita padaku kalau ia tak akan bekerja lagi di rumah sakit lalu akan mengelola bisnis baru di Yosumi, membuka toko kue. Aku mendukung dengan rencana Ibu itu, lagipula dengan membuka toko kue Ibu akan lebih kreatif dan menurutku Ibu akan lebih nyaman dengan bisnis barunya itu. Karena apa, karena Ibu sudah tak sanggup lagi jika harus jaga malam di rumah sakit. Akupun khawatir dengan kesehatannya jika terus menerus seperti itu. Jadi aku akan sangat mendukung dengan apa yang Ibu rencanakan. Semua fasilitas yang diperlukan telah siap jadi tinggal menunggu kesiapan Ibu untuk mengelolanya. Soft opening rencananya akan diadakan saat hari libur tengah tahun negara Orlanida sekitar bulan Juni. Semoga semua berjalan dengan lancar.
Sangat pagi sekali Ibu sudah siap untuk kembali ke Yosumi, aku mengantarnya ke stasiun Lonson di tengah kota Karani dengan flyingbike milikku.
“Nanti aku akan pulang di acara soft opening toko kue Ibu.”
“Bereskan dulu tugasmu baru kamu kembali ke Yosumi.”
“Baik Bu, aku akan membereskan semua tugasku sebelum soft opening.”
“Ibu pulang Dre, kamu jaga diri baik-baik. Jangan terlalu memaksakan diri jika kamu sibuk.”
“Jangan khawatir Bu aku akan menyelesaikan sesuai jadwal, Ibu hati-hati di jalan.”
Aku menunggu sampai kereta yang Ibu tumpangi berangkat, aku hanya ingin memastikan Ibu baik-baik saja. Saat ini pukul 05.55 pagi waktu Orlanida, udara tak terasa dingin sama sekali. Setelah lima menit menunggu kereta berangkat sesuai jadwal, pukul 06.00. Aku kembali ke asrama untuk bersiap pergi kuliah.
Jangka waktu yang diberikan kampus untuk menyelesaikan proyek matahari adalah sampai awal bulan Juni. Jika semua berjalan sesuai rencana aku bisa menemani Ibu membuka tokonya, setidaknya proyeknya berjalan lancar dan aku bisa meninggalkannya untuk sementara. Sebenarnya ini proyek 1 tahun lalu yang diberikan kepada seniorku dan tim nya di kampus tapi di tengah jalan ia merasa tak sanggup lagi untuk menyelesaikannya. Dan, diberikanlah proyek ini padaku untuk dilanjutkan berdasarkan seleksi dewan dosen. Sore ini setelah sesi perkuliahan selesai aku akan mengunjungi seniorku ini untuk berdiskusi sedikit tentang kendala proyek ini. Bagaimanapun juga dia telah berusaha untuk mengerjakannya, pastilah ia punya sesuatu yang bisa dibagi kepadaku.
Tim yang kupilih untuk menemaniku menyelesaikan proyek ini adalah Grahan, Altari, Houran dan Elmara. Tim ini kupilih dari hasil seleksi beberapa orang yang direkomendasikan dewan dosen. Dan aku meminta satu orang lagi untuk ku masukkan dalam tim, yaitu Geldo. Keahliannya dalam seni membuat robot bisa dibilang juara jadi aku memilih dia sebagai anggota tim tambahan. Aku mengirim pesan hologram kepada semua anggota tim, mengingatkan untuk rapat nanti sore setelah perkuliahan selesai. Aku tiba di kampus pukul 08.10, aku berjumpa dengan Grahan sebelum mata kuliah pertama dimulai.
“Dre, aku telah menyelesaikan sebagian skema yang akan kita jalankan di proyek kita nanti.”
“Bagus Grey, kau terima pesan dariku kan?”
“Ya, aku membukanya di rumah sebelum berangkat ke sini.”
“Oke, nanti sore kita diskusikan bersama.”
“Siap.”
Sepanjang jam mata kuliah berlangsung kuselipkan waktu untuk memikirkan bagaimana proyek ini agar berjalan dengan lancar. Sampai detik ini masih berjalan sekitar 15% untuk mencapai hasil 100% target itupun hasil dari pekerjaan yang sebelumnya dari seniorku. Targetku adalah membuat android sesederhana mungkin untuk mudah dioperasikan dan sekuat mungkin tahan dari panas matahari. Karena penelitian ini butuh jarak yang sedekat mungkin dengan matahari. Pembagisan tugasnya adalah seperti ini, aku bertanggung jawab terhadap seluruh proyek dan rencana awal ada padaku, Grahan bertanggung jawab terhadap kalkulasi dan semua rencana perhitungan, Altari bertanggung jawab terhadap material dan pengujiannya, Houran bertanggung jawan pada pembacaan dan prakiraan cuaca luar angkasa, Elmara bertanggung jawab terhadap rekayasa perangkat lunak dan perangkat keras dan Geldo bertanggung jawab untuk produksi dan perakitan android. Tapi sebagai tim kita akan tetap membantu satu sama lain.
