![]() |
Cerpen Blog |
CERPEN BLOG. Albasri mengatupkan mulutnya setelah puas menguap. Rasa kantuk sudah menghampiri matanya yang sedari tadi aktif memberi informasi visual pada otaknya. Ia tidak sendirian, rupanya ditemani oleh seorang kawan dari perantauan yang pulang mudik ke kampung halaman. Matanya menjadi sipit karena disilaukan oleh lampu kendaraan. Tak ayal karena mereka sedang berada di warung kopi pinggir jalan. Masih menikmati malam yang semakin larut dengan hawa yang semakin mendingin. Bising suara klakson dan lebih bising lagi mereka dapati dari suara knalpot sesekali mengganggu percakapan mereka berdua.
"Basri, sudahlah tak usah kau bawa-bawa ayat-ayatmu yang kau hanya hapal itu. Toh kau tak pernah mengamalkannya kan?", celoteh Alhadid pada Albasri. Albasri hanya tertawa untuk menimpali perkataan sahabatnya tersebut. Pandangannya menunduk dengan senyum yang masih tersisa sembari mengangkat gelas kopi yang sudah tinggal ampasnya lalu ia seruput sisa-sisanya itu. "Gini loh, Did. Agama itu bukan permainan pikiran. Agama itu bukan permainan antar kitab suci. Agama itu ya a dan gama yang artinya tidak salah. Tak ada yang salah dengan agama", sanggah Albasri. "Iya, aku paham. aku juga beragama dari sejak kecil. Tapi gini loh, kalau kau tak menjalankan apa itu agama ya tak usahlah mengaku umat agama tertentu. Malah kau jadi mencoreng nama baik agamamu toh", timpal Alhadid lagi. Percakapan ini memang terasa seperti debat antar pemeluk agama yang penuh ketegangan dan emosi. Namun mereka bukan orang seperti itu. Obrolan mereka memang selalu dengan topik yang dalam tapi tak pernah dibawa perasaan.
Baca Juga : A Cup of Black and A Spoon of Bitterness
Kali ini suara truk yang membisingi mereka dengan tambahan getaran yang dihasilkan dari beban truk yang melindas jalanan sampai terasa tempat duduk mereka bergetar. Albasri dan Alhadid menghirup kopi di tangannya yang masih sedikit panas, itu adalah gelas mereka yang kedua. "Basri, apa yang kamu lihat itulah kenyataannya", tutur Alhadid dengan lugas. "Jadi menurutmu, agama itu hanya dongeng karena menyajikan cerita-cerita yang tak pernah kita lihat?", jawab Albasri. "Ya, jika anggapanmu seperti itu", sahut Alhadid tenang. Albasri sempat ragu harus melanjutkan perkataannya lalu mengatupkan mulutnya kembali. Tapi air mukanya santai, ada sesuatu di pikirannya yang akan lebih menenangkannya. Sejurus kemudian Albasri melontarkan pertanyaan pada Alhadid. "Sekarang gantian aku yang nanya. Menurutmu agama itu apa?". "Ya agama itu apa yang ada dalam jiwamu sekarang, apa yang kau lakukan sekarang. Jika kamu jadi orang baik ya itu agama. Berarti agamamu baik", jawab Alhadid. "Jadi hanya cukup jadi orang baik?", tanya Albasri lagi. "Ya, karena dengan kebaikan dunia ini hidup. Tak peduli itu perbedaan, tak peduli itu kenegaraan", jawab Alhadid dengan yakin.
Kini tak ada kendaraan yang melintas. Rupanya malam memang sudah semakin larut. Semilir angin berhembus, bawa dendangkan selalu, mengapa anak jalanan selalu hidup di jalan. Kalimat itu adalah lirik lagu yang selalu dinyayikan pengamen kecil di lampu merah yang tiba-tiba teringat oleh Albasri. "Bukankah kau sudah lihat banyak kejanggalan, Basri?" tanya Alhadid. "Dunia bukan semakin damai malah semakin banyak perang", lanjutnya lagi. Basri masih santai dengan kopi di tangannya. Ia merasakan sensasi hangat yang sedang ia nikmati. Lalu ia taruh gelas itu setelah berhasil meneguk kopinya satu tegukan. "Itu bukan salah agama, itu salah oknum orang yang beragama. Kenapa tidak bisa menjaga perdamaian", jawab Albasri. "Bagiku, agama adalah apa yang Tuhan perintahkan kepadaku. Itulah ibadahku, jadi bukan hanya tentang menjadi baik", tangkas Albasri. "Jika menurut sebagian orang agama adalah candu, maka aku akan senang hati mabuk dalam candunya. Jika menurut sebagian orang agama adalah dongeng, maka aku akan senang hati terlelap dalam kisahnya", pungkas Albasri.
Mendengar perkataan itu Alhadid hanya bisa menerima apa yang menjadi keyakinan sahabatnya tersebut. Begitupun dengan Albasri, ia hanya bisa mendoakan apa yang menjadi jalan pikiran sahabatnya itu. Jika jalan menuju Tuhan adalah dunia, maka hendaklah dunia menjadi saksi hidupnya masing-masing.
0 Comments