Type something and hit enter

author photo
By On

Cerpen Blog

CERPEN BLOG. Dua orang sahabat ini adalah sejatinya sebuah persahabatan. Tak luput dari pertengkaran tapi kemudian perdamaian menjadi jalan akhir mereka. Ardy dan Arga, nama mereka punya satu huruf konsonan dan satu huruf vokal yang sama. Menunjukkan bahwa persamaan dan perbedaan diantara mereka saling mengisi dan saling mengimbangi. Ardy, seorang yang tenang dan berpikir jernih. Tak pernah terburu-buru dalam mengambil keputusan. Pembawaannya yang tenang keluar dari pemikiran dan hatinya yang juga tenang walau kadang terlihat jahil. Sedangkan Arga, ia jauh dari bayang-bayang Ardy. Arga menjadi dirinya sendiri yang gaduh dan tak pernah mau diam. Ia tak pernah mau sama dengan orang lain dalam hal apapun, sejak mereka SMA. Bisa dibilang Ardy tim analis dan Arga tim apatis.

Ardy, ia suka menghirup kopi hitam pekat hanya dengan satu sendok teh gula. Kopi Lampung adalah kesukaannya untuk ia nikmati di sore hari, hanya satu cangkir di sore hari. Sedangkan Arga, ia tak punya minuman favorit, satupun ia tak punya. Yang penting menurutnya adalah minuman itu enak maka ia akan menyukainya. Seperti sore ini, Ardy yang seorang penulis lirik dan pencipta lagu lebih memilih menghabiskan waktunya untuk menikmati secangkir kopi Lampung yang ia seduh dengan penuh cinta. Ia perhatikan suhu dari air yang tuangkan dan ia perhatikan volume air dalam cangkir kopinya. Hatinya selalu senang saat melihat buih kecoklatan dan aroma kopi yang menyeruak dari hasil karyanya. Hirupan pertama selalu ia tujukan untuk  kedamaian yang ia peroleh. Kedamaian yang ia ciptakan sendiri. Kedamaian dalam kesendirian yang hampir saja dirusak oleh sahabatnya yang tiba-tiba datang ke teras sebelah rumah Ardy.

“Masih aja lu minum kopi item, kaya aki-aki.”

“Datang lewat mana lu? kaya jelangkung dateng enggak diundang pulang enggak diantar.”

“Ha ha ha..ya datang lewat pintu pager rumah lu lah, abis enggak dikunci.”

“Tumben lu ke sini, biasanya juga sibuk ngurusin cewek.”

“Kenapa? ga boleh? ya udah gue pulang.”

“Halah pulang tinggal pulang, kan pagernya enggak gue kunci.”

“Lu ya, bukannya nyegah gue malah nyuruh pulang, gue jitak juga nih! Bikinin gue minum gih.”

“Emangnya gue ajudan lu, biasanya juga bikin sendiri. Gue lagi nikmatin sore nih, senjanya lagi bagus. Tapi cuma ada kopi item tuh di dapur, gulanya abis gue belum belanja.”

“Males banget gue minum jamu brotowali. Aneh gue sama lu, suka banget minum kopi item enggak kerasa manis”

“Gue juga aneh sama lu, ga kapok-kapok nyinyirin orang. Tobat kenapa Ga.”

“Gue bukan nyinyir, gue juga bukan anti sosial, tapi life is sucks, man.”

“Ya itu menurut lu, Ga.”

Ardy memalingkan wajahnya pada langit jingga yang memeriahkan sore hari ini. Lalu perhatiannya  menuju pada cangkir berwarna putih berisi kopi yang masih panas, dengan alas cangkir yang terlihat setetas air di atasnya. Tapi menurutnya sudah tak terlalu panas dan oke untuk ia nikmati. Hirupan pertama ia laksanakan dengan khidmat, layaknya coffee taster. Cita rasa khas kopi Lampung memenuhi rongga mulutnya dan berhasil membebaskan rasa pahit yang membanjiri lidahnya. Karena memang, kopi itu ia buat hanya dengan satu sendok gula dan itupun gula semut dari Kalimantan.