Pukul 15.05 semua sudah berkumpul untuk rapat sederhana di ruang rapat mahasiswa. Aku mulai pembicaraan dengan santai.
“Oke, semua telah hadir. Aku langung saja, bagaimana perkembangan masing-masing? Grahan?”
“Skemaku sudah siap Dre.”
“Altari?”
“Semua material yang kita butuhkan sebenarnya sudah lengkap hanya ada satu yang susah untuk didapat, Kriptonium untuk pelapis luar android.”
“Oke aku catat itu, lalu Elmara?”
“Sedang dalam pengerjaan untuk perangkat lunak Dre.”
“Gi, bagaimana denganmu?”
“Rancangan androidku telah siap.”
“Baik. Untuk Houran saat ini boleh membantu tim. Oke, kita akan mulai bekerja besok.”
Diskusi kami tak berlangsung lama, hanya membahas persiapan untuk permulaan besok. Sekarang aku harus menemui senior yang menangani proyek ini sebelumnya. Kebetulan dia masih aktif di kampus jadi tak terlalu sulit untuk mencarinya. Karena ia mahasiswa tingkat akhir jadi ia tengah mengerjakan karya ilmiahnya. Aku menemuinya yang sedang asyik dengan observasinya di laboratorium. Ia terlihat sibuk jadi aku harus bertanya seperlunya saja. Menurutnya kemungkinan gagal proyek ini adalah sekitar 90% karena yang akan diteliti adalah matahari dan kendala yang ia hadapi adalah jarak dari planet Lyuon yang sangat jauh dengan matahari dan material yang dibutuhkan sangat sulit untuk ditemukan. Tapi itu menurutnya, walaupun terlihat mustahil setidaknya bisa menjadi catatanku. Aku keluar dari laboratorium dengan perasaan sedikit gusar.
Sekarang tugasku untuk mencoba memulai apa yang telah dipercayakan padaku. Tekadku sudah bulat untuk tetap melanjutkan. Baru beberapa langkah kakiku menjauh dari pintu keluar laboratorium holophone-ku bergetar, ada pesan dari paman Gracaa.
“Dre, paman dengar kau bersedia meneruskan proyek yang berhenti itu. Bagaimana perkembangannya sekarang?”
Kenapa paman Gracaa bisa tahu? Aku balas pesannya langsung tanpa menunggu lagi.
“Kami baru akan mulai bekerja besok paman.”
“Kebetulan sekali, kalau kau ada kesulitan datang ke rumah paman. Siapa tahu paman bisa membantu.”
“Oke paman, bagaimana kalau akhir minggu ini?”
“Boleh, paman tunggu di rumah akhir minggu ini.”
Dahiku mengerut setelah membaca pesan dari paman Gracaa, ini aneh sekali kenapa paman Gracaa bisa tahu tentang proyek ini. Aku mengiyakan karena kebetulan jarak dari Karani ke Viconic tak terlalu jauh hanya sekitar 20 km jadi tak perlu waktu lama untuk sampai ke sana.
Tepatnya seperti ini soal proyek matahariku, dua minggu lalu Prof. Jutara yang menjabat rektor di Universitas Antariksa mengirim undangan padaku untuk membahas penawaran sebuah proyek. Aku memenuhi undangannya kemudian beliau menjelaskan bahwa ini adalah proyek yang sebenarnya sedang dikerjakan oleh seniorku tapi kemudian dia gagal dalam uji coba pertama dan memutuskan untuk berhenti. Lalu beliau menawarkan proyek ini untuk dilanjutkan olehku. Ini tantangan yang sangat menggiurkan bagiku jadi aku menerimanya. Semua fasilitas sarana dan prasarana telah siap untuk digunakan, aku diberi pilihan untuk bisa meneruskan pekerjaan seniorku atau memulai dari awal lagi dengan tenggat waktu awal Joones untuk tim evaluasi datang menilai hasil kerjaku. Karena aku pikir kampus yang mengadakan proyek ini jadi ini bagus untuk perkembangan kami ke depan. Tapi lantas kenapa paman Gracaa bisa tahu tentang proyek ini? Aku merasa aneh, atau mungkin ia tahu dari temannya yang menjadi dosen di sini? Iya, mungkin seperti itu.
