CERPEN BLOG. Suara mendesir dari lalu lintas kota yang dibawa angin senja menjalar di udara mengisi suasana nan kelabu berubah serasa air payau. Diorama tambahan berasal dari mobil dan jalanan seolah cuplikan gerak lambat dari matanya. Tokuro masih dalam perjalanannya untuk pulang. Ini adalah kepulangan pertamanya ke tanah air kelahirannya. Tas ransel satu-satunya itu membebani pundaknya yang hanya berisi pakaian dan dokumen penting yang ia perlukan. Tak ada seorangpun yang akan merindukannya di kota kelahirannya ini. Ia hidup sendiri sebelum ia memutuskan untuk pergi merantau ke luar negeri untuk mendapatkan gelar doktoral yang ia sanggupi ada dalam namanya nanti. Kini gelar itu sudah ia dapatkan beserta ilmu yang seharusnya bermanfaat untuknya. Siratan masa lalu menghinggapi lamunanya sepanjang jalan. “Seharusnya ini rumahku,” desis Tokuro pada dirinya sendiri.
Beragam perasaan muncul di hati kecilnya. Perasaan itu tulus mengalir membentuk memori masa remajanya di tempat yang ia lalui. Didukung oleh sebuah lagu sepanjang masa mengalun di kepalanya. Sebuah lagu dari band paman Sam, sebuah band yang menjadi favorit Tokuro. Suara vokal dari perempuan membayangi kenangannya, Hayley, menuntun perasaannya menjadi mendayu-dayu dimakan alunan lagu. Earphone masih menjejali telinga Tokuro saat seseorang yang dirasa ia kenal sedang berjalan di kejauhan, kian mendekat. Langkahnya melambat, matanya menajam ke arah depan mencoba menerka siapa kemungkinan seseorang yang ada di depannya itu. Kini seseorang di depan sanapun menyadari tatapan Tokuro padanya. Langkah masing-masing semakin melambat kemudian diam dalam tatapan. “Apakah dia Harada?” tanya Tokuro pada dirinya sendiri.
Satu senyuman darinya berhasil meyakinkan Tokuro bahwa ia mengenalinya. Perempuan ini memang Harada yang ia kenali dulu. Kini mata mereka beradu tatap dalam nostalgia hebat akan masa lalu. “Tokuro?”, suaranya lirih seakan tak percaya dengan siapa ia bertemu. “Harada?”, Tokuro menjawab pertanyaan Harada dengan pertanyaan lagi. “Hei, lama tak berjumpa, kabarmu bagaimana Tokuro?”, Harada mulai bersemangat. “Kabarku baik, kamu bagaimana?”, sedikit kikuk Tokuro menjawab pertanyan dari Harada. Momen ini mengembalikan pada masa kecil Tokuro di mana ia sering memerhatikan seorang seorang anak perempuan, anak perempuan itu adalah Harada. Tokuro sering mengingkari bahwa ia menyukai Harada, bahkan sampai dewasa. Di masa kecilnya dulu Harada adalah satu-satunya anak perempuan yang ia tunggu-tunggu untuk melintas di atas jembatan kecil yang mengalir anak sungai di atasnya. Sungai itu dulu jernih, dilintasi jembatan yang dibangun dari bebatuan dan semen tanpa pegangan di sisi-sisinya. Kini anak sungai itu
terlihat lebih kotor oleh pencemaran. Dan mereka dipertemukan tepat diatas jembatan itu, berdiri berhadapan dalam irama jantung yang berdegup kencang.
terlihat lebih kotor oleh pencemaran. Dan mereka dipertemukan tepat diatas jembatan itu, berdiri berhadapan dalam irama jantung yang berdegup kencang.
