Type something and hit enter

author photo
By On

novel blog


Prolog

Jumat, 3 Oktober 2245

Sementara aku sibuk menulis paman Gracaa terbangun dari tidurnya, ia menyuruhku untuk memerhatikan suara aneh di luar sel.

“Dre, apa kau dengar sesuatu?”

Kuhentikan sejenak gerakan tanganku yang asik menulis lalu aku mencoba memerhatikan suara yang dimaksudkan paman Gracaa.

“Suara apa paman? aku tak dengar apapun.”

“Coba kau dengar lebih teliti, Dre.”

Ya, aku mendengar suara hewan liar di pedalaman hutan, diikuti suara gemuruh setelahnya.

“Mungkin di laut lepas sedang terjadi badai, paman. Mungkin itu hanya petir.”

“Badai ya? tapi ini terdengar seperti sesuatu yang lain.”

Ia lantas menegakkan tubuhnya yang tengah terbaring di atas tempat tidurnya dan memasang air muka setengah kebingungan. Lalu menatap mataku dalam-dalam.

“Sudah jangan khawatir paman, di sini kita aman dari badai.”

“Tapi perasaanku tak karuan, Dre. Akan terjadi hal yang tak diinginkan.”

“Kita sudah tujuh tahun ada di sini paman, apa yang kau khawatirkan.”

“Entahlah, perasaanku tak enak.”

Kami saling memberi pandangan mata yang keheranan mendengar suara aneh itu. Otakku mulai berpikir untuk menebak penyebab dari suara gaduh tersebut. Dengan sekejap otakku menangkap sesuatu yang mempunyai hubungan dengan suara yang kudengar.

“Suara petir tak mungkin bersamaan seperti ini, suara ini dihasilkan dari beberapa titik suara.”

“Kau benar Dre, lalu apa kesimpulanmu?”

Belum sempat aku menjawab pertanyaan dari paman Gracaa, suara petir itu mengagetkan kami, sangat terasa berada di atas kepala dan menggetarkan dada kami berdua. Seperti petir yang hebat menggelegar, tapi jika badai mencapai daratan Antaloblas sudah dipastikan dengan diiringi hujan yang sangat lebat. Ini, tak ada hujan sama sekali dan yang paling aneh adalah tak ada kilat sebelumnya. Apa ini? Lalu tiba-tiba sel kami bergetar kuat sekali, pulau ini seperti terkena ledakan bom atau ledakan lainnya yang begitu hebat. Tak punya waktu untuk berpikir, secara tiba-tiba suatu benda yang sangat besar jatuh menimpa tempat ini. Aku berusaha melindungi paman Gracaa dari reruntuhan gedung dengan tubuhku. Kami selamat karena benda itu tak jatuh tepat di atas sel kami, tapi menghantam pintu keluar meratakannya dengan tanah. Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Apa markas ini sedang diserang musuh?

Di gelapnya malam kami membebaskan diri keluar dari sel untuk pertama kali tanpa pengawasan. Paman Gracaa telah berhenti dari batuknya lalu melihat ke cakrawala yang dia dapati markas SA-OD telah rata dengan tanah. Akupun hampir tak percaya dengan apa yang ku lihat.

“Dre, apa ini kesimpulanmu?”

“Ya paman, aku akan menjawab ini, apa yang kita berdua lihat sekarang. Lapisan kaca di langit telah menimpa Antaloblas, itu artinya mereka gagal mengantisipasinya.”

Ku tegakkan mataku ke atas langit, rupanya awan di langit masih saja mendung, tak terlihat bintang satupun. Aku tak bisa melihat lubang dari lapisan kaca yang runtuh itu. Jika masih tersisa lapisan kaca di langit pasti akan jatuh menyusul kapanpun. Belum selesai hanya disitu, di depan mataku mulai muncul kobaran api dari arah sekitar markas, ini mulai tak bagus. Tempat ini bukan tempat yang cocok lagi untuk berlindung. Runtuhan lain sedang jatuh di tempat yang jauh dari sini, kami berdua menyaksikannya dengan sedikit gentar.

“Apa yang harus aku lakukan?”