Rabu, 10 April 2236
Langit sedang mencurahkan air kesedihan lagi di langit Karani, sore ini hujan sangat lebat. Timku sedang memulai untuk proses pengamatan hasil kerja dari tim yang terdahulu, android buatan mereka terlihat sangat berat dan kurang efisien. Aku memutuskan untuk tidak menggunakannya dan merubahnya dengan rancangan yang baru karya dari Geldo. Kami berdua cukup ahli dalam teknik mesin, jadi kami mulai dari sini dulu. Sepertinya hari ini akan sangat melelahkan.
“Lihat ini Dre, semua rancangan mereka sangat rapuh.”
“Ya, aku tahu. Kita rubah dengan rancanganmu Gi.”
“Baik, kita mulai dari mana?”
“Kau mulai dari sirkuit-sirkuit kecil yang detil itu, aku akan memulai membuat perangkat luarnya.”
“Oh ya Altari, bagaimana dengan Kriptonium nya?”
“Aku sedang memesannya Dre, tiba sekitar 3 hari lagi.”
“3 hari? Oke tak apa. Itu bisa di bagian akhir.”
“El, perangkat lunak besok sudah siap kan?”
“Siap Dre, mastering on progress.”
“Oke, kita mulai dari androidnya dulu. Jam berapa sekarang?”
“Jam 16.16 Dre.”
“Hari ini kita selesai jam 22.00.”
Sabtu, 13 April 2236
Aku menepati janji untuk datang menemui paman Gracaa di akhir minggu, cuaca hari ini lumayan menyenangkan. Matahari bersinar beberapa jam di pagi hari lalu pergi lagi entah kemana. Aku tiba di rumah paman Gracaa dengan suasana langit yang sedikit mendung.
“Hello Dre, kau terlihat sehat sampai mukamu sayu seperti itu.”
“Benarkah, padahal aku jarang tidur akhir-akhir ini.”
“Maksudku itu, coba perhatikan wajahmu di cermin.”
“Oh ha ha, maaf paman. Konsentrasiku terkuras hanya untuk proyek yang satu itu”.
“Santailah sebentar, ayo kita minum teh di taman.”
Rori datang dengan teh hangat di dalam teko yang terbuat dari tanah. Memang perabotan rumah paman Gracaa semuanya sangat unik. Satu set teko dan gelas dari tanah berwarna merah disiapkan di atas meja.
“Ayo, coba teh dari Antaloblas ini. Kau pasti belum pernah mencobanya.”
“Benarkah? Ini dari Antaloblas?”
“Ya, coba saja.”
Wow, aku belum pernah sekalipun mencicipi teh seenak ini. Ini teh yang ditanam langsung di Antaloblas, tempat yang paling hijau di dunia. Teh yang kuminum selama ini hasil dari hydroponik dan rasanya tak seenak teh yang satu ini. Terpujilah orang yang hidup di Antaloblas.
“Jadi bagaimana proyeknya Dre?”
“Sedang pembuatan ulang android, Paman. Oh iya, kenapa paman bisa tahu aku sedang mengerjakan proyek matahari. Jangan bilang dosenku adalah teman paman.”
“Tentu bukan Dre.”
“Lalu?”
“Lalu...itu adalah proyek Ayahmu di SA-OD yang belum sempat untuk dirampungkan.”
“Proyek Ayahku dulu? Bagaimana bisa sampai sekarang tak pernah selesai? Ini sudah hampir 18 tahun, Paman.”
“Ya, selama 18 tahun itu SA-OD tak pernah bisa melanjutkan karena selalu gagal.”
“Sekelas SA-OD, gagal selama 18 tahun?”
“Itulah kenyataannya Dre, jadi kami mencoba untuk merekrut tim di luar SA-OD yang bisa mengerjakan proyek ini. Universitas Antariksa salah satunya. Paman tak menyangka kau akan menerima proyek ini. Tentu saja kau tak tahu karena ini adalah perjanjian SA-OD dengan Universitas. Saat proyeknya selesai diujicoba ketahanannya, kami akan mengambil semua hasilnya dan menjalankan ekspedisinya.”
Semua penjelasan paman membuatku bingung bukan kepalang. Ini adalah proyek Ayahku dulu saat menjabat di SA-OD? Dan sekarang menjadi proyekku? Ini kebetulan yang sangat kebetulan sekali.
“Paman khawatir kau juga akan mengalami kegagalan yang sama, jadi paman akan memberikan rumusan hasil kerja Ayahmu. Yah bisa dibilang kau adalah penerusnya, Dre. Mungkin dua kepala Olivion akan memecahkan kebuntuan selama ini.”
Paman menyerahkan arsip yang sangat banyak milik Ayahku dulu, ini proyek yang belum sempat untuk diselesaikannya. Ini seperti bagianku untuk melanjutkan takdir Ayah yang terhenti.
Bersambung Chapter VII
0 Comments