Type something and hit enter

author photo
By On

HEREKLUS

Diary Adamar
10 Januari 1998
             Aku, seperti makhluk Korin yang lain tugasku adalah melahap semua harapan manusia yang belum tersampaikan pada Sang Pencipta. Kenapa begitu? jangan tanya kenapa, karena manusia hanya makhluk yang penuh hawa nafsu. Kalian hanya mengandalkan hawa nafsu untuk tetap hidup tapi selalu lupa untuk berbicara dengan penciptanya. Jangan sebut aku makhluk jahat yang mengambil harapan dari diri mereka, jangan pernah berpikir seperti itu. Aku pun tak mengerti, sama sekali bukan kuasaku untuk sembarangan mengambil harapan manusia. Walaupun begitu, kalian para manusia mengenalku sebagai mahkluk yang jahat. Tak apa, sungguh tak apa karena aku sangat menikmatinya. Lalu bagaimana caraku mengambil harapan kalian? Itu urusanku.
            Namamu adalah Taliya, kamu perempuan yang sangat cantik. Bahkan serigala berhenti melolong jika melihat kecantikanmu. Aku tahu karena aku sering mengunjungimu bahkan hampir tiap malam. Kau perempuan yang senang menyendiri dan memang selalu terlihat sendiri. Entah mengapa kau bisa melihatku padahal manusia tak pernah menghiraukan kehadiranku, tapi hanya kau yang bisa merasakan kehadiranku. Kau satu-satunya manusia yang membuatku kesal. Bayangkan saja, tiap aku harus mengambil harapan yang tersimpan di hati dan pikiranmu tapi kau pasti selalu bisa mencegahku. Itulah kenapa aku harus selalu mengunjungimu tiap malam berharap kau lupa dari doa dan kebencianmu. Perempuan sepertimu memang sulit ditangani.
            Kau bukan perempuan yang sembarangan, kau tak pernah terkecoh oleh lawan jenismu dan yang paling menyebalkan kau tak pernah lengah berdoa pada Sang Pencipta. Untuk ukuran manusia kau sangat merepotkan, selain kau juga sangat cantik. Kau tak pernah pulang kerumah larut malam, kau juga tak pernah membuat orang lain membencinya. Kenapa aku bisa tahu? kan sudah kubilang aku harus sering mengunjungimu jadi aku bisa tahu. Selama tujuh tahun aku mengikutimu, aku hanya bisa mengambil harapannya hanya dua kali saja. Itupun saat kau didekati oleh seorang pemuda yang berusaha mendekatinya. Ku kira itu akan berlangsung terus menerus tapi ternyata kau malah semakin memahami lawan jenismu dan menjaga perasaanmu rapat-rapat.
            Di tahun ketujuh ini aku hanya selalu menyaksikanmu di sini, di kejauhan. Aku tak bisa dekat-dekat denganmu karena kau pasti akan mengusirku saat kau melihatku. Jadi seperti sekarang aku hanya bisa bertengger di pepohonan seperti burung gagak melihatmu di kejauhan menuju salah satu kamar di rumahmu. Waktuku hanya sampai kau memejamkan matamu, setelah kau tidur aku tak bisa berbuat apa-apa.
            Manusia itu bermacam-macam rupa dan ragamnya. Untuk kesukaanku adalah manusia yang tak pernah ingat pada Sang Pencipta. Mengapa? itu mudah saja, karena memudahkanku untuk mengambil harapan di hatinya yang belum sempat untuk disampaikan pada Sang Pencipta, terlihat sederhana bukan. Lalu untuk apa aku mengambil harapan yang mereka miliki? Apa untungnya buatku? Mungkin pertanyaanya sama seperti ini, untuk apa manusia mengambil nyawa hewan dengan  menyembelihnya. Pasti jawabannya untuk diambil dagingnya dan untuk keperluan bertahan hidup yang lain. Lalu apa manusia tahu persis apa yang mereka lakukan, dengan membunuh? Jawabannya mungkin iya mungkin juga tidak. Mereka hanya membutuhkan apa yang mereka butuhkan. Kami pun sama, kami hanya mengambil apa yang kami butuhkan. Seperti itulah bangsa kami, sangat jauh berbeda dengan manusia, derajat kami lebih tinggi. Mungkin bangsa kami akan selalu berkata seperti itu, entahlah. Aku akan selalu di sini sampai tugasku terlaksana. Mengawasimu entah sampai kapan. Tapi pagi ini sudah waktunya untukku pergi. Setidaknya ini cukup untuk menjadi laporanku pada Chief. Selamat tinggal untuk sementara, Taliya.

