![]() |
cerpen blog |
CERPEN BLOG : "Zaki, hari Senin nanti kamu yang akan membawa papan ini ya, nanti kamu akan memimpin barisan pembawa kontingen untuk Gugus 10", seru Pak Udin sambil menunjuk apan yang dibawanya. Dan sekerang haru Senin, aku gmebira sekali. Tahu kenapa? hari ini sekolahku akan menjadi tuan ruamh untuk kegiatan Porseni tahun ini. Semua sekolah akan berkumpul di sekolahku untuk mengikuti upacacara pembukaan. Aku akan menjadi pembawa papan kontingen untuk barisan Gugus 10. Gugus 10 itu adalah kumpulan beberapa sekolah dasar yang bersatu dalam satu barisan. Dari Gugus 1 sampai 10 ternyata aku yang dipilih oleh Pak Udin untuk membawa papan nama Gugus 10. Aku nanti akan berdiri di depan barisan.
Sekarang masih pukul 06.30 pagi, tapi semua sekolah sudah bersiap-siap menyusun barisannya masing-masing. Semua berkumpul di lapangan depan sekolahku, lapangannya cukup luas soalnya ini adalah lapangan untuk sepak bola. “Zaki, kamu berdiri di sini ya, nanti sekolah dari Gugus X akan menyiapkan barisan di belakangmu”, Pak Udin cukup teliti memberitahuku untuk berdiri dimana. Aku gugup sekali soalnya ini pertama kalinya jadi pemimpin rombongan sekolah, tapi suasananya ramai sekali jadi rasa gugupku bisa hilang, aku jadi senang ada dalam kegiatan ini soalnya aku jadi tahu ternyata sekolahku jadi pemimpin untuk banyak sekolah. Bismillah, semoga aku tidak membuat kesalahan.
Aku memerhatikan balon gas yang
diikat sangat banyak dengan spanduk bertuliskan Porseni tahun 2010, oh mungkin
nanti balon ini akan dilepas sebagai tanda pembukaan Porseni pikirku. Aku jadi
memerhatikan barisan pembawa kontingen Gugus, aku tak tahu siapa yang membawa
kontingen untuk Gugus I sampai V karena barisan itu terpisah di kanan lapangan.
Barisanku berseberangan dengan balos gas yang telah disiapkan. Tapi untuk
pembawa kontingen Gugus IX aku tahu, Bagas. Dan pembawa kontingen Gugus VIII
adalah Cahya. Aku tertawa saja melihat mereka berdua, karena kami berdiri
sendirian di depan barisan. Lalu murid-murid dari sekolah lain mulai memasuki
barisanku dengan dibimbing oleh gurunya masing-masing. Tahu-tahu rasa gugupku
datang lagi melihat ada banyak murid-murid dari sekolah lain memerhatikanku
dari belakang. “Kamu kelas berapa?”, ada satu orang murid yang bertanya padaku.
“Oh, aku kelas lima”, jawabku.
Upacaranya jadi tambah meriah dengan
drum band dari sekolah Darul Uluum. Aku jadi terbawa gembira melihat mereka
mahir memainkan alat musik. Sekolah mereka keren sekali, pikirku. Seragam
sekolah mereka berbeda dengan seragam yang dipakai murid-murid yang lain,
seragam mereka putih hijau dengan celana panjang. Seragamku putih merah dengan
celana pendek. Upacara pembukaan Porseni pun dimulai dan diakhiri dengan
pelepasan balon yang sejak tadi balonnya berkurang satu persatu, mungkin
ikatannya kurang kuat. Aku jadi berpikir semua balon ini akan sampai kemana
ya? Apa akan sampai ke langit? Sambil melihat balonnya terus terbang tinggi
aku berpikir seperti itu.
Setelah itu upacara dibubarkan oleh
pemimpin upacara, akhirnya semua membubarkan diri dari barisan. Alhamdulillah
acaranya lancar walaupun tadi aku sedikit kepanasan dan harus berdiri tegak
karena aku ada di depan, pemimpin barisan harus selalu sikap sempurna kan.