20 tahun sebelumnya

Minggu, 23 Februari 2225

Pukul 05.00, udara Orlanida sedikit terasa dingin dan aku harus bangun pagi-pagi sekali untuk bersiap ke sekolah tempatku menggapai cita-cita menjadi penjelajah luar angkasa. Sekolah Anak Angkasa Orlanida, sekolah tempat aku anak laki-laki berumur 6 tahun yang mempunyai cita-cita menjadi astronot luar angkasa. Ini pertama kalinya aku masuk sekolah, jadi aku tak ingin terlambat.

“Apa kamu sudah siap Dre?”

“Aku sudah siap Bu.”

“Bagaimana perasaanmu akan masuk sekolah hari pertama?”

“Aku ingin segera tahu sekolahku Bu, ayo kita berangkat sekarang.”

“Baiklah, sepertinya sudah ada yang tak sabar ingin jadi astronot.”

Warna gelap langit sedikit demi sedikit pudar oleh matahari. Rumahku cukup jauh dari pusat kota, sedangkan sekolah ada di pusat kota Orlanida. Aku harus menempuh perjalanan lebih kurang 30 menit untuk sampai kesana. Aku berangkat pukul 06.15 dan sekolah mulai pukul 07.00. Tampak luar sekolah itu tak terlihat seperti sekolah luar angksa, dengan papan nama yang cukup tua dan gerbang yang besar dengan tembok batu bata merah. Tapi tetap kokoh jika dilihat lebih dekat dan lebih teliti. Aksen luar angkasa ada di tulisan-tulisan dinding sepanjang pintu masuk utama. Dan aku takjub saat pertama kali melihat pesawat ulang alik yang ditempatkan di tengah lapangan sebagai monumen sekolah.

Aku ingat aku hanya membuntuti ibuku. Sepanjang lorong aku sibuk dengan pikiranku sendiri, bertanya-tanya siapakah orang yang pertama kali pergi ke luar atmosfer bumi, siapa yang pertama ingin tahu lebih banyak soal ruang angkasa. Pasti ada seseorang dibalik semua ini. Belum habis pertanyaanku aku sudah sampai di depan kelasku, pintu terbuka dengan sendirinya dan aku masuk dengan langkah sedikit takut. Melihat bangku yang kosong aku diantar menempati bangku itu. Layar plasma yang belum menyala dipasang di depan kelas. Aku duduk paling depan barisan kedua. Dibelakangku ditempati anak perempuan berambut panjang diikat kebelakang.

“Hai, namaku Sani Alexandra. Namamu siapa?”

“Hai, aku Dreo.”

“Dreo?”

“Ya, Dreo Olivion. Dre kalau mau.”

“Okay Dre, panggil aku Lexa. Ok. Sekarang kita berteman.”

Aku merasa sedikit memerah dari muka sampai ke telinga saat bersalaman dengannya. Gadis dengan alis lumayan tebal dan matanya yang hijau. Ia punya gigi gingsul di depan, aku rasa ia cantik. Aku lihat air mukanya yang sedikit malu dan gadis itupun duduk kembali setelah mengingat namaku. Mungkin juga sambil mengingat mataku yang coklat berkilau. Ah perasaanku saja.

Aku hanya diam sedangkan suasana kelas seperti pasar tumpah yang ribut oleh anak-anak. Aku memerhatikan teman yang belum kukenal berlari-lari dan berjalan kesana kemari. Sebagian besar yang membuat gaduh adalah anak laki-laki. Ada yang membawa pesawat mainan kemudian melemparnya ke depan kelas, ada yang gaduh membuat suara dengan memukul meja, tapi tak sedikit yang bermain game online di gadgetnya masing-masing. Aku tak diberi gadget untuk bermain game oleh ibuku, jadi aku tak pernah terlalu gila main game.

Guru belum juga datang, aku merasakan rambutku ditarik dari belakang secara pelan-pelan. Ternyata oleh gadis itu.

“Hei hei, Dre.”

“Ada apa Lex.”

“Mau antar aku tidak?”

“Antar ke mana? Kita harus belajar.”

