![]() |
cerpen blog |
CERPEN BLOG. Suara mengeretak seperti sesuatu yang patah keluar dari mulutku setelah bogem mentah mendarat di pelipis kiriku. Sedetik pandanganku mengabur, blur tak jelas siapa saja orang-orang di depanku ini. Tiba-tiba aku tahu aku sudah terduduk di atas tanah. Lalu aku segera menyadarkan diri untuk bangkit berdiri kembali bersiap dalam posisi bertahan. Satu hantaman berhasil mendarat di bawah perutku tapi masih bisa aku terima, satu hantaman berhasil aku tahan dengan paha kiriku. Aku belum kelelahan untuk meladeni mereka. Mereka, orang-orang ini adalah orang yang tempo hari aku temui sedang mengejek ayahku dengan ejekan yang tidak manusiawi. Orang ketiga mencoba mengarah kepalaku tapi aku berhasil mengelak dan aku tancapkan kepalan tanganku tepat di ulu hatinya. Ia mengerang dalam gerakan lambat kemudian jatuh dalam posisi sujud. Satu lagi pukulan datang dari orang kedua dengan tangan kanan yang bisa aku baca pergerakkannya ku genggam lalu kupuntir tangan itu beserta dengan badannya yang mengikuti arah puntiran tanganku. Orang pertama mencoba melepaskan puntiran tanganku dari temannya tapi belum sempat mendekat badannya sudah jatuh ke tanah karena tendanganku berhasil mendarat di dadanya. Aku tak tahu energi ini berasal dari mana. Satu yang kutahu emosiku tak tertahan.
Ketiga orang itu bergeletakan di posisinya masing-masing. Satu orang masih bisa memandangku sambil memegang perutnya tapi tak terlihat berniat untuk menyerang balik. Dua orang masih merasakan sakit di atas tanah sambil menelungkup. Keadaan mulai hening, suara kendaraan dari kejauhan terdengar nyaring kemudian sayup menghilang. Aku masih dalam posisi berdiri meremas-remas tangan karena emosiku masih memuncak. Semua hantaman yang kuterima belum terasa efeknya. Wajahku pasti sedang tak enak untuk dilihat, darah masih mengalir deras, tubuhku masih terasa panas. Satu orang mulai mengambil langkah untuk menyadarkan kedua temannya berniat untuk pergi. Setelah ketiganya siap satu sama lain lalu pergi, kubentak mereka. "Sekali lagi kau panggil ayahku cebol, habis kau!".
Baca Juga : Aku Selalu Siap Mati Tapi Kau Membunuhku
Tiga hari berlalu dan semua badanku masih terasa sakit terutama di bagian rahang. Pukulan telak di pelipis kiri mematahkan gigi gerahamnya yang membuat mukaku bengkak. Aku meminta istirahat dari sekolah sampai kodisiku pulih. Ayah, satu-satunya orang yang ku punya dan satu-satunya orang yang kusayangi di dunia ini ada di sini sedang mengompres lukaku yang bengkak. Aku tak tahu apa aku harus kasihan pada diriku yang babak belur atau melihat kondisi ayah yang seperti itu. Ayahku memasang senyumnya padaku sambil menunggu kompresan kain basah yang ia tahan dengan tangannya di pipiku. Tak ada kata satu pun keluar dari mulutnya. Sesekali kepalanya bergerak tak tentu arah tanpa bisa ia kendalikan. Ia harus bekerja setiap hari sebagai juru parkir atau boleh kita sebut yang lebih terasa kasar yaitu tukang parkir. Apa aku harus malu dengan pekerjaan ayahku? Aku rasa tidak. Dalam beberapa kedipan mataku yang masih terasa setengah sadar sarapan sudah siap di meja. Itulah ayahku, yang masih tersenyum dengan ekspresinya dan aku tak pernah tahu ia sedang berpikir apa.
Ya, ayahku mengidap down sindrome dengan kondisi tubuh yang kecil. Apa aku harus malu? Sekali lagi, aku rasa tidak. Ia bisa menghidupi kami. Ya, kami di sini maksudnya adalah aku, ayah dan ibuku. Kini ayah adalah keluarga satu-satunya yang ku punya karena ibu sudah berpulang tiga tahun yang lalu oleh sebab penyakit lambung yang sudah kronis. Secara teknis aku dibesarkan dan dididik oleh ibuku tanpa bermaksud mengecilkan peran ayahku tentunya. Mereka adalah jiwaku di dunia ini, mereka adalah alasanku untuk tetap hidup. Suatu hari aku harus menjadi sesuatu yang bisa membuat mereka bangga. Untuk ibuku di masa lalu, dan untuk ayahku di masa sekarang. Itulah alasanku untuk selalu membela mereka. Ia menepuk pundakku berusaha berkomunikasi bermaksud pamit pergi bekerja. Langkahnya datar, aku lihat punggungnya yang tidak gagah dari belakang kemudian terhalang oleh pintu yang tak ia tutup dengan rapat. Semoga kau selalu kuat menjalani hidup yang keras di luar sana, Ayah.
Perkelahiannya terasa nyata sekali sampai jadi ikut merasa sedih.
BalasHapus