Baca Juga : Stalker Part 2
“Hidup kita penuh dengan kekecewaan, men. Gue yakin lu juga tau itu. Ya kan?. Dan menurut gue itu enggak adil.”

“Enggak adil di mananya, Ga?”

“Ya enggak adil aja, gue yang bener-bener siap buat dia tapi dia malah lebih milih laki-laki yang gue tau brengseknya.”

“Oh gue ngerti, jadi semua omelan lu gara-gara cewek?. Lu merasa hidup ga adil gara-gara cewek? Kalau lu merasa hidup enggak adil, lu menyalahkan Tuhan dong. Gini, kalau Tuhan lu duit ya pasti banyak itung-itungan, kalau lu juga menjadikan cewek sebagai berhala ya lu pasti  kecewa karena cewek juga butuh berhala.”

“Bukan itu maksud gue, ah lu enggak ngerti maksud gue Dy.”

“Gue ngerti maksud lu, Ga. Lepasin kekecewaan lu apapun pada dunia, karena lu tinggal butuh nerima bahwa dunia memang cuma ujian.”

Arga menghela napas panjang, ia tak mencoba menyanggah ujaran dari Ardy yang disampaikan dengan gamblang. Tapi Arga memasang wajah yang masam, mencoba mencerna ucapan dari sahabatnya itu. Ada guratan wajah tak mau terima dengan apa yang diutarakan Ardy padanya. Tapi tak ada kekesalan di hatinya, ia tak menganggap Ardy sebagai musuh karena tak sejalan dengan nya. Justru ia memulai gurauannya tentang kopi hitam yang selalu ia lontarkan pada Ardy.

“Lu kebanyakan minum kopi pahit, Dy.”

“Gue cuma enggak suka kebanyakan gula, lu sekali-kali harus nyoba minum kopi pahit juga, Ga. Jangan cuma liat soal pahitnya, tapi apa yang lu rasain setelahnya.”

“Males deh, mending gue minum kopi latte yang jelas-jelas enak daripada minum brotowali.”

“Ha ha ha..gue cekokin mau? biar lu tambah nafsu makan?”

Tawa diantara mereka mencairkan kebekuan setelahnya. Itulah persahabatan yang selalu mereka perlihatkan satu sama lain. Dan ini yang dimaksud dengan saling mengisi. Ardy tak pernah bisa tertawa saat sendirian, juga Arga tak pernah mendapat masukan tentang hidup selain dari Ardy.

“Emangnya gue bocah! lu enggak liat lemak di perut gue nih. Ha ha ha.”

“Ya justru itu, udahlah, hidup lu itu udah hampir sempurna. Apa sih yang kurang dari lu? tampang punya, duit ada, cuma sering diselingkuhin cewek aja sih. Ha ha ha.”

“Sialan lu. Daripada lu enggak laku-laku, pacaran aja belum pernah.”

“Gue memutuskan untuk sendiri, men. Bukan enggak laku, beda.”

“Ahh ngeles aja. Gue laper nih, lu mau titip apa? gue mau beli makanan.”

“Apa aja, yang penting halal.”

“Gue beli ayam dulu aja gitu ya? terus potong sendiri biar yakin halal?”

“Terserah lu sama jidat lu deh Ga, lama.”

“Ha ha ha.”

Langit semakin menampakkan keramahannya pada Ardy. Awan bergerak beriringan, warna jingga semakin temaram dan angin damai menambah ramai kebahagiaan di sore hari ini. Arga pamit pergi untuk membeli sesuatu. Dalam damainya, Ardy sedikit memikirkan sahabatnya itu. Ia ingat saat mereka pertama kali bertemu di bangku SMA. Saat itu, Arga tak nampak seperti orang yang menyenangkan bagi Ardy. Tapi pemikiran itu berubah setelah mereka berdua saling kenal. Ternyata Arga orang yang bisa dipercaya dan menurutnya Arga bisa dijadikan teman sepermainan. Bahkan sampai detik ini, walaupun cara pandang mereka tentang sesuatu terkadang sangat berbeda.