Diary Taliya
11 Januari 1998
            Berat rasanya untuk beranjak dari tempat tidur di pagi seperti ini. Tapi bukan Taliya namanya jika tak bisa melawan rasa malasku sendiri. Masih banyak yang harus aku kerjakan. Ya, aku hanya perempuan biasa dengan penampilan yang biasa. Aku bekerja untuk salah satu pusat pendidikan musik, Arima Music Center. Aku mengajar les instrumen biola untuk anak usia sekolah dasar. Tak banyak laki-laki yang ku kenal, aku menjaga jarak dari mereka. Aku tak benar-benar tahu apa yang mereka inginkan dariku. Aku mudah lelah jika memikirkan yang namanya laki-laki. Hhh, seperti pagi ini aku hampir saja kehilangan selera untuk sarapan, semua karena kejadian kemarin. Ah sudahlah, pagi ini hujan turun, aku hanya duduk di teras kamarku menyaksikan ribuan tetesan hujan yang jatuh dari langit. Tuhan sangat baik memberi kehidupan, air segar ini adalah sumber kehidupan. Apa kamu tak pernah membayangkan jika air laut yang menguap dan menjadi awan hujan kemudian air hujan yang dihasilkan tetap asin? bagaimana jika seperti itu?. Tuhan bisa saja membuat hal semacam itu, tapi kenyataanya adalah tidak. Air hujan ini sangat layak untuk kemudian diminum oleh makhluk hidup. Oleh sebab itu Tuhan sangat baik. Semua tak terjadi dengan kebetulan, dunia tak tercipta secara kebetulan. Bagaimana mungkin semua serba kebetulan, jika memang kebetulan butuh berjuta-juta kebetulan untuk menjelaskan kehidupan. Tapi kebetulan tak pernah terjadi secara terus menerus setahuku.
            Seperti aku sekarang ini, aku adalah perempuan. Mungkin saja itu kebetulan karena aku tak tahu kenapa aku menjadi seorang perempuan. Tapi teori kebetulan itu tak aku yakini karena Tuhan menciptakan aku menjadi seorang perempuan dengan satu tujuan. Perempuan dengan hati yang sangat rapuh dan mudah patah. Perempuan adalah makhluk yang memiliki perasaan sangat lembut, aku sering membaca itu dari banyak artikel yang menjelaskan tentang perempuan. Sedikit banyak aku setuju dengan tulisan itu. Malah aku membenarkan.
            Hujan masih belum berhenti, sepertinya aku akan berangkat ke kantor ditemani hujan ini. Asalkan hujan tak membawa suasana menjadi kelabu aku tak akan keberatan. Aku tak ingin seperti waktu itu, hujan turun seharian dan siang itu seorang pria mencoba mendekatiku lalu mengacaukan hatiku. Hujan seperti mendukungku untuk bersedih berkepanjangan.
“Duh, kenapa aku malah diam terus di teras ini dan berpikir macam-macam. Aku
  harus bersiap pergi mengajar.”
Aku tak seperti perempuan lain yang butuh waktu berjam-jam untuk berdandan. Aku hanya butuh waktu setengah jam untuk siap berangkat pergi. Sekarang pukul 08.00, jadi waktu untukku masih cukup sampai ke kantor jam 09.00 tepat.
            Jam 08.45, biasanya setelah aku membuka pintu garasi dan menghidupkan mobilku aku pasti akan menjumpai makhluk itu sedang bertengger di atas pohon. Kemudian ia akan pergi setelah melihatku pergi dari rumah. Aku tak suka dengan makhluk itu, ia terlihat seperti makhluk yang jahat. Tubuhnya seperti manusia, memiliki tangan dan kaki seperti layaknya manusia. Bentuk wajahnya seperti pria dengan rambut di sekitar wajahnya. Aku melihatnya pertama kali saat umurku dua puluh tahun dan aku ketakutan dibuatnya. Sayap hitamnya yang sangat lebar akan meramping mengikuti bentuk tubuhnya saat berdiri. Tapi sejauh ini ia tak pernah mengancam jiwaku. Aku tahu ia bukan makhluk yang bisa dilihat oleh semua orang, aku menyadarinya saat umurku dua puluh tiga tahun, saat aku masih tinggal serumah dengan orang tuaku. Pagi itu aku memandangi makhluk itu dari jendela kamarku, lalu ibu masuk ke kamarku dan melihatku yang sedang memandangi atap rumah orang lain. Menurutnya aku sedang memandangi atap rumah padahal di atas atap rumah itu berdiri makhluk bersayap hitam itu.
“Sedang apa kamu memelototi terus atap rumah orang Ta?”
“Bu, ibu tak lihat apapun?”
“Lihat apa Ta, kamu mengigau?”
Ini aneh, kenapa ibu tak melihat apapun. Kesimpulanku, makhluk itu tak bisa dilihat oleh sembarang orang. Dan sekarang ia tak ada, mungkin ia lelah terus menerus mengawasiku. Mengawasiku untuk mencari saat yang tepat mengambil harapan yang ku punya. Aku tak akan membiarkannya melakukan itu padaku. Selama tujuh tahun aku terus diawasi, sekarang aku mulai terbiasa dengan kehadirannya. Tujuh tahun lalu awal percakapan kami bermula, tapi hanya sekali saat itu saja dan tak pernah terjadi lagi. Aku terkejut karena dia mendekatiku lewat jendela.
“Makhluk apa kau, pergi dari sini!”
“Kau bisa melihatku?”
“Menurutmu bagaimana, apa ketakutanku tak meyakinkanmu?”
“Aku akan mengambil harapanmu.”
“Harapan, harapan apa? kau akan membunuhku?”
“Tentu saja tidak, aku hanya akan mengambil semua hal yang kau inginkan yang
  belum terkabul.”