Akupun kembali ke sekolah dan masuk ke kelas. Aku tak sengaja dengar sesuatu
yang tak enak, ada temanku yang membicarakanku sewaktu jadi pembawa papan tadi.
“Masa si marmut sih yang jadi pemimpin barisan, harusnya jangan dia, gak
pantas”. Aku diam mendengar celotehan temanku itu, memang apa salahnya kalau
aku yang jadi pemimpin barisan? Ah, biarkan saja, temanku yang satu itu memang
selalu mengejek orang lain. Aku selalu ingat pesan ibu, jangan membalas
kejelakan orang lain dengan kejelekan lagi. Jika kita membalasnya dengan
kejelekan lagi kita akan sama jeleknya. Biar Allah S.W.T saja yang membalas
semua keburukan orang lain.
Sebelum pulang sekolah aku biasa
sholat dzuhur dulu di mesjid Al-Huda depan lapangan yang tadi pagi dipakai
upacara. Jadi lapangan itu ada diantara sekolahku dan mesjid Al-Huda, kalau
sekolah pagi aku sholat Dzuhur disana. Tapi kalau sekolah siang aku Dzuhur di
rumah baru sholat Ashar di mesjid Al-Huda. Aku jadi ingat pernah terpeleset di
tempat wudhu di mesjid itu. Waktu itu sekolah siang, kalau sekolah siang aku
selalu membawa sarung sendiri dari rumah dan kalau waktu sholat Ashar tiba aku
dan teman yang lain selalu ikut Pak Heri sholat Ashar di sana, Pak Heri adalah
guru baruku di kelas lima. Jadi waktu itu aku menuju tempat untuk wudhu sambil
berlari. Aku tak tahu kalau lantainya licin jadi aku tenang saja sambil
berlari, eh ternyata aku jatuh terpeleset dan ditertawakan teman perempuan satu
kelas yang ikut sholat Ashar juga. Sambil malu aku bangun dan langsung
mengambil wudhu. Sejak dari itu aku selalu hati-hati kalau mau ambil wudhu, tak
mau sembarangan lagi sambil berlari.
Setelah sholat Dzuhur aku langsung pulang ke rumah
dengan sepeda. Aku pergi ke sekolah selalu memakai sepeda, sampai di sekolah
aku simpan sepedaku di belakang kantin dititipkan di tempat Mang Iin, penjaga
sekolah. Jarak dari sekolah ke rumah sangat dekat jadi kalau naik sepeda pasti
cepat sampai. Setelah sampai di rumah aku ceritakan pengalamanku jadi pembawa
kontingen pada ibu. Ibuku senang sekali mendengar aku menjadi pembawa kontingen.
Aku sering ikut berpartisipasi dalam acara sekolah, tiga bulan lalu aku
mewakili sekolahku untuk mengikuti kampanye sampah. Acaranya diadakan di balai
kota, itu pertama kalinya aku masuk ke balai kota, kantor untuk Walikota.
Pengalaman yang tak terlupakan karena semua wakil dari sekolah dasar hadir di
tempat itu, juga pengetahuan yang dibagikan sangat bermanfaat, aku jadi tahu
manfaat sampah organik. Tapi sayang, warga belum menyadari pentingnya membuang
sampah secara terpisah, organik dan anorganik. Justru malah membuang sampah
sembarangan padahal dalam Islam kebersihan itu sangat diutamakan. Kan Allah
S.W.T sangat suka dengan kebersihan. Kita saja kalau sholat, sebelum kita ambil
wudhu sholat kita tidak akan diterima. Itu menunjukkan bahwa kebersihan sangat
diutamakan dalam Islam. Ya kan.