“Ah kamu, mumpung guru belum datang ayo kita keluar kelas. Kita kan belum tau  taman sekolah seperti apa.”

“Kenapa tak ajak anak yang lain saja?”

“Ayoooo!”

Dengan muka yang cemberut ia menarik tanganku sampai keluar kelas. Perempuan yang keras kepala. Aku bertanya-tanya kenapa dengan anak ini.

“Dre, apa cita-citamu menjadi astronot?”

“Ya, kenapa kamu bisa tahu?”

“Kalau begitu kita cocok, tahu kenapa?”

“Tidak tahu.”

“Tebak saja, Dre.”

“Hmm..karena kamu juga ingin jadi astronot?”

“Mendekati Dre, tapi bukan itu jawabannya. Aku akan menjadi astronom. Cocok kan?  Kamu terbang ke angkasa, aku yang akan mengarahkanmu disini.”

Dengan menyimpulkan senyum di wajahnya ia berusaha meyakinkan aku untuk setuju dengannya.

“Akan aku ajarkan sesuatu buat kamu, Dre.”

“Apa itu?”

“Lihat, pesawat itu? Itu adalah generasi pertama dari pesawat ulang alik milik Orlanida. Pertama kali beroperasi pada tahun 2015. Orion II berbahan bakar minyak bumi. Kamu pasti baru tahu kan?”

“Hmm..ya, aku baru tahu.”

“Karena aku serba tahu sepertinya aku akan juara di kelas, Dre. Kamu harus takut padaku.”

Sangat percaya diri sekali anak ini, akupun tak akan kalah darimu tahu. Aku tak berani berkata seperti itu jadi aku simpan dalam hati saja. Mungkin lain kali aku akan berkata blak-blakan padanya. Kemudian bel berbunyi tanda kelas akan dimulai.

“Dre, kita harus masuk kelas. Ayoooo!”

Ia menarik lagi tanganku kali ini sambil berlari. Anak ini tak bisa santai sedikit. Mungkin sarapan paginya uranium. Beruntunglah kita duduk tepat waktu karena seketika setelah bel berhenti sebuah proyekor hologram di depan kelas menyala.

“Selamat pagi anak-anak.”

“Selamat pagi Paaak!”

Semua menjawab sambil kebingungan dan heran, apa kita tak akan diajar oleh guru yang asli? Karena yang datang adalah Pak Guru hologram.

“Bagaimana kabar kalian pagi ini?”

“Baik Paaaaak!”

“Perkenalkan namaku Roger London, guru kalian. Selama beberapa belas menit ke depan kalian akan menyimak sejarah dari Sekolah Anak Angkasa Orlanida. Baik anak-anak! Selamat menyaksikan.”

Kemudian lampu redup dengan sendirinya dan sebuah film tayang setelah Pak Guru hologram hilang. Ini hari pertama yang mengasyikan.

Senin, 24 Februari 2225

“Dre, ayo ikut ayah. Pegang tanganku”

“Kita kemana yah?”

“Kita akan melihat keadaan langit, ayo naik.”

“Naik pesawat Orion II ini yah? Pesawat ini sudah usang.“Tidak apa-apa pesawat  ini masih berfungsi, Dre. Cepatlah duduk dan pakai sabuk pengamanmu.”“Pegangan Dre, ini akan berguncang sangat hebat”

“Aaaaaahhhh.”

“Bertahan, Dre!”

“Ayaaah, pesawat ini terbelah. Ayaaaaaah!”

“Dre! Pegang tangan ayah!”

“Ayaaaah!

“Aaaahh...Dre!, jaga dirimu!

Bunyi alarm yang kupasang semalam membangunkanku tepat waktu dengan keringat membasahi piyama yang ku pakai. Itu mimpi buruk pertamaku, lalu ibu berteriak memanggilku.

“Dre!, ayo bangun siap siap sekolah!”

“Baik Bu, aku sudah bangun.”

Mimpi tadi sangat aneh, membuatku harus diam begitu lama untuk menyadarkan diri. Tapi untung aku tidak mengompol, bisa-bisa aku dimarahi Ibu. Tapi kenapa mimpi itu begitu nyata. Ah, sudahlah. Aku harus siap-siap berangkat ke sekolah.