Ardy melanjutkan bayangannya tentang Arga, kali ini ia memikirkan tentang pola pikir Arga yang lebih condong ke arah pesimistis. Entah dari kapan Arga mulai berpikir seperti itu. Namun dalam hati kecil Ardy ia bisa memaklumi sahabatnya itu. Arga adalah korban dari orang tua yang kurang perhatian pada anak. Orang tua Arga selalu sibuk dengan dunia mereka masing-masing dan memberikan kasih sayang  hanya cukup dengan uang. Ardy mencoba untuk membayangkan jika posisinya ada di posisi Arga, mungkin juga ia akan melakukan hal yang sama, atau mungkin juga tidak.

Di hirupan ketiga kopi itu tampak terasa sangat nikmat. Kopi hitam pekat dengan satu sendok teh gula semut yang menjadi teman sorenya kali ini masih terasa sama dengan sore-sore sebelumnya. Pilihan Ardy selalu jatuh pada kopi robusta dan itu pasti selalu kopi Lampung. Hanya kopi ini yang benar-benar cocok baginya, baik itu rasanya, tingkat keasamannya dan juga aromanya. Sensasi pahit di pangkal lidah masih dirasa Ardy saat Arga sudah kembali lagi dengan dua buah kotak pizza di tangannya.

“Laper banget gue, gue beli dua box sekalian.”

“Itu sih doyan namanya.”

“Udah jangan banyak cingcong, masih anget nih.”

“Gue enggak, lu abisin aja. Nanti sensasi rasa pizza ketinggalan di mulut gue.”

“Ya udah gue makan sendiri.”

Arga makan dengan lahap tanpa peduli teman disampingnya yang sedang asik dengan ritual sorenya. Ardy pun makin asik dengan pikirannya tanpa peduli teman disampingnya yang  makan dengan lahap sampai mulutnya penuh.

“Jangan kebanyakan minum kopi item Dy, pahit hidup lo entar.”

“Kalo makan telen dulu jangan langsung ngomong.”

“JANGAN KEBANYAKAN MINUM KOPI ITEM, PAHIT HIDUP LU ENTAR!”

“IYA GUE UDAH DENGER!”

“Buset..bau asem mulut lu.”

“Sialan lu..ha ha ha. Minum kopi itu sehat, lu harus tahu. Kopi juga bisa bikin otak lu aktif, mempertajam ingatan juga.”

“Kebanyakan teori luh.”

“Dibilangin enggak pernah percaya, lu harus coba minum kopi pahit biar tahu rasanya sama sensasinya.”

Dengan mulut yang masih penuh pizza Arga hanya mendengar ucapan Ardy sebagai ocehan, tak ada keinginan Arga untuk menuruti ucapan Ardy. Sudah tiga potong pizza ia lahap habis tanpa jeda lalu tangan nya mencoba meraih lagi potongan yang keempat.

“Heh, sekali-kali dengerin gue. Lu cari cewek diluar sana banyak, jangan cuma nungguin yang enggak pasti Dy. Setia sih setia tapi enggak kaya gini juga. Cewek emangnya cuma ada satu apa? jadi player dikit dong.”

“Lu emang ga pernah mau kalah ngomong ya, kita kan lagi bahas kopi kenapa jadi mojokin gue soal cewek.”

“Tapi bener kan, lu jadi terobsesi sama kopi pahit gara-gara kisah cinta lu yang enggak jelas. Sama kaya kopi lu, pahit.”

“Ya menurut gue jelas lah, gue juga enggak bego-bego amat.”