Earphone itu tak lagi ada di lubang telinga Tokuro, namun alunan lagunya masih sayup terdengar ke telinga Harada. “Hmm mau ke mana sekarang?”, tanya Harada. “Aku baru pulang, baru saja keluar dari bandara”, jawab Tokuro seadanya. “Bandara? Kamu habis dari mana memangnya?” , tanya Harada lagi. “Panjang ceritanya, sambil jalan yuk”. Tokuro memanfaatkan kesempatan ini untuk menyegarkan hidupnya yang kaku tanpa kegiatan sosial. Bermacam obrolan dan pertanyaan mereka saling lontarkan satu sama lain. Kadang Harada tersenyum menyimak cerita dari Tokuro tentang masa kecil mereka dulu. “Oh iya ya, kita sudah sepuluh tahun tak pernah bertemu. Lama juga ya”, sahut Harada dengan mata yang memerhatikan jalannya. “Ya, waktu begitu saja berlalu. Kamu tahu sepuluh tahun ini aku selalu mengingat Tessa, kota kita ini. Tapi sekarang aku terkejut, semuanya sudah berubah tak seperti dulu”, Harada menatap teduh pada Tokuro yang menyelesaikan ceritanya dengan sedih. “Ya, selama sepuluh tahun ini aku selalu di sini, dan aku juga merasakan hal yang sama denganmu. Semuanya sudah berubah. Jalannya, pepohonannya, sungainya, tak seperti dulu lagi”. Tokuro ingin sekali menceritakan apa yang hati kecilnya katakan tentang Harada, tapi sangat sulit untuk diucapkan. Kini giliran Harada bercerita tentang dirinya selama di Tessa. Tokuro memerhatikan dengan saksama sambil melangkah pelan bersamanya.
Pertemuan tak terduga ini membuat Tokuro sadar satu hal, dialah Harada yang harusnya mengisi ruang di hatinya. “Harada, kamu ingat saat dulu kamu terpeleset di jembatan lengkung tadi?”, Tokuro mengajak Harada kembali ke masa lalu. “Ha ha ha, pastilah aku ingat. Kamu kan yang nolong aku”, Harada menjawab dengan tertawa malu. Ada sebersit kalimat di hati Harada yang tak dia sampaikan langsung kepada Tokuro. Kalimat yang mungkin akan Tokuro inginkan. “Ha ha, baju kamu basah kuyup. Untung air yang dulu masih jernih”, lanjut Tokuro. “Ha ha ha iya ya, sekarang lumayan kotor oleh sampah”, ujar Harada. Lalu, sampailah mereka pada cabang jalan menuju rumah masing-masing menutup percakapan singkat mereka. “Nah, aku harus ke kiri”, tegas Tokuro. “Hmm..oke, aku juga harus ke kanan. Kamu sekarang tinggal di sini kan?, tanya Harada. Tokuro berpikir untuk menjawab pertanyaan Harada itu. “Sepertinya besok aku harus pergi lagi”, jawab Tokuro lirih. “Ke mana?, tanya Harada dengan hati bergetar. “Kembali ke Pappirus, di sana aku punya pekerjaan, aku pulang untuk membawa dokumen saja”, jawab Tokuro tegas.
Harada menunduk memperlihatkan keengganannya untuk mendengar kabar itu. Tokuro hanya bisa meraba atas apa yang ia lihat. “Mungkin ini awal pertemuan sekaligus perpisahan lagi”, ucap Tokuro. “Ya, semoga kamu sehat selalu di sana ya.”, Harada memasang senyum palsu. “Oke, kamu juga. Aku pamit.”, ucap Tokuro lagi sambil sedikit melambaikan tangannya. Tokuro berusaha realistis untuk tidak mengungkapkan perasaannya pada Harada secara mendadak karena ia tahu ia tak akan bisa selalu ada untuknya. Harada berdiri menyaksikan punggung Tokuro semakin jauh, lalu malu saat Tokuro menoleh ke arahnya untuk yang terakhir kali. “Kamu tahu Tokuro? Sejak saat itu, sejak saat kamu yang menolongku jatuh dari jembatan, aku mulai menyukaimu.”, Harada membisikkannya untuk dirinya sendiri.
0 Comments