“Pagi Bu.”

“Pagi Dre, ayo lekas sarapan. Kalau tak sarapan nanti pingsan di sekolah.”

“Aku anak kuat Bu, tak akan pingsan.”

“Anak kuat juga perlu sarapan, ayo habiskan, John Hancock.”

“Siap.”

“Bu?”

“Kenapa, Hm?”

“Aku bermimpi buruk, aku diajak ayah naik pesawat dan pesawatnya terbelah. Kita terpisah.”

“Ayahmu orang yang baik, Dre. Doakanlah dia.”

“Baik Bu. Aku berangkat dulu.”

Air muka ibu terlihat berubah saat mendengar aku menceritakan ayah. Aku tak cukup mengerti dengan keadaan seperti itu. Semoga aku tidak melakukan hal yang salah. Hari ini aku berangkat sendiri, karena ibu harus bekerja. Aku diajarkan ibu untuk tidak takut berjalan sendiri di Orlanida. Karena menurutnya di Orlanida tingkat kejahatan sangat sedikit, hampir tidak ada sama sekali. Dan aku bukan anak TK lagi yang harus diantar kemana-mana. Sepanjang blok selalu polisi ada yang berjaga-jaga. Walaupun kejahatan jarang sekali terjadi tapi ku lihat polisi tidak terllihat bermalas-malasan. Dengan kendaraan Hi-Top mereka berpatroli sendirian, tentu saja karena Hi-Top kendaraan untuk satu penumpang. Seorang polisi menghampiriku.

“Sekolahmu dimana nak.?

“Sekolah Keangkasaan Orlanida, Pak.”

“Ayo aku antar sampai bus shelter.”

“Terima kasih Pak.”

Aku memperhatikan seragam yang dipakai Pak Polisi, berwarna hitam dengan lencana perak ada di saku dada sebelah kiri. Ada banyak sekali atribut yang dipakai Pak Polisi, aku tak tahu persis apa saja yang menempel di seragamnya. Tapi yang paling aku tahu adalah Laser Gun yang dipajang di pinggang kanan, keren.

Aku jadi ingat foto yang diperlihatkan kakek tentang kendaraan zaman dahulu yang masih menggunakan bahan bakar fosil, masih menggunakan ban dan mengeluarkan asap tebal, walaupun kakek belum pernah melihat kendaraan itu secara langsung tapi ceritanya begitu meyakinkan. Katanya kendaraan itu masih ada di museum nasional, entahlah. Bus yang kutumpangi tak ada yang namanya ban, apalagi berasap.

“Dre!”

Suara anak perempuan berteriak di kursi belakang. Aku menoleh ke arah kiri dengan pandangan terhalang lengan anak-anak yang lain. Terlihat anak perempuan melambaikan tangannya. Ternyata Lexa, seketika kubalas lambaian tangannya. Apa kamu sudah sarapan uranium? tentu saja pertanyaan itu hanya dipikiranku saja ha ha ha. Sudah hampi 30 menit, bus tiba-tiba berhenti, Pak supir membunyikan klakson yang suaranya seperti suara gajah.

“Sudah sampai anak-anak.”

Suara Pak supir setengah berteriak. Suara anak-anak berlari mulai terdengar dari belakang. Belum selesai untuk berdiri tiba-tiba Lexa ada di depanku.

“Hai Dre, ternyata kita naik bus yang sama. Kenapa kamu tak bilang, kan kalau kamu bilang aku nunggu kamu di kursi depan.”

“Iya deh aku bilang sekarang.”

“Telat Dre!”

“Tadi aku lihat kamu naik di shelter Yosumi Dre, rumahmu dekat situ?”

“Hmm..dekat sih, tapi agak jauh juga.”

“Jadi yang benar yang mana?”

“Kalau rumahmu dimana, Lex?”

“Aku tak punya rumah.”

“Terus kamu tinggal di rumah siapa?”

“Tinggal di rumahnya mama papa.”  

Kami saling bergurau menjawab pertanyaan masing-masing. Aku tertawa dan dia juga tertawa sambil berlari masuk ke kelas.