Obrolan sore kali ini terasa sangat ramai bagi mereka berdua. Saling lempar opini masing-masing  tentang satu sama lain dan ada kata setuju dalam hati kecil mereka tentang apa opini yang masing-masing terima. Ardy berpikiran ucapan Arga ada kebenaran di dalamnya dan Arga merasa ucapan Ardy sebelumnya pun sama.
“Oke Ga, omongan lu mungkin ada benarnya juga, tapi itu hanya mungkin ya. Gue enggak mengganggap itu seratus persen bener. Mungkin cuma relevan sama kondisi gue.”

“Iya lah, omongan gue selalu bener. Ha ha ha. Kenyang nih gue udah satu box gue abisin sendiri. Sisanya lu abisin entar ya, mubazir.”

“Iya iya, sini gue simpen dulu ke dapur.”

Ardy meninggalkan sahabatnya sendirian di teras rumah. Arga mulai melamunkan sesuatu di sela istirahatnya mengobrol dengan Ardy. Ia melihat cangkir putih di atas meja bambu berisi kopi hitam yang sedang dinikmati Ardy. Ada niatan untuk mencoba kopi itu tapi ia tak melaksanakannya. Ketakutan dipergoki oleh Ardy sangat besar jadi ia mengurungkan niatnya. Tapi rasa penasaran akan kopi hitam mulai memenuhi hati dan pikirannya, entah perasaan itu datang dari mana. Tak mau terus menerus kalah oleh rasa penasaran, Arga lantas menyusul Ardy ke dapur untuk mengambil segelas air. Tak ada Ardy di sana, lalu ia mengambil gelas untuknya minum dan mengambil teko tradisional berisi air minum dan menuangkan air minum itu di atas gelasnya. Lalu Ardy datang dari belakang dan mengagetkannya.

“Tuh kalo mau bikin kopi tempatnya di lemari atas.”

“Uhuk uhuk..sialan lu, ngaget-ngagetin orang lagi minum aja lu.”

Ardy kembali menuju teras sambil terbahak-bahak melihat ekspresi sahabatnya yang terperanjat kaget setengah mati. Hanya dengan beberapa langkah Ardy sudah duduk kembali di kursi bambu teras rumahnya diikuti oleh Arga yang mengikutinya dari belakang yang masih dalam keadaan mengomel atas kejahilan sahabatnya itu.

”Hampir mati keselek lu malah ketawa-tawa, seneng lu.”

“Ha ha ha..kapan lagi dapet hiburan gratis. Nonton stand up comedy aja sekarang bayarnyamahal.”

“Gue tampol juga nih!. Udah ya gue pulang dulu, bisa pahit kalau kelamaan di sini diceramahin.”

“Gih sana jangan balik-balik lagi, gue mau ngerjain proyek gue.”

Mereka berdua berpamitan tanpa ada kata atau kalimat manis sedikitpun tapi bukan berarti itu sungguhan keluar dari hati mereka. Ardy kembali masuk ke rumah tanpa membawa kopi yang masih tersisa. Kopi itu dibiarkan di sana di atas meja di teras rumahnya. Sementara Arga melangkah pergi menuju pintu pagar rumah melewati tiga anak tangga yang dilapisi keramik terlebih dahulu. Tapi kemudian langkahnya berhenti di anak tangga kedua karena Ardy berkata sesuatu.

“Ga, gue punya secangkir kopi pahit di hidup gue, dan lu juga punya sesendok kegetiran di hidup lu”.