Ada lagi acara yang pernah ku ikuti untuk mewakili
sekolahku, yaitu pencak silat. Kegiatan ini diadakan di lapangan Pajajaran,
lapangan nya sangat luas tapi walaupun sangat luas lapangan nya tetap penuh
oleh murid-murid sekolah dasar yang akan mengikuti kegiatan pencak silat ini.
Ada kejadian lucu untuk pencak silat ini, aku dan rombongan sekolah naik mobil
yang di sewa oleh Kepala Sekolah. Di perjalanan supir yang membawa kami semua
tak tahu arah jalan menuju lapangan tempat tujuan kami. Ternyata tempatnya
sudah terlewat, tapi untungnya kami semua sampai walau agak telat.
Ibu selalu bilang, menuntut ilmu sejak kecil bagai
mengukir di atas batu tapi jika menuntut ilmu saat tua bagai mengukir di atas
air. Bukan hanya ibu, semua guru di sekolah pun selalu bilang begitu. Aku
selalu membayangkan menulis di atas air, pasti mustahil karena air akan selalu
kembali seperti semula tak akan ada bekasnya. Karena ibu selalu berkata seperti
itu jadi ibu selalu menyuruhku untuk menghapal Al-Quran. Hapalan Quran ku akan
disetorkan pada ibu sehabis pulang sekolah, kadang bacaanku ada yang salah jadi
ibu harus memeriksa bacaanku. “Zaki, sebagai anak laki-laki hapalan Quran mu
harus bagus soalnya suatu hari nanti kamu akan menjadi imam sholat. Bukan hanya
itu menghapal Quran adalah ibadah buat kita”, ibu berkata seperti itu.
Kali ini ibu mencoba hapalan surat Al-Humazah ku,
kalau tidak hapal aku tak diperbolehkan main dulu oleh ibu. Terdengar suara
Irsyad sudah memanggilku di luar rumahku. Sepertinya Irsyad akan mengajakku
untuk ikut main bola siang ini di lapangan kecil dekat rumahku, biasanya
seperti itu. “Bu, aku suruh Irsyad menunggu dulu sebentar ya”, aku meminta ijin
pada ibu untuk keluar sebentar menemui Irsyad. “Syad, tunggu sebentar ya, ayo
masuk dulu”, kuteriakan saja agar dia mau menunggu sebentar di teras rumahku.
Lalu aku kembali pada ibu untuk menguji hapalan suratku. Aku konsentrasi dulu
untuk hapalanku walaupun Irsyad sudah menunggu di teras, konsentrasiku tak
boleh terpecah untuk main bola. Walaupun aku sudah ingin bermain bola sih.
Karena aku sudah yakin dengan hapalanku maka aku lulus dengan nilai bacaan
ngebut, kata ibu seperti itu. “Kamu pasti sudah tak sabar ingin main dengan
Irsyad jadi bacaannya ngebut seperti itu, nanti ulangi lagi dengan makhroj yang
benar ya”, aku tersenyum saja mendengar perkataan ibu. “Siap bu, Zaki sudah
boleh main?”, tanyaku. “Iya sudah, nanti pulang sebelum Ashar ya”. Lalu aku
pamit pada ibu untuk main keluar.
Irsyad adalah temanku di rumah, kami tak satu
sekolah jadi kami hanya bertemu di rumah saja tapi kami satu madrasah di mesjid
Babussalam. Biasanya Irsyad yang selalu mengajakku main, seperti tadi karena
dia pulang sekolah pasti langsung keluar rumah untuk main. “Syad, kemarin kamu
kemana kok gak ada di madrasah?”, aku penasaran pada Irsyad soalnya kemarin dia
tak ikut madrasah magrib di mesjid Babussalam. “Iya, aku kemarin ketiduran jadi
ketinggalan madrasah Za, kamu ikut?”. “Aku selalu ikut kan Syad”, “oh iya kan
kamu belum pernah absen ya”. Sambil berjalan menuju lapangan aku mengobrol
dengannya, akupun bercerita padanya soal tadi pagi di sekolahku. Ternyata
sekolahnya juga masuk di kontingen tadi pagi tapi Irsyad tak ikut untuk menjadi
perwakilan. Padahal jika ikut kita bisa bertemu di lapangan upacara depan
sekolahku, pasti seru.