Kali ini Pak Guru hologram bukan lagi Pak Guru hologram karena kali ini yang datang adalah Pak Guru hologram yang asli, atau Pak Roger langsung. Karena Pak Guru hologram ingin tahu nama-nama muridnya jadi kami memperkenalkan diri satu persatu ke depan kelas, Pak Guru hologram hanya mengomentari sambil sesekali bertanya tentang kami. Dari cara bicaranya sepertinya Pak Guru hologram orang yang menyenangkan menurutku.Tibalah giliran Lexa memperkenalkan diri, aku senyum saat ia berdiri di depan kelas, tak tahu kenapa padahal tak ada yang lucu.

“Hai semua, namaku Sani Alexandra, umurku 5 tahun. Panggilanku Lexa. Banyak sekali yang aku sukai, membaca, mendongeng, bercerita, termasuk berteman dengan Dre juga aku suka. Orangnya pendiam tapi menyenangkan, harus aku yang selalu cerita duluan. Matanya coklat hidungnya lancip. Oh iya, aku akan jadi juara kelas.

Doakan ya.”

Jelas kan? Sudah pasti dia sarapan uranium. Semua melihat ke arahku karena Lexa menunjuk ke mukaku tadi. Dan kulihat ada yang saling berbisik satu sama lain sambil memandang ke arahku. Ini gara-gara Lexa yang sarapan uranium.

Perkenalan selesai, kami belajar untuk pertama kali. Pak Guru hologram mengetik sesuatu dari keyboard yang langsung muncul di layar plasma kelas, menjelaskan pengetahuan yang dia tahu dari alam semesta atau mungkin dari sekolahnya dahulu. Anak-anak Orlanida sudah bisa membaca dan menulis sejak umur 4 tahun tentunya, jadi kami tidak kesulitan dengan materi yang dijelaskan Pak Guru hologram. Saat asyik menjelaskan tiba-tiba Lexa mengangkat tangan memotong pembicaraan Pak Guru hologram.

“Ya, Lexa.”

“Pak, pohon yang tersisa di dunia ada dimana?”

“Hmm..bagus sekali pertanyaanmu, menurut Badan Pemerhati Lingkungan pohon terakhir ada di hutan satu-satunya di dunia, di pulau Antaloblas. Dan bukan lagi menurut Badan Pemerhati Lingkungan karena saya pernah kesana sekali, melihat langsung. Dan memang disanalah tempat satu-satunya pohon tumbuh di sekitar lahan yang luasnya 1000 are. Disana dijaga ketat, tidak sembarang orang bisa masuk kesana karena disana dianggap tempat yang paling suci di dunia.

“Apa saja pohon yang ada di sana Pak?”

“Hampir sekitar 150 lebih spesies tumbuhan ada di sana, termasuk pohon Antaloblas. Pulau Antaloblas diambil dari nama tumbuhan itu, karena di sana asal dari pohon Antaloblas. Oke, karena kalian terlihat antusias saya akan mengirim file sejarah Antaloblas ke bookplate kalian. Ayo nyalakan bookplate kalian dan aktifkan bluetooth nya.”

Aku mengambil bookplate lalu menyalakan bluetooth sesuai perintah Pak Guru hologram dan menerima file yang langsung masuk ke ruang penerimaan book plate. Syukurlah aku tak harus menulis, karena tulisanku buruk sekali. Kata Ibu tulisanku tak terlalu jelek, cuma agak sulit untuk dibaca. Ah, Ibu cuma menyenangkan hatiku saja, mungkin kalau Lexa nanti sampai melihat tulisanku mungkin akan keluar sesuatu yang tak terduga dari mulutnya. Kita lihat saja nanti. Sedang asyik mengobrol dengan pikiranku tentang Lexa tiba-tiba orangnya menarik bahu bajuku dari belakang.

“Dre, lihat ini keren sekali, suatu hari aku harus ke sana untuk melihat sendiri semua tumbuhan ini. Kamu mau ikut?”

“Naik scooter?”

“Dreee mana bisa kesana naik scooter, kan jauh.”

