CERPEN BLOG. Bulan baru telah muncul di langit malam. Redup cenderung tak terlihat karena tertutup kumpulan awan. Hendra memandang bulan tersebut dalam diam dan menerawang. Sepintas teringat Nabi Ibrahim yang awalnya beranggapan bahwa bulan itu adalah Tuhan yang ternyata keliru. Tuhan tak pernah tenggelam, semua yang muncul dan hilang bukanlah Tuhan sama sekali. Kemudian ia teringat pada yang ia namai "Orang Akhirat dan Orang Dunia". Si Orang Akhirat ini jika harus digambarkan menyerupai pria dengan sifat yang penyantun dan mengajak pada kebenaran. Setiap ucapannya adalah menuju kebaikan, setiap ajakannya adalah kebajikan, setiap ulasannya adalah kebenaran. Sedangkan si Orang Dunia hampir bisa dipastikan adalah kebalikannya. Tapi entah kenapa Hendra lebih akrab dengan si Orang Dunia. Menurutnya si Orang Dunia lebih masuk akal dan realistis untuk diajak diskusi dan dijadikan teman.
Hari itu senja menyapa di barat daya. Setidaknya itu yang dilihatnya karena di tiga sisi terhalangi oleh tembok gedung. Hendra sedang berada di atapnya, menikmati kesendirian dan pikirannya. Lalu si Orang Dunia muncul tiba-tiba. "Udahlah, ngapain sih ngurusin orang. Hidup lu aja udah susah, ngapain ditambahin susah", ujar si Orang Dunia. "Iya sih, tapi gua gak seharusnya ngambil duit ini", balas Hendra. "Halah, cuek aja. Sekarang gini, di dalam hidup lo udah berapa kali lo ditipu sama orang? sama temen misal, pinjem duit tapi gak pernah dibalikin. Udah sering kan?", tanya si Orang Dunia. "Sering lah", jawab Hendra. "Nah kan. Ya udah, hidup ini harus saling membalas. Kalo enggak lu bakal rugi terus-terusan", tegas si Orang Dunia. Hendra berpikir keras dan berusaha untuk tidak setuju. Tapi pikirannya menyetujui apa yang dikatakan si Orang Dunia. Uang di tangannya adalah hasil dari mengakali anggaran sosial. Hendra menghela napas dan menyelipkan setumpuk uang yang ada di genggamannya menuju saku celana miliknya lalu pergi mengakhiri pertunjukkan senja yang mulai menghilang.
![]() |
Cerpen |
Hari itu senja menyapa di barat daya. Setidaknya itu yang dilihatnya karena di tiga sisi terhalangi oleh tembok gedung. Hendra sedang berada di atapnya, menikmati kesendirian dan pikirannya. Lalu si Orang Dunia muncul tiba-tiba. "Udahlah, ngapain sih ngurusin orang. Hidup lu aja udah susah, ngapain ditambahin susah", ujar si Orang Dunia. "Iya sih, tapi gua gak seharusnya ngambil duit ini", balas Hendra. "Halah, cuek aja. Sekarang gini, di dalam hidup lo udah berapa kali lo ditipu sama orang? sama temen misal, pinjem duit tapi gak pernah dibalikin. Udah sering kan?", tanya si Orang Dunia. "Sering lah", jawab Hendra. "Nah kan. Ya udah, hidup ini harus saling membalas. Kalo enggak lu bakal rugi terus-terusan", tegas si Orang Dunia. Hendra berpikir keras dan berusaha untuk tidak setuju. Tapi pikirannya menyetujui apa yang dikatakan si Orang Dunia. Uang di tangannya adalah hasil dari mengakali anggaran sosial. Hendra menghela napas dan menyelipkan setumpuk uang yang ada di genggamannya menuju saku celana miliknya lalu pergi mengakhiri pertunjukkan senja yang mulai menghilang.
Baca Juga : Abu-Abu di Putih Abu
Hendra menjalani hari sepertinya biasanya. Tak ada halang rintang yang cukup berarti di pekan ini. Yang hanya terkadang hatinya tak tenang entah apa sebabnya. Walaupun begitu si Orang Dunia selalu datang dan membuatnya menghilangkan ketidaktenangan di hatinya itu dengan cara apapun. Dan selalu berhasil membuat Hendra melupakan hal tersebut. Tapi kegelisahan selalu datang lagi dan lagi. Kemudian hal yang sama selalu dilakukan si Orang Dunia. Membuat kegelisahan itu masuk akal dan lebih dalam lagi dan lebih masuk akal lagi. Tapi di sisi lain Hendra menyadari ada yang salah dengan dirinya, ada yang salah dengan perilakunya. Merasa terpanggil, si Orang Akhirat muncul tanpa tergesa-gesa tersenyum santai dengan mengucap salam kebaikan. "Assalamualaikum, Hendra", ucap si Orang Akhirat. "Waalaikumsalam warahmatullah", jawab Hendra. Senyumnya ramah dan menenangkan hati. Hendra merasa ini orang lain, padahal salah besar. "Apa kabarmu kawan?" tanya si Orang Akhirat. "Aku sehat", jawab Hendra singkat. "Jika aku terpanggil, sepertinya keadaan sedang tidak baik", tukas si Orang Akhirat. Hendra hampir terlihat kaget namun tak lantas ia tunjukkan. "Aku tahu, kamu sedang melakukan tindakan penyelewengan", tegas si Orang Akhirat. Hendra tak bisa berkutik dengan pernyataan tersebut. Bibirnya mengerut, pupil matanya melebar mencoba memandang entah apa di hadapannya. "Jujur saja, aku sedih jika kamu harus menderita pada akhirnya. Jika kamu harus terus menerus mendengarkan hasrat duniawi yang menipu diri", lanjut si Orang Akhirat.
Hendra merasa tertusuk benda tajam tepat di hatinya. Perkataan seperti itu ia sudah sangat mengetahui bahwa hasrat duniawi sangat mengecewakan. Nikmatnya kadang hebat tapi hanya sementara, itu adalah penipuan. Tapi Hendra selalu mendengarkan si Orang Dunia karena semua yang dirasakannya sejalan dengan apa yang diungkapkan si Orang Dunia. Namun pada akhirnya si Orang Akhirat selalu benar tapi tak pernah ia dengarkan. "Aku tak ingin kamu terjerumus terlalu dalam. Mungkin ini sudah dalam, tapi masih ada waktu untuk keluar", ringkas si Orang Akhirat. Hendra merenung keras berusaha mengilhami hidupnya dengan ucapan si Orang Akhirat. Lambat laun, lelehan dari air matanya menyasar pipinya. Jatuh setitik ke lantai yang terbuat dari ubin kasar produksi rumahan. "Selalu ada kesempatan di dalam hidupmu. Dan Tuhanmu selalu menginginkan kebaikan untukmu", pungkas si Orang Akhirat. "Ya, kesempatan itu tak akan kusia-siakan", jawab Hendra lirih.
Angin dunia yang membawa kesejukan selalu menyenangkan. Tapi apa akibatnya jika angin badai yang datang? Hendra tertegun dalam ketenangan malam dan berjanji tak akan mengulangi kesalahan yang sama sebelum angin badai itu datang.
Angin dunia yang membawa kesejukan selalu menyenangkan. Tapi apa akibatnya jika angin badai yang datang? Hendra tertegun dalam ketenangan malam dan berjanji tak akan mengulangi kesalahan yang sama sebelum angin badai itu datang.
0 Comments