![]() |
cerpen blog |
CERPEN BLOG. Pertengkaran seperti ini sering kali terjadi antara Emely dan Arthas. Emely mengharapkan sesuatu berubah dari
diri Arthas. Sedangkan Arthas berpikiran bahwa apa yang diingini Emely adalah
hal yang terlalu dipaksakan untuknya. Pagi ini, Arthas tak bergumam sedikitpun.
Pertengkaran semalam masih memengaruhi dirinya. Dadanya masih sesak, amarahnya
masih ingin meluap. Sinar matahari yang masuk melalui celah jendela tembus
menyentuh kulit dadanya yang berambut. Tak ada Emely di sana. Ia hanya
sendirian di kamarnya yang sedikit pengap disebabkan ventilasi udara yang
tertutup debu tebal di mulut lubang kotaknya. Keringat tampak di pundak dan
pelipis miliknya. Ia gerakkan kakinya yang terasa berat itu untuk melangkah
menuju kamar mandi. Masih tak terdengar aktifitas Emely di manapun. Ia tak
peduli akan hal itu.
Gemericik air yang mengalir
memecahkan suasana hening di sekitar kamarnya. Arthas masih diam dalam ribuan
bahasa. Pikirannya sedikit tenang setelahnya. Guyuran air dari shower berhasil
memberi terapi seadanya pada kepalanya yang masih mendidih. Mandi memberi
energi baru untuknya. Masih setengah telanjang dengan hanya dibalut handuk yang
menutupi area pentingnya, Arthas mendapati Emely sedang mengemasi
barang-barangnya. Arthas berdiri di ambang pintu kamar mandi menyaksikan itu.
Emely menyadari dirinya sedang diperhatikan, tapi ia tetap memutuskan untuk
melanjutkan berkemasnya, tak memedulikan Arthas.
“Kamu mau ke mana, Mi?
“Apa pedulimu?”
Arthas tak mau
pertengkaran itu dimulai lagi, lalu ia memilih diam. Diam masih menjadi emas
untuknya, belum menjadi tembaga.
Arthas segera
berpakaian diiringi Emely yang merapikan barangnya ke dalam koper dengan
serampangan. Arthas selesai memakai pakaian lengkap saat Emely berdiri mematung
di sisi tempat tidur memunggungi Arthas.
“Kamu itu enggak peka! Suami yang enggak ada pengertiannya sama sekali!”
“Apa maksud kamu?”
“Bisa ga sih kamu tuh kaya suami-suami yang lain? Yang
punya pengertian ke istrinya? Bisa ga sih kamu sedikit aja punya kepekaan sama istri? Hah?!”
Nadanya tinggi pada
Arthas, Arthas tak bergeming. Yang ada di pikiran Arthas adalah bagaimana
pertengkaran ini diakhiri dengan kemenangan untuk keduanya.
“Jawab! Kamu tuh bisanya cuma diam. Suami macam apa kamu ini.”
Amarahnya memuncak,
Emely tak bisa membendungnya. Rambutnya berkibar saat angin kencang membuka
jendela lebar sekali dan masuk tanpa permisi ke ruang kamarnya. Arthas menarik
napas panjang lalu berkata dalam lirih.
“Kamu mungkin berpikir aku suami yang enggak punya
rasa cinta. Terserah kamu berpikiran seperti apa.Tapi apa kamu tau
barang sedikit? aku bisa aja meminta hal yang sama ke kamu. Kamu bilang aku laki-laki yang
ga peka, mungkin juga enggak berguna karena enggak bisa ngasih apa yang kamu mau. Tapi apa kamu pernah mikir kalau aku enggak pernah meminta hal yang enggak bisa
kamu lakuin?”
Emely berpikir keras
tentang apa yang dikatakan Arthas padanya, berusaha mencerna apa maksud dari
perkataannya itu. Tapi Emely tak punya petunjuk sama sekali. Ia hanya merengut
kebingungan menunggu kelanjutan dari perkataan Arthas.
“Aku seperti ini karena ulahmu juga. Bukankah aku
udah bilang dari sejak awal kita berhubungan? Jangan kecewain aku.”
Matanya menyitip,
Arthas sungguh-sungguh dengan perkataannya yang satu ini. Biasanya dia hanya
diam dan diam bila Emely mulai mengomel karena semua kekurangan yang ada di
rumahnya. Tapi kali ini dia meluapkan semuanya.
“Aku, seperti air di dalam gelas ini. Kalau kamu menumpahkannya airnya bakal habis ga ada sisa. Dan kamu enggak bisa menuangkannya lagi, karena memang kamu enggak punya air perasan jeruk lemon seperti ini.”
Arthas menumpahkan air
dalam gelas yang sedang ia genggam ke atas lantai karpet kamarnya. Emely
memerhatikan perlakuan Arthas dengan teliti. Dalam pikirannya gaduh oleh omelan
yang ingin ia lontarkan tapi tak bisa. Tak bisa karena ia menyadari apa yang
dikatakan oleh Arthas adalah kebenaran dan ia menerimanya.
“Apa kamu sadar? Aku bisa saja meminta kamu seperti
istri yang lain. Istri yang pintar masak untuk suaminya, istri yang pandai mengurus
rumah, istri yang baik dan melayani suaminya. Tapi aku enggak minta kamu untuk seperti itu.
Aku membiarkan kamu untuk menjadi dirimu sendiri.”
Emely mulai menangis,
duduk di atas tempat tidurnya membelakangi Arthas yang sedang berdiri
menghadapnya.
“Aku memang bukan suami yang bisa membahagiakan kamu
dengan harta yang melimpah. Bukankah aku udah nyuruh kamu nyari laki-laki
lain yang lebih kaya dulu waktu kita masih pacaran. Aku cukup demkoratis untuk itu, aku
ingin realistis.”
Kini mereka saling
membelakangi satu sama lain. Mencoba untuk memikirkan kekurangan masing-masing.
Sepertinya Arthas telah memperoleh kemenangan untuk mereka berdua. Emely tak
melanjutkan niatnya untuk pergi dari rumah. Dengan lunglai ia buka kembali
koper yang diisi secara berantakan itu secara perlahan. Ada sesuatu ada di
kepalanya, tapi Arthas mendahuluinya.
“Emi, maafkan aku jika perkataanku menyakitkan. Aku hanya
tak ingin mengandalkan emosiku dan menyakitimu secara fisik."
“Enggak, aku yang harus minta maaf.”
“Enggak, aku yang harus minta maaf.”
Perasan air jeruk itu
kini hampir menyerap seluruhnya ke dalam karpet coklat kusam milik mereka. Diikuti
air mata mereka yang mengalir dalam pelukan.
0 Comments