Aku mulai terbiasa untuk mengajaknya bercanda, Lexa anaknya mudah tertawa tapi juga mudah cemberut, menurutku ia anak baik.

Sekolah selesai pukul 12.00  perutku mulai keroncongan dan aku mulai gesit mencari tempat duduk untuk melahap roti yang dibawakan Ibu dari rumah. Tapi, aku merasa ada seseorang di belakang yang membuntutiku. Dan memang benar, Lexa dengan wajah polosnya senyum saat aku menengok ke belakang. Lalu ia mulai berjalan sejajar denganku masih sambil tersenyum.

“Ayo kita jalan pulang bareng, Dre.”

“Aku lapar, Ibuku membawakan roti dari rumah. Untukmu satu kalau mau, ada dua  kok.”

“Serius Dre?”

“Ayo kita cari tempat duduk, oh iya kabari dulu orang tuamu Lex, kamu bawa holophone kan?”

“Bawa kok.”

Lalu kami duduk di taman sekolah, monumen sekolah terlihat dari sini. Aku jadi teringat mimpiku tadi malam, tapi tak kuceritakan pada Lexa karena takut ia terganggu dengan tahu urusan orang. Tapi mungkin juga aku salah, biarlah. Ku buka tas berisi roti hidangan mewah siang ini, kuberikan satu pada Lexa.

“Terima kasih, Dre rotinya enak sekali. Dre, kapan-kapan aku boleh main ke rumahmu?”

“Bolehlah, nanti ku kenalkan pada Ibuku kalau di sekolah ada anak yang sangat percaya diri akan jadi juara kelas.”

“Siapa? Aku?”

“Siapa lagi, padahal anak itu belum tahu akan punya pesaing yang hebat di kelas.”

“Pesaingku? Siapa itu Dre? Kamu tahu? Siapa?”

“Namanya, Dreo Olivion.”

“Haaah? Ha ha ha, baiklah Dreo Olivion kita lihat nanti siapa yang akan jadi juara kelas.”

“Baik, kalau rotimu sudah habis ayo kita lekas pulang.”

Akhirnya kubayar janjiku untuk berani membicarakan aku lah pesaingnya. Setelah puas tertasa kami pulang dengan bus umum karena bus sekolah sudah dari lama pergi mengantar murid-murid yang lain. Anak sekolah tidak wajib membayar saat naik bus umum jadi kami tak perlu cemas kalau tak punya uang ha ha ha. Lexa mengajakku untuk duduk di kursi paling belakang, ternyata tempat favoritnya duduk di belakang. Pantas saja tadi pagi ia ada di belakang.

“Kenapa harus di belakang, Lex?”

“Supaya bisa melihat pemandangan dari belakang Dre, melihat wajah orang-orang yang naik bus ini.”

“Kebiasaanmu aneh juga Lex, aku duduk dimana saja yang penting kosong.”

“Kamu harus membiasakan kalau berteman denganku Dre, ah kamu. Kalau di depan cuma melihat punggung pak supir.”

“Iya, iya.”

Dasar perempuan tak mau kalah, sepanjang jalan Lexa tak berhenti mengoceh bercerita ini itu, tapi akhirnya akupun ikut mengoceh karena berusaha mengimbangi cerita Lexa. Ia bercerita semasa di Taman Kanak-Kanak, temannya yang ini dan temannya yang itu. Semua dijabarkan dengan cermat dan detil. Sampai akhirnya mungkin ia lelah mengoceh dan melihat keluar jendela bus, aku lihat ia memerhatikan pipa-pipa oksigen di seberang jalan yang 24 jam tak pernah berhenti beroperasi. Seluruh kota sampai ke setiap sudut harus ada pipa penyuplai oksigen karena kandungan oksigen di udara sudah hampir tak ada. Kadang aku lihat polisi patroli yang mengecek kerja pipa oksigen tersebut, mungkin untuk memastikan masih berfungsi atau tidak.

Akhirnya bus sampai di shelter Yosumi, Lexa melirik ke arahku. Aku pamit padanya untuk turun lebih dulu kemudian melambaikan tangan perpisahan padanya.

“Sampai bertemu besok Dre, hati-hati.”

