![]() |
cerpen blog |
Hampir separuh umurnya ia habiskan di rumah, hanya diam di rumah. Semua pendidikan yang harusnya ia jalani di sekolah tak pernah ia rasakan. Dalam kasusnya ini guru lah yang datang ke rumahnya. Kini usianya delapan belas tahun, sudah waktunya untuk mendapat gelar remaja walaupun kondisi fisiknya tak seperti remaja. Di siang hari yang sedang panas ini, pikirannya sedang meracau tak keruan. Ia memikirkan hidupnya yang menyedihkan. Menurutnya selama ini ia hanya hidup dari belas kasihan pemerintah yang tak seberapa itu. Ia hidup di sebuah panti yang dikelola pemerintah. Lalu sepintas entah dari mana ibunya membayangi pikirannya. "Bu, aku udah besar sekarang. Tapi kenapa masih gak boleh main di luar? Kenapa aku gak bisa seperti anak yang lain?" ia bertanya pada kehampaan. Dalam sedetik tangannya memukul kepalanya sendiri. Bone tak sadar dan tak bisa mengendalikan emosinya. Ia hantam kepalanya beberapa kali dengan sangat kuat dialiri darah yang sedang mendidih itu. Terkadang ia mencakar tangannya sendiri sampai terluka dan ia sesali perbuatannya itu setelah tahu perih yang ia rasakan.
Di kursi roda yang tak pernah diganti hampir selama sebelas tahun Bone menatap dirinya sendiri dalam cermin. "Ngapain kamu hidup? Hidup cuma nyusahin orang!" teriaknya pada cermin. Seolah cermin itu bisa menjawab pada apa yang sedang ia keluhkan. Pikirannya sudah pada puncak kekalutannya, berteriak pun orang tak peduli. Di tangan kirinya ia genggam belasan obat yang ia punya dengan berbagai rupa dan dosisnya bermacam-macam yang jika digabung akan sangat keras efeknya pada tubuh. Ia berpikir untuk menelan obat tersebut secara bersamaan dengan tujuan untuk membuat tubuhnya mati selamanya. Ia tatap obat-obat penuh warna yang ada di tangan coklatnya itu. Sedikit gemetar jelas terlihat, tremor karena ketakutan hebat. Dadanya sesak, suhu tubuhnya memanas karena darah mengalir kuat. Tanpa perlu aba-aba baginya ia menelan semua obat itu walaupun ada yang berhasil keluar dari mulutnya karena kerongkongannya tak mampu menelan semuanya. Ia kira dengan menelan obat itu ia akan mati dengan bijaksana dan damai namun ia salah. Itu hanya menambah penderitaannya. Tubuhnya kesakitan lama sekali sebelum akhirnya ia pingsan.
"Ibu...", suaranya pelan dan lirih. "Kamu anak yang kuat. Tuhan menitipkan kamu ke ibu. Jangan membuat ibu dimarahi Tuhan, ya". Saat berhasil membuka matanya ia hanya melihat cahaya putih. "Apa aku mati?", tanyanya entah pada siapa. Ternyata ia ada di ruangan rumah sakit. Ia tak jadi mati dengan bijaksana. Penjaga panti berhasil membawanya ke rumah sakit tepat di waktu terakhirnya saat kritis. Kini masa kritis itu sudah lewat, dua minggu ia habiskan berbaring dalam kondisi koma di rumah sakit itu. Tiba-tiba ia ingat ibunya yang tadi mengunjunginya di mimpi. Kemudian membuatnya menangis sejadi-jadinya. Tangisan itu tulus dibuat oleh perasaan seorang anak manusia yang menderita hidup di dunia. Tangisan itu berhasil membuat perawat rumah sakit memperhatikannya dan mencoba menenangkannya.
Satu bulan waktu yang dibutuhkan tubuhnya untuk memulihkan diri di rumah sakit dan kini ia dibawa kembali ke panti. Ia dipindahkan ke kamar yang lain untuk menghilangkan trauma dan menghilangkan ingatan soal bunuh diri di kamar sebelumnya. Di kamar yang baru kini ada televisi. Yang ada di hati dan pikirannya hanya kekosongan. Dalam ketidaktahuannya itu ia mencoba menghibur dirinya lewat televisi. Di stasiun televisi yang pertama ia lihat adalah acara dokumenter dari seorang cacat yang berhasil keluar dari penderitaan hidupnya dengan menjadi motivator. Motivator itu tak punya tangan dan kaki tapi ia bisa hidup dengan normal bahkan mempunyai istri. Dikisahkan motivator itu pun pernah beberapa kali mencoba bunuh diri tapi selalu hidup lagi. "Saya selalu hidup lagi. Entah kenapa Tuhan enggak ngijinin saya mati dulu. Ha ha ha. Dan saya mendapat pencerahan bahwa bunuh diri adalah perbuatan pengecut. Saya bilang pada diri saya sendiri bahwa saya bukan pengecut. Jika ini adalah perang saya sekarang ada di barisan depan". Kata-kata dari motivator itu berhasil membuat Bone bersemangat. Ia ingat lekat-lekat kata-katanya itu. Hatinya yang semula lesu kini membara dengan kobaran semangat yang menjulang. "Ya, aku setuju. Aku bukan pengecut", suaranya tegas.
0 Comments