Type something and hit enter

author photo
By On

cerpen blog


CERPEN BLOG. "Apa ini? kenapa aku harus melihat ini. Aku melihat guruku dibunuh di sekolahku sendiri", berkata Fetiya dalam hatinya. Hari itu masih sangat pagi untuk sebuah tragedi mengenaskan yang tak akan pernah bisa dilupakan begitu saja bagi murid sekolah menengah atas atau pun bagi siapa saja. Seorang guru terkapar bersimbah darah di halaman sekolah. Ya, itu adalah guru dari Fetiya. Semua murid dan guru juga kepala sekolah beserta penjaga sekolah sedang mengelilingi jasad guru tersebut yang tak bisa disentuh apalagi ditolong. "Jangan ada yang mendekat! Jika berani mendekat akan saya bunuh juga kalian!", ancam seorang kakek. Suaranya menggelegar tak terlihat bahwa ia adalah seorang kakek yang umurnya hampir tujuh-puluhan tahun. Di tengah kengerian itu Fetiya berlindung di balik tembok kelas mengintip melewati jendela. Ia tak berani keluar kelas. Ia tak sanggup melihat gurunya yang selalu ia lihat setiap hari harus tewas dengan cara yang mengerikan. Tak pernah terbayangkan momen seperti ini akan ia alami sendiri di hidupnya. Selama ini ia hanya melihat peristiwa seperti ini di televisi lewat siaran berita yang memang selalu menjual kriminalitas untuk dipertontonkan.  

Baca Juga : Kau Panggil Ayahku Cebol, Habis Kau!

Udara bak kian mencekam suara raungan sirine dari kepolisian yang datang makin mendekat menambah aroma tak mengenakan menuju halaman sekolah. Semua diminta untuk pergi dari tempat kejadian perkara. Fetiya melihat dari kejauhan orang-orang berhamburan menuju kelasnya masing-masing. Rasa pilu menghinggapi tiap-tiap orang yang ada di sana. Fetiya tak ingin berada di tempat yang pilu itu. Ia diam-diam pergi menuju kantin yang biasa ia datangi saat istirahat. Di sana kebetulan ada tempat untuknya bisa menyendiri. Bu Jua adalah nama pemilik kantin itu, ia biasa mengobrol dengan Fetiya dan sering kali dipersilakan untuk masuk ke dalam ruangan rumah yang juga depannya adalah kantin. "Ibu, aku takut", Fetiya datang dengan tergesa-gesa dan tampak ketakutan. "Kenapa? kok ada suara sirine polisi?", tanya Bu Jua. Rupanya Bu Jua tak mengetahui kejadian di luar saking sibuknya ia menyiapkan hidangan untuk dijajakan saat jam istirahat nanti. "Bu Mel, Bu", jawab Fetiya ragu. "Kenapa Bu Mel?" Bu Jua bertanya untuk kedua kalinya. "Bu Mel meninggal, dibunuh", jawab Fetiya sambil menahan tangis. Bu Jua tak kaget tapi air wajahnya seperti memucat lalu ia mengelus dadanya berusaha menyabarkan jantungnya mendengar informasi tersebut. Mereka berdua akhirnya terduduk di atas kursi panjang yang hanya terbuat dari kayu tanpa busa ataupun bantalan lainnya. "Kok, bisa..", Bu Jua akhirnya mengeluarkan suara.


"Fetiya, Bapak cari-cari ternyata kamu di sini", seorang guru datang mencarinya. "Maaf, Pak. Aku takut jadi pergi ke sini", jawab Fetiya pelan. Ternyata saat semua kembali ke kelas guru ini mengabsen muridnya sekadar meyakinkan dirinya bahwa semua murid baik-baik saja. Dan yang hilang adalah Fetiya lalu ia bergegas mencarinya. Saat ia tahu Fetiya di kantin guru itu pun akhirnya bernapas lega dan bergabung dengan mereka untuk sementara berlindung dari suasana yang tak akan pernah mereka lupakan selama hidupnya. "Pak Hary, kok bisa kayak gini?" tanya Bu Jua. "Iya, Bu. Sebenarnya ini masalah keluarga. Bapaknya tak terima kalau Bu Mel menolak perjodohannya dengan pria pilihannya itu. Mereka sudah sering bertengkar soal ini", jawab Pak Hary padat dan singkat. "Jadi, yang bunuh Bu Mel bapaknya sendiri?", tanya Bu Jua lagi. "Iya", Pak Hary menjawab sedih. Bu Jua kembali mengelus dadanya untuk kesekian kali. 


Mereka semua terdiam untuk beberapa saat lalu keheningan itu dipecahkan oleh obrolan singkat mereka. "Fetiya, ini bakal jadi trauma buat kamu. Tapi kamu harus tahu kalau Bu Mel suatu saat akan bertemu lagi dengan kita. Jangan bawa kesedihan ini saat kita bertemu dengannya", ucap Pak Hary. Fetiya hanya mengangguk dan kembali pada lamunannya. "Saya jadi merasa seperti di negeri semut api", lanjut Pak Hary. "Kenapa, Pak?" tanya Bu Jua. "Ya, itu judul sebuah buku karangan orang luar negeri dimana membunuh adalah jalan satu-satunya untuk menyelesaikan masalah. Padahal jika saja mereka bisa bersabar dan menyelesaikan masalah dengan pikiran yang luas bukan dengan amarah semua ini tak akan terjadi", pungkas Pak Hary.


0 Comments