“Kamu juga hati-hati Lex, dah.”

Lexa temanku satu-satunya di sekolah untuk saat ini, temanku dirumah juga tak banyak masih dapat dihitung jari. Karena tak banyak juga anak-anak di sekitar rumahku untuk diajak bermain. Aku hanya diijinkan bermain game virtual satu kali seminggu, hanya hari Sabtu saat libur sekolah. Tapi aku tetap tak ketinggalan saat temanku bercerita tentang game, masih bisa mengimbangi mereka.

Langit masih berwarna kuning saat aku tiba dirumah, tandanya aku belum terlambat untuk makan malam. Tugasku dirumah adalah menyediakan bahan untuk makan malam dan nanti saat Ibu pulang Ibu yang akan memasak. Tapi kadang aku hanya makan makanan kaleng yang ada di kulkas saat Ibu tak bisa untuk memasak.

Sore itu acara TV menyiarkan bukan acara favorit anak-anak, akhir-akhir ini mereka hanya menyiarkan kabar-kabar burung tentang runtuhnya langit. Sudah hampir seminggu berita-berita tentang langit akan runtuh dipertontonkan di TV, tapi aku tak mengerti apa penjelasan mereka. Ibuku bilang pemerintah menutupi sesuatu dari rakyat, tapi aku masih tak percaya bagaimana langit bisa runtuh. Aku sering mendongak ke atas langit mempertanyakan itu secara langsung, langit apakah kamu bisa runtuh? Hanya imajinasikku saja mungkin. Suara telepon dari ruang tengah berdering sampai ke telingaku, aku turun untuk mengangkatnya.

“Halo, dengan Dreo disini.”

“Halo Dre, ini aku Lexa.”

“Oh kamu Lex, ada apa?”

“Aku lupa untuk mengajakmu besok ke sekolah satu kursi di bus denganku.”

“Oke Lex, aku datang seperti kemarin. Oke?”

“Oke, Dre. Bye.”

“Telepon dari siapa, Dre?”

“Dari teman sekolah, Bu”.

“Syukurlah kamu sudah punya teman di sekolah, bahan makan malam sudah siap kan Dre? Baiklah Ibu memasak dulu ya, kamu jangan dulu tertidur sebelum makan malam”.


Jumat, 28 Februari 2225

“Dre, besok aku jadi ya main kerumahmu, boleh kan?”

“Tentu saja, Lex. Nanti kujemput di shelter Yosumi.”

Itu percakapan aku dengan Lexa kemarin sebelum turun dari bus sekolah saat pulang ke rumah. Tiap hari aku dengan Lexa pergi dan pulang sekolah bersama dan hari ini Sabtu, sekolah libur. Dan, hari ini Lexa untuk pertama kalinya berkunjung ke rumahku. Dia akan mengabari jika sudah sampai shelter Yosumi lewat holophone. Tidak tahu kenapa aku sangat bersemangat. Lexa akhirnya mengabari.

“Dre, aku sudah sampai.”

“Oke, tunggu aku ya.”

“Bu, aku ke depan sebentar ya.”

Sambil kutenteng flying board aku melewati pintu untuk keluar rumah, setelah sampai di jalan kunaiki flying board ku sampai ke shelter Yosumi tempat Lexa menunggu. Kira-kira 5 menit aku sampai dengan mengebut, sekali-kali kadang aku menaiki flying board sambil mengebut. Karena sudah terlalu sering terjatuh aku jadi tak takut lagi jatuh dari flying board.

“Hai, Lex.”

“Hai Dre, kamu naik flying board? oh aku tahu, luka di lututmu pasti karena jatuh dari flying board.”

“Hmm..hampir semua. Berapa lama dari rumahmu ke sini Lex?”

“Dekat kok, sekitar 10 menit Dre.”

Kami mengobrol sampai ke depan rumah. Lexa bercerita di jalan dia melihat para demonstran yang tak tahu menyuarakan apa, tapi ia baca tulisan “Save Our Planet”. Banyak polisi berjaga-jaga, Lexa terkena macet tapi tak terlalu lama.

“Bu, ini Lexa teman sekolahku.”