Jujur saja aku bingung dengan semua jawabannya waktu itu. Tapi akhirnya ia pergi karena aku memberontak dan ia tak berani untuk bertindak lebih jauh. Di mulai dari sanalah aku balik mengawasinya, ia akan datang saat malam antara pukul 20.00 sampai pukul 21.00 dan berdiam diri di kejauhan mengawasiku. Entah kenapa ia tak berani datang lebih dekat lagi padaku. Tapi baguslah, ia harus jauh-jauh dariku. Awalnya yang aku takutkan adalah jika ia mendekatiku saat aku tidur. Dan itu membuatku tak bisa tidur semalaman. Sampai akhirnya aku tahu ia akan pergi saat aku terlelap dalam tidurku. Aku merekamnya lewat handy cam, ku simpan handy cam itu di tempat yang tak terlihat olehnya dan ku arahkan padanya. Aku memerhatikan dengan teliti saat-saat terakhir mataku terpejam, kusimpan jam waker di samping bantalku. Saat aku bangun langsung ku lihat hasil rekaman semalam, yang kucocokkan adalah jam saat dia pergi dan jam saat aku tertidur. Dan ternyata ya, waktunya sama. Ia pergi saat aku benar-benar teridur lelap.
            Kemudian dia akan datang lagi saat pagi hari antara pukul 08.00 sampai pukul 09.00, seperti sekarang ini, dia biasanya akan memandangiku dari pohon di seberang jalan yang langsung menghadap garasi. Tetapi sekarang dia tak ada, cukup aneh sih. Tapi bukan tugasku untuk mengurusi hidupnya, lagipula dia makhluk apa akupun tak tahu. Yang aku tahu sekarang aku tak boleh telat sampai ke kantor. Kantorku berjarak 15 menit dari rumah dengan memakai mobil. Tak ada macet di kota ku ini, kota ini adalah tempat yang cocok untuk orang yang suka dengan kedamaian seperti aku ini. Tapi tak begitu damai sampai makhluk bersayap hitam itu ada, coba banyangkan bila setiap hari ada orang yang selalu mengawasimu dari kejauhan. Pastinya kau akan merasa sedikit terganggu kan.
            Akhirnya aku sampai, ini adalah kantorku, dengan tembok yang diberi warna merah. Tampak seperti rumah biasa bila dilihat dari kejauhan tapi ini adalah kantor untuk para musisi. Halaman bersampingan dengan tempat untuk parkir mobil yang ada di depan rumah. Tempat untuk parkir hanya cukup untuk tiga mobil saja. Aku termasuk orang yang beruntung karena mendapatkan pekerjaan yang sangat menyatu dengan jiwaku, yaitu bermusik. Selain mengajar di sini akupun salah satu anggota dari orkestra yang dipimpin oleh musisi dan komposer ternama yaitu Nakula Danusubrata. Tiga tahun aku menjadi penggesek biola dalam orkestra yang diasuh olehnya. Bulan depan kami akan mengadakan pagelaran orkestra yang akan diselenggarakan di gedung musik yang di miliki kota ini, Pangea Music Hall. Semua orang sedang berkonsentrasi dalam acara tersebut agar semuanya berjalan dengan lancar. Di akhir pekan kami semua harus melakukan latihan selama lima jam. Memang cukup melelahkan tapi kami hanya ingin yang terbaik untuk acara persembahan musik kami nanti.
            Tuhan sangat baik memberikan semua yang aku inginkan, walaupun tak semua Dia berikan begitu saja. Namun dengan begitu aku jadi tahu mana yang baik untukku dan mana yang tak baik untukku. Seperti sekarang aku harus mengajar murid kelas lima sekolah dasar, semua murid sudah terlihat siap untuk diberikan sesuatu hari ini. Semua murid berasal dari sekolah yang berbeda. Mereka seperti memberi energi tambahan untukku. Kelas ini, tempat les ini, adalah benar-benar rumah kedua bagiku. Dan ini adalah hal yang sangat baik.
            “Selamat pagi anak-anak.”
            “Pagi Bu Taya!”
Nama kelasku adalah Taya. Entah siapa yang memulai memanggilku dengan nama itu. Tapi tak apa, aku mulai terbiasa dengan nama yang mereka berikan. Terdengar lucu bagiku.
“Oke, apa kalian sudah siap untuk menunjukkan permainan solo biola kalian di depan
  kelas?”
“Sudah Bu!”
“Belum, nanti besok saja Bu!”
            “Baik, ya ya tenang dulu. Biarpun masih ada yang belum siap, tapi sesuai janji ibu
kemarin, kalian harus menunjukkan permainan biola kalian hari ini. Oke? Ingat,
janji adalah hutang ya.”
Aku hanya tersenyum melihat tingkah mereka, dengan wajah yang polos dan ekspresi yang bermacam-macam. Ada yang riang sekali tapi juga ada yang murung sekali seperti terlihat ada sedikit ketakutan. Tapi aku tak khawatir dengan semua itu, karena dengan begitu mereka akan belajar untuk berani memperlihatkan bakat yang mereka punya di depan kelas.
            “Yang pertama adalah....Rana.”
            “Kenapa tak sesuai urutan absen saja Bu!”
            “Iya, kenapa Bu!”
            “Ya ya dengar dulu. Jika sesuai urutan absen, pasti tak akan seru.”
            “Yaaaah..Ibu curang!”
Senyumku lebar sekali, niatku bukan untuk mengerjai mereka tapi aku hanya ingin melihat kesiapan masing-masing murid. Dengan begitu semua akan siap untuk tiba-tiba dipanggil olehku. Suasana kelas sedikit ricuh oleh omelan mereka yang kurang setuju. Tapi kemudian mulai hening saat Rana berdiri dari tempat duduknya, memegang biola dan busur di tangan kirinya sembari tangan kanannya merapikan rok selutut yang ia kenakan. Gayanya terlihat siap, langkahnya tampak yakin, tak ada gugup di wajah polos miliknya. Dan inilah dia didepan kelas, memasang senyum simpul untuk mencairkan suasana lalu menyiapkan bahu kirinya untuk tempat bersandar bagi biolanya. Ia memainkan lagu daerah, Laraku Sada.

