Type something and hit enter

author photo
By On
CERPEN BLOG. Aku selalu datang ke tempat ini tiap minggunya, di akhir minggu lebih tepatnya. Hanya untuk menghabiskan waktuku yang terkadang bingung harus kuapakan. Di sini aku bisa menghabiskan segelas jus stroberi dan beberapa crepes. Dari begitu banyak pilihan makanan hanya itu yang aku pilih, karena aku takut berat badanku naik. Walaupun aku selalu terlihat langsing tapi sebenarnya lemakku bergelambir di area yang tak tampak. Lumayan mengganggu sih, jadi aku memilih untuk tidak makan berat saat malam. Zodiakku Libra, itupun kata orang karena aku tak pernah memedulikan apa itu zodiak. Kata orang aku perempuan aneh, tapi itu terserah mereka. Kembali ke sini, ke tempat ini. Tempat ini cafe ternama yang selalu penuh pengunjung. Kenapa aku selalu datang ke sini? Itu karena orang yang selalu membuatku tertawa di atas panggung itu. Namanya Tira, jelas aku tahu namanya karena dia selalu memperkenalkan dirinya sebelum menyampaikan materinya. Diawali dengan batuk yang disengaja, lalu perkenalan, itu adalah ciri khasnya. Awalnya aku tak pernah tahu apa itu stand up comedy sampai aku datang ke sini dan menyaksikan Tira.

cerpen Blog

Kembali ke awal waktu saat aku pertama datang ke tempat ini. Dengan hati yang gundah, kesal, capek dan berantakan aku duduk sendiri di salah satu sudut tempat di tempat ini dengan meja untuk berdua. Mejanya bulat berwarna putih gading dan kursi yang mengikuti warna mejanya. Di beberapa sudut warnanya berlainan. Aku hampir menangis tapi nyatanya air mataku tak mengalir jika aku ada di kerumunan orang. Dadaku sangat sesak, susah payah aku sembunyikan agar air mataku tak keluar. Itu semua karena laki-laki yang bagiku semuanya sama saja. Ya, aku harus bilang begitu kalau semua laki-laki sama saja. Kesetiannya hanya sebatas pintu ke pagar rumah, selebihnya terserah dia. Oke, hari itu sudah berlalu kini aku bisa bernapas lega. Di kursi yang agak reot jika digoyangkan ini pertama kalinya aku memesan jus stroberi dan crepes yang kemudian hari berlanjut menjadi pesanan andalan untukku.

Baca Juga : Hidup Dalam Mimpi 
Tira seperti biasa mengocok perutku berkali-kali. Tiga puluh menit bahkan sampai tak terasa jika dia sedang tampil. Pernah suatu kali perutku sakit karena tertawa yang kebanyakan. Aku begitu menikmati suguhan komedi yang ia bawakan. Dibungkus dengan sisi gelap pada awalnya yang menuntut kita untuk berpikir tapi dikupas dengan kerenyahan di dalamnya. Ini komedi yang tak pernah aku temui sepanjang sejarah hidupku. Sampai akhirnya aku menjadi penonton setianya di tempat ini. Minggu ke minggu selalu berhasil menghibur semua yang datang. Riuh gelak tawa dari meja barisan depan hingga ke belakang. Tepuk tangan dan sorak-sorai bergembira mengisi ruangan yang atapnya setengah terbuka itu. Panggung yang tingginya hanya setengah meter menjadi podium baginya.

Malam ini aku sedang menunggu penampilannya lagi entah untuk yang keberapa puluh kali. Harusnya lima menit lagi sudah dimulai dan suara tik tok jarum jam membuatku tak sabar. Lima menit pertama terlewat sudah tapi tak ada tanda ia datang. Sedikit aneh karena tak biasanya ia telat untuk tampil. Pikirku mungkin jalanan macet jadi ini pertama kali ia telat, macet adalah alasan yang paling ampuh untuk populasi ibu kota. Aku masih sabar menunggu tapi ini sudah menit ketiga puluh ia tak kunjung datang. Perasaan aneh muncul saat seseorang mengambil mic dan memberitakan bahwa Tira tak bisa hadir hari ini. Jelas aku kecewa, tapi mau bagaimana lagi. Seketika teriakan "wooo" dari penonton membahana. Si pembawa berita hanya memohon maaf berkali-kali.

Aku tak mau kalah oleh rasa penasaranku, kudekati si pembawa berita sehabis langkahnya turun dari panggung yang hanya setengah meter itu dan kutarik halus lengan bajunya. "Mas, kenapa Tira gak dateng? Sakit?", kataku. "Duh, saya gak bisa jawab sekarang Mbak", jawab si pembawa berita. Ada perasaan aneh dari jawabannya. Wajahnya tak bisa berbohong. "Si Mas ini pasti sedang menyembunyikan sesuatu. Jangan kira aku tak bisa membacanya ya", pikirku. "Emang kenapa, Mas?", tanyaku. "Aduh, maaf banget gak bisa cerita", jawabnya lagi. Firasatku tak pernah salah, ini pasti ada sesuatu. Rasa penasaranku makin menjadi lalu terpintas untuk menyambangi rumahnya. Aku coba mengingat di mana rumahnya dari materi stand up-nya minggu lalu. Bergegas aku pergi setelah aku ingat di mana daerah rumahnya. Walaupun aku tak tahu alamat persisnya tapi aku nekat saja. Dengan taksi online aku mendatangi daerah rumahnya.

Sepuluh menitku dalam perjalanan ternyata jalanan tak begitu macet. Perkiraanku salah soal tadi. Mobil polisi menyusul dengan mengebut dan sirine yang menyala meraung-raung lalu hilang di ujung jauh sana. Arahnya dari belakang taksi online yang aku naiki entah menuju ke mana. Dua puluh menit waktu yang aku habiskan untuk sampai di daerah rumahnya. Taksi online-ku belok ke daerah perumahan yang portalnya sedang terbuka. Cahaya lampu merah biru memantul ke kaca pos Satpam jauh dari mobil polisi di ujung salah satu rumah. Aku kaget dengan kerumunan orang dan polisi di sana-sini. Aku turun seketika karena ingin tahu kenapa ada aparat di daerah sini. "Pak, ada apa ya?", kutanya satuan pengamanan yang sedang sibuk dengan handy talky-nya. "Hmm.. ini..Mbak..ada yang bunuh diri", jawabnya enggan. "Siapa, Pak?" tanyaku lagi. "Itu, Mas Tira yang suka ada di TV itu", jawabnya lagi. Dadaku terguncang hebat, jantungku berdebar kencang. Ya, Tira memang sesekali muncul di TV untuk mengisi acara stand up comedy di salah satu stasiun TV swasta. Tapi kenapa ia harus mengakhiri hidupnya sendiri? Kupikir membuat orang lain tertawa membuat ia bahagia. Lalu dia berdiri di atas panggung untuk siapa?

Masih tak percaya kudekati kerumunan orang dan polisi di sana sampai ada seorang aparat yang menghalangi jalanku dengan garis polisi. Tak lama berselang wartawan mulai berdatangan dan mulai meliput tempat kejadian perkara. Ternyata benar, mayat Tira sudah berada di kantung jenazah. Kali ini air mataku tak terbendung. Aku tak peduli kerumunan orang. Aku tak mengenalnya secara personal, bahkan aku tak pernah berani untuk meminta foto dengannya. Bisa dibilang ia adalah orang lain bagiku, tapi aku merasa kehilangan. Ia telah membuat sebagian hariku bahagia tapi ternyata ia sendiri tak punya kebahagiaan itu. Lalu dia berdiri di atasa panggung untuk siapa?


2 Comments