“Aku Sani Alexandra, Bu. Teman sekolah Dreo.”

“Oh hai, Sani Alexandra nama yang bagus. Kalian berteman baik-baik ya, jangan banyak bertengkar.”

“Ayo aku tunjukkan sesuatu.”

Aku membawanya menuju garasi, dengan sedikit aku bangga memperlihatkan hasil percobaanku pada Lexa. Aku memperlihatkan teleskop dengan titik koordinat saat diteropong, buatanku sendiri. Aku biasa menggunakannya saat langit malam sedang cerah dan berbintang. Pernah sekali aku melihat bintang jatuh, belakangan aku tahu itu bukan bintang yang jatuh, tapi benda langit yang terseret gravitasi Planetku Lyuon dan terbakar di atmosfernya. Aku ceritakan semua itu pada Lexa, ia jadi pendiam sekarang di rumahku. Mungkin terpukau denganku. Tapi seketika cerewet lagi saat aku membahas bahwa bintang jatuh yang pernah kulihat kemungkinan komet Halley. Ia membantah habis-habisan.

“Dre, mana mungkin itu komet Halley, komet Halley terlihat 76 tahun sekali. Terakhir terlihat tahun 2205, kamu jangan mengada-ada Dre. Mungkin yang kamu lihat cuma bintang jatuh biasa.”

Sambil tetap meneropong ia membantah sekuat tenaga dan ia tidak sarapan uranium lagi tapi bom atom.

“Dre, boleh aku sering kesini? Aku ingin meneropong bintang dengan teropongmu.”

“Dre, boleh tidak?”

“Boleh apa, Lex?”

“Boleh sering kesini, kerumahmu!”

Aku mengangguk untuk menjawab permintaan darinya, walaupun cerewet tapi aku senang bisa berteman dengannya.

 

2 tahun kemudian

Kamis, 14 Juni 2227

“Mana janjimu, Dre? Kau janji akan membuatkanku teleskop seperti punyamu kalau aku mengalahkanmu jadi juara kelas lagi!”

“Oke oke, dasar cerewet. Aku ingat kok Lex, sudah siap di rumahku.”

“Benarkah? Yeaaaaay akhirnya aku punya teleskop made by Dreo Olivion!”

“Tapi ada syaratnya, Lex.”

“Syarat apa lagi, aku sudah jadi juara kelas lagi menurunkanmu dari tahta tahun lalu.”

“Kau harus ambil sendiri ke rumahku.”

“Gampang sih itu, aku ambil pulang sekolah.”

Lexa mengalahkanku tahun ini, ditingkat ketiga berarti sudah dua kali ia jadi juara kelas dan aku sekali tahun lalu. Kami jadi pesaing abadi di kelas, tapi sama sekali  tidak merusak persahabatan kami berdua. Bahkan kami sahabat terdekat dibandingkan teman-teman yang lain, sampai kami punya julukan Hercules dan Xena The Warrior Princess.

Aku dan Lexa pulang bersama menuju ke rumahku untuk menyerahkan hadiah yang sudah kujanjikan untuk Lexa, teleskop yang sama persis dengan punyaku. Ia girang sekali saat melihat teleskop miliknya sudah kubungkus dengan kado warna pink, warna favoritnya. Aneh, kenapa semua perempuan suka warna pink.

“Terima kasih Dreo Olivion a.k.a Hercules yang kalah oleh Xena The Warrior Princess.”

“Tenang saja, Lex. Tahun depan kamu yang harus membuatkan hadiah untukku, siap-siap saja.”

“Kita lihat saja nanti, Dre.”

“Ayo kita makan, aku lapar. Kita masak puff noodle saja.”

“Siapa takut.”

Kami makan siang bersama di rumah, Lexa bukan anak yang rewel soal urusan makan. Tapi sedikit pemerhati dengan bahan makanan dengan pengawet berlebihan atau penyedap rasa buatan. Dia selalu cerewet kalau berlebihan nanti akan menumpuk di tubuhmu dan datanglah penyakit-penyakit aneh yang tak diundang. Cerewet sekali, Lexa akan selalu jadi Lexa.


Bersambung Chapter II 

0 Comments