Diary Adamar
12 Januari 1998
“Kau berbeda denganku wahai makhluk rendah, kau diciptakan dari arang sedangkan
  aku dari nyala api. Kau harus tahu itu, jadi jangan coba menyentuhku lagi.
  Tanganmu mengotori badanku. Siapa namamu?”
“Aku..”
“Apa kau tak mengerti ucapanku?”
“Adamar..”
“Adamar? namamu Adamar? Kau pasti tahu siapa aku kan? jadi tak perlu repot lagi
  memberitahu padamu siapa aku. Lain waktu jika kau bertemu denganku lagi kau
  harus sujud padaku. Kau mengerti?”
“Ya, aku.. mengerti.”
Aku terperanjat dari tidurku. Sialan, mimpi itu lagi. Bahkan dalam tidurpun aku harus berurusan dengannya, sial nya aku. Al-Harits, ya aku tahu namamu Al-Harits, penguasa dunia dari sisi yang lain. Sebenarnya kalimat itu sudah ada dalam otakku tapi tak pernah bisa untuk dikeluarkan padanya waktu itu. Dengan sayapnya yang menutupi langit dari penglihatanku, kemudian ia rapatkan kembali saat melihat ekspresi wajahku yang ketakutan. Bagaimanapun aku hanya seorang anak-anak saat itu, seratus lima puluh tahun yang lalu. Jika diingat kenapa aku bisa ditegur olehnya langsung, itu karena saat itu aku sedang berada di dekat istananya dan kebetulan dia sedang mengadakan perjalanan keluar istana dengan diikuti rombongan pasukan berkuda miliknya. Aku yang masih berumur dua puluh lima tahun dan tak tahu sopan santun apapun malah menyentuhnya. Bodohnya aku, aku yang seorang Korin tak akan pernah menang melawan Iblis dan tak seharusnya berurusan dengan nya kecuali sebagai budak. Itu sudah menjadi takdir kami bangsa Korin yang hanya bertugas mengambil harapan manusia, sedangkan mereka bangsa Iblis mengambil yang lebih penting lagi, jiwanya. Dan itu butuh kekuatan yang dahsyat. 
Kami bisa menghuni dua dunia, seperti koin yang mempunyai dua sisi, kami bisa berpindah ke sisi yang lain. Di sisi dunia tempatku lahir, Al-Harits adalah penguasanya yang mutlak dan belum tergantikan sejak pertama kali dunia diciptakan. Sekarang aku menjadi budaknya. Pelahap harapan manusia suruhan nya. Cih!, aku benci takdirku sendiri.
            Aku sering memikirkan tentang ini, tentang takdir bangsa iblis, korin, manusia dan malaikat. Takdirku adalah untuk hidup seperti ini dan kemudian mati setelah seribu tahun. Tubuhku yang mirip manusia tapi dengan umur sangat panjang dibanding mereka. Dengan organ tubuh lain yang mirip iblis walaupun hanya satu-satunya yaitu sayap hitam legam berbulu mirip burung gagak. Dan hatiku, aku seringkali merasakan ada sesuatu yang mengalir di hatiku. Taliya, ya Taliya, aku ingat Taliya adalah tujuanku. Manusia yang keras kepala. Sudah tujuh tahun aku menyia-nyiakan waktuku untuk manusia ini.
            “Adamar putra Tanpa Ayah, sudah waktumu untuk pergi ke dunia manusia”.
            “Baik, aku tahu, Chief.”
            “Lalu kenapa kau masih disini, cepatlah pergi.”
Tanpa basa-basi aku pergi menjauh dari batang hidungnya yang keriput. Aku sangat benci mereka semua, sangat. Ketua klan, klanku, bangsa iblis, semuanya.


Diary Taliya
12 Januari 1998
            Makhluk itu datang lagi, di setiap malamku dia pasti akan datang. Aku bukannya tak mau menghiraukannya, tapi aku takut. Sebenarnya aku ingin tahu dia makhluk jenis apa? kenapa aku bisa melihatnya sedangkan orang lain tak bisa? Apa aku berani untuk menanyainya? Sungguh, aku takut. Dia hanya berdiri diam mematung di pohon seberang jalan, mengawasiku. Setiap malam akan selalu seperti itu. Pikiran ini menggangguku, baik, ini sudah cukup, aku akan menemuinya.
            “Hei, kau!. Apa yang kau mau sebenarnya?”
            “....”
            “Jangan berpura-pura tak mengerti bahasaku, kita pernah berbicara sebelumnya.”
            “Aku sudah pernah menjelaskannya padamu wahai manusia.”
            “Ya, tapi aku sama sekali tak mengerti.”
Dalam sekejap makhluk itu sudah ada di hadapanku, bagaimana bisa secepat itu. Aku terjatuh melihat sosoknya ada di depanku. Aku ketakutan, tangan dan kakiku terasa dingin sekali.
            “Menjauh dariku!”
            “Aku tak akan membunuhmu, manusia.”
            “Apa, apa maumu?!”