Arga mendengarkan perkataan itu tanpa melihat langsung wajah Ardy, tapi Ardy yakin Arga mendengarkannya walau tetap dalam posisi membelakangi. Lalu Arga melanjutkan langkahnya di anak tangga terakhir tapi kemudian ia berhenti kembali. Ia menoleh ke belakang, matanya tertuju langsung pada cangkir kopi yang ditinggalkan Ardy. Tubuhnya terdiam beberapa detik lalu langkahnya membuatnya kembali lagi ke teras sebelah rumah Ardy. Di atas meja bambu itu ia hanya memerhatikan kopi yang masih tersisa milik Ardy. Matanya mengawasi ke dalam rumah, tak lain untuk mengawasi Ardy jika tiba-tiba ia muncul. Saat dirasa aman, tangannya menyentuh bibir cangkir itu dan mengangkatnya menyatukannya dengan bibirnya. Ia miringkan agar kopi itu bisa mengalir ke mulutnya dan bisa dinikmati untuk terakhir kali sebelum dibawa lagi oleh Ardy. Lidahnya merasakan rasa pahit, tapi aneh, ia tak menemukannya lagi saat rasa pahit itu ia telan seluruhnya. Tak ada sensasi pahit tersisa di lidahnya. Mulutnya masih mengatup, dahinya mengernyit dan pikirannya membawanya pada rasa damai.

“Apa ini?”

Satu hirupan saja tapi Arga merasakan sesuatu yang tak biasa terjadi pada dirinya. Lidahnya ingin merasakan rasa itu lagi. Perasaan itu datang saat ia sudah berada di dalam mobil, sendirian. Ia tak lantas menyalakan mobil lalu pergi dari sana. Ia hanya duduk diam memegangi kemudi dan terus memikirkan tentang kopi pahit itu. Menurutnya itu aneh, lidahnya tak menolak sama sekali pada rasa pahit dari kopi yang sudah dingin itu.

“Kenapa selama ini gue enggak pernah ngerasain kopi bikinan Ardy ya?”

Pertanyaan itu ia tujukan pada dirinya sendiri seolah-olah ada yang akan menjawabnya. Tapi tak akan ada yang bisa menjawab selain dirinya sendiri. Arga pulang dengan membawa pertanyaan dan rasa penasaran itu. Ia merasa seperti ada seseorang dalam pikirannya yang menyuruhnya untuk segera membeli kopi yang sama dan ia arahkan kemudi menuju kedai kopi terdekat.

“Mas, pesan kopi hitam satu ya.”

“Pake krim enggak mas?”

"Enggak usah, polos aja.”

“Baik, silakan tunggu sebentar.”

Selang beberapa saat kopi pesanannya datang beserta gula dalam kemasan. Ia sama sekali tak tahu apa-apa tentang kopi. Ia hanya ingin merasakan rasa yang sama seperti kopi yang diminumnya terakhir kali, kopi milik Ardy. Harapannya adalah ia akan menemukan rasa yang sama. Arga hanya tahu jika Ardy hanya membubuhkan sedikit gula pada kopinya dan Arga melakukan hal yang sama, tanpa tahu jika gula yang dipakai Ardy adalah gula yang berlainan dengan gula yang disuguhkan padanya. Tak sabar dengan kopi yang sudah disajikan, Arga segera meminumnya walau masih sedikit panas.

“Ah, kok beda ya.”

Rasa kecewa tak membuat rasa penasarannya tentang kopi hilang. Arga memikirkan berbagai kemungkinan kenapa rasa antara dua kopi itu berbeda. Keesokan harinya, Arga mendapati dirinya sendiri mengalami perubahan yang mungkin tak pernah ia pikirkan sama sekali. Ia menjadi terobsesi pada kopi. Dan, ia merasa optimistis tentang hal itu. Tapi ia tak menyadarinya sama sekali. Jika Arga tak bisa melihat perubahan pada dirinya sendiri, mungkin sahabatnya akan melihat hal itu. Walaupun Arga bisa dipastikan tak akan dengan terang-terangan mengaku pada Ardy bahwa dirinya menyukai kopi tapi Ardy suatu saat pasti akan tahu. Untuk Ardy itu dipastikan akan terjadi.

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOf Story Diselenggarakan oleh GIORDANO dan nulisbuku.com

0 Comments