            “Aku ingin jiwamu hampa.”
            “Untuk apa kau menginginkan hal itu?”
            “Itu sudah menjadi tugasku.”
Perbincangan ini tak akan membuahkan hasil. Ia hanya menjawab secara singkat dan aku tetap tak mengerti apa maksudnya. Dasar makhluk aneh. Sebelum orang-orang menyangkaku gila sebaiknya aku masuk ke rumah lagi.
            Ia kembali ke posisi semula di atas pohon, hanya diam dan diam mengawasiku dari kejauhan. Aku tutup tirai jendela di kamarku agar pikiranku jauh dari nya dan sedikit tenang, aku tak mau memilkirkannya lagi malam ini. Aku harus tidur dan beristirahat. Ya Tuhan, tolong jauhkan makhluk mengerikan itu di setiap malamku. Aku hanya ingin merebahkan tubuhku di tempat tidur ini dengan pikiran tenang. Ku rebahkan kepalaku di atas bantal, tapi pikiranku tetap saja mengajakku untuk berbincang-bincang.
            “Untuk apa Tuhan menciptakan makhluk seperti itu? apa sebenarnya maksud dari
  omongannya tadi?. Ingin jiwaku hampa? apa maksudnya? untuk apa?. Aku ingat,
  dia pernah menyebutkan sesuatu tentang harapan di diriku. Dia akan mengambilnya,
  ya, aku ingat. Tapi harapan seperti apa?. Ah, pertanyaan ini membuatku gila.
  Semoga Tuhan tetap bersamaku dan melindungiku. Aamiin.
Aku hanya bisa menyerahkannya pada Tuhan Yang Maha Kuasa, siapa lagi yang bisa aku andalkan selain Dia. Tujuh tahun makhluk itu sudah mengintaiku, itu berarti dia tak bisa menjangkau harapan milikku, apapu itu bentuknya. Ya, aku harus tetap mempertahankannya. Jangan sampai fokusku hilang gara-gara makhluk itu, ada pementasan yang harus aku laksanakan dan jangan sampai pikiranku buyar karena nya.

13 Januari 1998
            Terima kasih Tuhan, aku masih bisa membuka mata di pagi hari ini. Tidurku cukup nyenyak. Perasaanku, aku bermimpi sesuatu semalam tapi aku tak ingat. Tapi malah aku langsung teringat makhluk itu, ia pasti masih ada di tempat terakhir aku melihatnya, ku coba menyingkap tirai jendela dan benar dugaanku, ia masih disana. Apa ia tak butuh tidur, istirahat atau semacamnya?. Hanya berdiri sepanjang malam. Tapi untuk apa aku terus menerus memikirkannya, bukan urusanku.
            *Kriing kriiing
Telepon rumahku berdering sepagi ini, itu pasti ibu.
            “Halo, ini Taliya.”
            “Ta, ini Hannah. Jadwalku hari ini kamu yang isi ya, tolong. Aku ada keperluan
  penting nih. Mau ya?”
“Kamu mau kemana Hanhan? urusan apa?”
“Urusan penting Ta, pokoknya penting.”
“Iya penting, tapi apa?”
“Hmmm..nanti saja aku ceritakan ya, dah.”
Dia menutup teleponnya, ternyata bukan ibu. Itu Hannah teman kerjaku di tempat les musik Arima. Ia juga staff pengajar sepertiku, mengajar alat musik biola sepertiku juga. Dan aku harus menggantikannya di kelasnya nanti. Kami memang sering saling menitipkan tugas untuk mengajar. Kadang aku yang menitipkan tugas padanya tapi lebih sering dia yang menitipkan tugas untuk mengajarnya padaku, ya seperti hari ini. Sepertinya aku akan sedikit sibuk.
            Sekarang pukul 08.45. Seperti biasa setelah aku buka pintu garasi, aku pasti akan langsung melihat makhluk itu masih bertengger di atas pohon dan dia pasti akan langsung melebarkan sayapnya lalu kemudian terbang setelah melihatku. Setiap hari akan selalu seperti itu, tak pernah sekalipun terlewatkan, kecuali hari libur karena aku tidak pergi sepagi ini untuk mengajar. Dan pikiranku pasti akan terbebani olehnya mungkin selama lima menit. Dan itu pasti selalu terjadi, pasti. Mari kita buktikan. Kutekan tombol untuk membuka pintu garasi, lalu pintu terbuka secara perlahan. Mari kita lihat apa makhluk itu masihh ada, dan ya ia masih berdiri tanpa gerakan sedikitpun. Kuhidupkan mesin mobilku, kubiarkan tetap menyala selama tiga menit. Apa ia masih saja tetap mematung? ya ia masih saja berdiri mematung. Lalu kuinjak pedal kopling, diikuti perseneling dan kuinjak pedal gas pelan-pelan. Mobilku maju perlahan keluar dari garasi, mari kita lihat apa ia akan siap-siap untuk terbang?, dan ya, sayapnya dibentangkan lalu terbang setinggi-tingginya.
            Ia telah pergi entah kemana, tapi sayangnya kebiasaanku untuk memikirkannya setelah ia pergi tergantikan oleh Hannah. Rasa penasaranku muncul, kali ini Hannah punya urusan penting apa sampai harus menitipkan tugas mengajarnya padaku?. Terakhir ia menitipkan tugasnya hanya untuk urusan pria, yang bagiku sama sekali tak penting. Kali ini apa?, jika masih urusan pria berarti aku akan menghabiskan waktuku untuk menggantikan waktu Hannah mengurusi sesuatu yang tak penting. Hannah memang sering menyuruhku untuk berteman dengan banyak pria dan mengencani salah satu dari mereka. Dan akupun sering memberitahunya bahwa punya banyak teman pria bukan patokan untuk bahagia. Cukup adil kan? Hannah berpendapat dan akupun punya pendapat sendiri.

Diary Adamar
12 Januari 1998
            Hanya kehampaan yang kupikul saat pulang ke sisi dunia asalku. Malam ini aku tak mendapatkan apapun. Tak satu harapan pun yang kuambil dari pikiran dan hati manusia perempuan itu. Aku sudah mulai jenuh dengan tugas ini. Tak segampang menangani manusia laki-laki.
            “Kau masih tak mendapatkannya?”
            “Ya, Chief.”
            “Bodoh, cih! Berhentilah jadi Korin.”
Sungguh, jika aku bisa melakukannya, akan kulakukan Chief. Aku berkata pada diriku sendiri seolah-olah aku berbicara langsung padanya. Ah, kenapa aku tak pernah berani untuk mengungkapkan pada orang lain apa yang ada dalam pikiranku?.
            “Kau terlalu baik, Adamar putra tanpa ayah. Kau aib bagi klan kita. Apa yang harus
  aku katakan pada majikan kita nanti. Sungguh bangsa iblis akan murka bila
  mendengar kerjamu yang tak becus!”
“Apa kebaikan itu salah?”
“Kau berani bertanya? coba kau pikir oleh dirimu sendiri lalu bandingkan dengan
  hasil kerjamu.”
“Aku tak pernah menemukan kesalahan dalam diriku.”
“Lancang kau budak! Sepertinya kau harus diberi pelajaran lebih!. Berlututlah!”
Aku dipaksa berlutut dengan tendangan yang kudapatkan di kedua kakiku.Terhenyak lututku membentur tanah merah yang terasa panas oleh api yang membakar amarah ketua klan. Terlihat jelas jilatan api keluar dari matanya yang merah padam. Bola matanya yang  hitam sekarang sangat menyala.
            “Atas kelancanganmu itu, kau akan kuikat tanpa makan malam ini di mulut gunung
  Seravius sebagai hukuman.”
Jika kebaikan itu salah, lalu kenapa aku melihat kebahagiaan di dunia manusia?. Kenapa aku melihat senyum yang lebar diantara dua manusia yang saling memberi kebaikan?. Kenapa bangsa korin dan iblis tak bisa seperti mereka?. Aku mulai mempertanyakan eksistensiku sendiri. Hanya ada kata kenapa dalam diriku. Lalu siapa yang akan menjelaskan?. Sudah barang tentu penjelasan itu tak akan aku dapatkan di kalangan bangsaku sendiri apalagi bangsa iblis. Lalu aku harus bertanya pada siapa?.
“Di sini kau akan menghabiskan malammu. Besok pagi kau akan bebas. Pikirkan itu
  sebagai pelajaran untuk dirimu, Adamar putra tanpa ayah.”
Ketua klan bersama dua ajudannya pergi dari hadapanku, tubuhku telah diikat kuat dengan posisi berlutut pada sebuah pancang. Mulut gunung yang sangat panas mendera kulitku yang  mulai merasakan suhunya. Tanpa diberi makan apalagi minum. Api tetap menjadi siksaan bagiku. Karena memang hanya api satu-satunya siksaan yang sangat pedih, tak ada yang lain. Langit malam yang merah, suara menderu gunung berapi yang selalu dilanda amarah. Taliya, tiba-tiba aku ingat nama itu. Nama itu yang membuat aku harus disiksa seperti ini. Asap mengepul di tengah kawah, lava pijar meronta dari dasarnya. Bau menyengat dari belerang menusuk hidungku. Taliya, aku masih memikirkan nama itu. Nama yang membuatku harus menerima siksaan seperti ini. Apa ini? aku merasakan sesuatu. Ini bukan dendam, tapi aku tahu ini sebuah perasaan. Yang ku tak tahu ini perasaan macam apa?. Aku hanya menunggu besok pagi, aku ingin pagi segera datang, menjemput kesadaranku.

Diary Taliya
13 Januari 1998
            Anak-anak di kelas Hannah ternyata lebih atraktif dan menyenangkan. Semua memerhatikan dan memahami dengan sangat cepat. Bukan maksudku membandingkan tapi itulah yang kurasa. Mengajar di kelas Hannah tak begitu berat karena waktu tak terasa lama saking antusiasnya. Itulah hukum relativitas, beda dengan menunggu diam tak melakukan apapun pasti akan terasa begitu lama.
Aku baru ingat, perutku belum diisi apapun. Terakhir aku makan sesuatu waktu sarapan pagi tadi. Pantas saja perutku keroncongan. Sekarang hampir malam dan aku masih di sini di tempatku mengajar. Seluruh ruangan sudah ditinggalkan oleh penghuninya, tinggal aku dan beberapa orang saja kurasa. Memang ada sebagian orang yang memilih pulang larut malam seperti pak Hudais. Ia sering terlihat lembur, kudengar kabar anaknya terkena leukemia mungkin itu yang mengharuskan ia lembur setiap hari untuk menambah biaya pengobatan. Pak Hudais bekerja di bagian administrasi, bagian ini memang sering dikejar deadline karena harus mengurus ini itu.
            “Pak Hudais, belum pulang?”
            “Eh belum Ta, saya lagi banyak kerjaan, ini ngurus internet.”
            “Aku pulang duluan ya pak.”
“Oh ya ya, hati-hati di jalan.”
Pak Hudais memang orang baik, senyumnya tak pernah hilang dari wajahnya yang mulai keriput. Aku pamitan padanya sebelum pulang, kebetulan ruangannya aku lewati dan ia sedang memelototi monitor yang diberi lapisan kaca agar sinarnya tak merusak mata. Kantorku baru dipasang jaringan internet, akupun belum tahu apa itu internet. Yang aku tahu itu adalah jaringan untuk mengolah data, entahlah. Yang jelas semenjak internet akan dipasang akhir minggu lalu, kabel-kabel mulai ditempatkan di sepanjang koridor dan ruangan administrasi.
            Lelahku terbayar rasanya saat kunikmati makanan yang kusuka. Sushi memang selalu menjadi makanan kesukaanku sejak kecil. Perutku berhenti berdemo karena sudah penuh terisi oleh sushi sekarang. Tak akan ada perut yang keroncongan saat aku menyetir. Ini semua gara-gara Hannah sampai-sampai aku harus telat makan, sepertinya aku harus minta traktir padanya nanti sebagai penebusan dosanya padaku. Pagerku tak berbunyi, sejak dari siang Hannah tak mengirimku pesan sedikitpun. Mungkin memang ia sedang mengurusi hal yang sangat penting. Aku ingin cepat sampai dirumah sebelum didahului oleh makhluk bersayap itu. Semoga Tuhan melindungiku diperjalanan pulang.
            Jalanan masih ramai, lampu kota mulai menghiasi sepanjang jalannya. Di atas dashboard tergeletak kaset Backstreet Boys yang kubeli bulan lalu. Kuputar kaset itu dalam  radio tape mobilku, lagu terakhir yang diputar adalah As Long As You Love Me, ah aku suka lagu ini. Aku bernyanyi sedikit reff nya untuk menambah kebahagiaanku hari ini.
            “ I don’t care who you are
            “Where you’re from.”
            “What you did.”
            “As long as you love me.”
Tak lama lagu selesai dan akupun sampai di rumah. Kuperhatikan sekitar rumah tak ada tanda-tanda si makhluk bersayap itu. Syukurlah, semoga dia tak akan datang malam ini. Badanku mulai terasa pegal, sepertinya mandi air hangat akan sangat menyenangkan buatku. Ibu sudah tidak tinggal denganku lagi, biasanya ibu yang akan menyediakan air hangat jika aku pulang larut malam. Tak ada pemanas air di kamar mandiku, jadi aku harus memanaskan air untuk bisa mandi air hangat. Aku jadi rindu ibuku.
            Mandi air hangat memang bisa sedikit menghilangkan ketegangan setelah seharian ini, pori-poriku seperti menghirup udara baru lagi sekarang.
            *tuut tuut tuut
            “Ta, kamu pasti belum pulang kerumah jadi aku simpan pesan ini saja. Makasih ya
  sudah mau  menggantikan aku hari ini. Kamu memang sahabat terbaikku. Dah.”
Hannah mengirim pesan di alat rekam telponku, dia bilang aku adalah sahabat terbaiknya. Baiklah, jika hanya sekedar traktir makan sepertinya tak berlebihan. Oke, aku akan menggodanya nanti.
Karena besok hari Sabtu dan juga hari libur jadi malam ini aku bisa tidur sedikit larut, sudah lama aku tak menonton acara malam kesukaannku. TV ku nyalakan, aku sudah ada di posisi yang nyaman. Tapi ini aneh, sepertinya sekitar rumahku terasa hening sekali tak seperti biasanya. Makhluk itu, aku jadi ingat dia, aku menghampiri jendela untuk melihat apa dia ada di tempatnya biasa berdiri semalaman. Ini juga aneh, padahal sekarang sudah jam sembilan malam tapi ia tak ada di sana. Ya, doaku terkabul, ia tak datang malam ini. Untuk pertama kalinya ia tak mengawasiku, malam ini ia tak ada. Syukurlah.
Tapi, di teras depan, dalam bayangan jendela karena tersamar oleh lampu taman aku melihat seseorang berdiri. Hanya diam berdiri. Apa mungkin itu adalah makhluk bersayap itu?. Tapi kenapa sedekat ini?. Aku beranikan diri untuk melihatnya, aku mengintip di sudut jendela. Dan memang benar, ia makhluk bersayap hitam itu. Kupikir ia tak datang malam ini. Kubuka pintu untuk mencoba mengusirnya dari teras rumahku.
“Apa yang kau lakukan di sini?!”
Dia hanya diam, tak mencoba untuk menjawab pertanyaanku yang sebenarnya ingin mengusirnya. Ku lihat tubuhnya penuh luka, aku bisa melihatnya langsung karena ia memakai jubah yang memperlihatkan dadanya yang bidang. Sayap hitamnya seperti terbakar. Sadar kuperhatikan, ia lantas memalingkan tubuhnya membelakangiku. Tetap saja aku jadi melihat jelas sayapnya yang terbakar di sisi-sisinya. Entah kenapa aku iba melihatnya seperti ini.
            “Kenapa dengan luka di tubuhmu?”
Lagi-lagi ia hanya diam, seperti tak punya telinga saja. Tapi aku tahu ia mendengar perkataanku. Dengan posisi masih membelakangiku, kepalanya menengadah ke langit, entah apa yang ia lihat, mungkin bintang atau bulan.
            “Jika kau tak mau menjawab pertanyaanku, kau boleh pergi dari sini, ini rumahku.”
            “Aku boleh mengajukan pertanyaan padamu, wahai manusia?”
Akhirnya ia berbicara walaupun menjawab pertanyaanku malah dengan pertanyaan lagi.
            “Apa yang ingin kau tanyakan?”
            “Kenapa manusia bisa hidup dengan kebaikan?”
            “Maksudmu kebaikan seperti apa?, aku tak mengerti.”
Ia membalikkan badannya, kali ini ia melihat mataku dengan tajam dan menusuk.
            “Kebaikan yang kalian bagikan kepada sesama manusia, yang  membuat diantara
  kalian tertawa dan bahagia.”
“Kami memang sering berbuat seperti itu, justru hal itulah yang membuat kami saling
  membutuhkan satu sama lain. Manusia memang kreasi dari Sang Pencipta yang
  saling membutuhkan satu sama lain.”
“Apa itu menyenangkan?”
“Ya,  karena itulah kami bahagia. Tapi tunggu dulu, sebelum aku menjawab semua
  pertanyaan yang sepertinya akan kau ajukan lagi apa boleh aku minta jawaban yang
  selama ini kutanyakan padamu yang tak pernah kau jawab sama sekali?’
“Baik, aku mengerti.”
Ia mengejutkanku dengan langkahnya yang secara tak langsung mengajakku duduk di kursi yang ada di teras rumahku. Ia duduk di salah satu kursi itu, seperti manusia biasa. Sayapnya ia lipat sampai tak terlihat sehingga ia bisa dengan mudah menduduki kursi itu. Ini aneh, sungguh aneh. Aku menuruti keinginan yang tak diucapkannya, aku duduk dengannya di teras ini.
            “Namaku Adamar, aku adalah Korin, makhluk dari sisi dunia yang lain, tugasku
  adalah mengambil harapan yang ada pada manusia. Harapan terbesar dalam hidup
  manusia, jika manusia tak punya harapan maka ia tak punya cita-cita dalam
  hidupnya. Jika semua harapannya hilang maka manusia akan hidup dalam
  kehampaan.”
“Bagaimana kau melakukannya?”
“Aku akan mengawasi manusia itu sampai ia tertidur. Jika ia tidur dengan kebencian
  di hati, maka aku akan dengan mudah masuk ke dalam tubuhnya dan mengambil
  alih sementara tubuhnya lalu melahap harapan yang paling utama, yang paling
  penting dalam hidupnya.”
“Jadi selama ini kau ingin merasuki ku?”
“Ya.”
“Lalu setelah apa yang kau inginkan terpenuhi apa yang akan kau lakukan?”
Entah keberanian darimana, aku malah meladeni semua pertanyaannya. Seharusnya aku mengusirnya. Tapi rasa penasaranku mengalahkan rasa takutku.
            “Maka tugasku pada manusia itu selesai dan aku akan ditugaskan untuk melahap
  harapan manusia yang lain.”
“Aku masih tak mengerti, kenapa kau lakukan itu pada manusia, kau makhluk jahat!”
“Semua itu untuk mempermudah kerja Iblis, Taliya.”
Terkejutnya aku, ia sekarang menyebut namaku. Ia pasti tahu semua yang menjadi identitasku.
            “Iblis? kau bekerja untuk iblis?”
            “Aku adalah budaknya.”
Terjawab sudah sekarang, makhluk ini adalah kaki tangan Iblis. Jika makhluk ini berhasil mengambil paksa harapan dari ingatanku dan hidupku menjadi hampa maka dengan mudah iblis mengambil alih hidupku.
            “Aku tahu sekarang, iblis ingin mempermudah tugasnya untuk menjerumuskanku ke
  dalam kegelapan di dunia ini, begitu kan?”
“Ya, bahkan lebih parah dari itu, mengambil jiwamu untuk menjadi temannya di
  neraka.”
Darahku mengalir hebat, adrenalinku terasa memenuhi otakku. Mataku tak berhenti memerhatikan wajahnya yang tanpa ekspresi, dingin dan kaku.
            “Tapi, kenapa kau menceritakan semua ini padaku. Bukankah ini seharusnya menjadi
  rahasia kalian?”
Ia kembali menatap mataku dengan tajam, tapi aku melihat matanya kali ini menceritakan sesuatu. Mata hitam dengan pupil berwarna merah yang kali ini kutemukan ada sesuatu yang ingin untuk diceritakan. Tapi entah apa.
            “Cukup untuk kali ini.”

Ia berdiri lalu melompat dari teras rumah dan dalam hitungan detik sayapnya terbentang membawanya terbang ke angkasa dimalam yang berawan ini, menjauhkannya dari pandanganku. Aku tahu namanya sekarang, Adamar. Dan entah kenapa aku ingat sebuah karakter dalam judul buku, Hereklus, karangan Christoper Dinago. Sebuah karakter yang dibuat seram tapi lebih terlihat baik di dalam hatinya. Hereklus, aku tambahkan dan aku ingat nama itu ada di belakang namamu, Adamar Hereklus.



Bersambung

0 Comments