Setibanya di lapangan kami disambut oleh Jojo, Wahyu,
Frans dan Ilman. Kami selalu bermain bola tiga lawan tiga, sebenarnya ini
lapangan bulu tangkis tapi saat kosong kami selalu memakainya untuk bermain
bola. Semuanya satu madrasah denganku kecuali Frans karena dia satu-satunya
temanku di rumah yang beragama Buddha. Tapi kami semua selalu akur tak pernah
bertengkar hebat, ya mungkin pernah bertengkar kecil soal gol tapi setelah itu
kami baik kembali. Ada juga Mia, dia selalu menonton kami bermain bola, dia
juga satu madrasah denganku tapi sekarang dia belum datang ke lapangan, mungkin
sedang mengerjakan PR dulu.
Bermain bola adalah permainan yang paling
menyenangkan dan paling kutunggu-tunggu. Kami semua sama tak boleh bermain
video game setiap hari oleh orang tua masing-masing, bisa dibilang kami semua senasib
sepenanggungan. Kami hanya diperbolehkan main video game satu hari dalam
seminggu yaitu hari Minggu saja. Aku tak tahu apa orang tua kami janjian untuk
membuat peraturan itu, soalnya semua temanku sama denganku tak boleh main game
tiap hari. Aku sempat bilang seperti itu pada Jojo, dia malah tertawa.
Akhirnya Mia datang dengan sepeda warna pink
miliknya, lalu duduk di tempatnya biasa untuk duduk. Selain menonton kami
bermain bola, seperti biasa Mia selalu membawa komik untuk dibaca yang ia
pinjam di taman bacaan milik Pak RW. Komik disana lumayan banyak dan disana
adalah tempat terindah untuk Mia kunjungi tiap akhir pekan. Aku sempat sih
meminjam komik di sana tapi tak serajin Mia yang meminjam komik tiap minggu
atau bahkan bila ceritanya sudah tamat dia akan meminjam dua komik sekaligus di
akhir minggu.
Kalau sudah main bola pasti selalu lupa waktu, tak
terasa adzan Ashar sudah berkumandang. Itu tandanya untuk kami pulang ke rumah
masing-masing. Mia mendekatiku sambil bertanya, “Za, kamu tadi pagi jadi
pembawa kontingen ya?”. “Iya Mi, kamu lihat ya?”. “Lihat lah Za, kan aku satu
sekolah denganmu, gimana sih”, cetusnya. “He he he ya siapa tahu kamu ada di
barisan belakang jadi tak melihatku”, jawabku. Mia satu sekolah denganku tapi
berbeda komplek, aku di SDN Halim I sedangkan Mia di SDN Halim II. Karena satu
sekolah Mia tahu kalau di sekolah aku sering diejek oleh teman yang usil dengan
sebutan marmut. Tahu kenapa aku disebut begitu?, karena dua gigi seriku yang di
depan sangat besar jadi aku disebut marmut oleh satu orang teman yang usil.
“Za, kenapa sih teman sekelasmu ada yang memanggilmu marmut, kan itu gak
sopan”, ujarnya. “Hmmm..gigiku ini besar Mi, tuh lihat”, aku menunjukkan gigiku
pada Mia. “He he he menurutku bukan marmut Za, lebih lucu dari marmut”, ujarnya
lagi. “Apa yang lebih lucu dari marmut?”, tanyaku. “Hamster he he he”, aku
tertawa saja mendengarnya diikuti teman yang lain ikut tertawa bersama. Mereka
semua bukan menertawaiku tapi tertawa bersamaku, Mia ada ada saja. Semua jadi
tahu aku di sekolah sering diejek, tapi gara-gara cerita itu teman yang lain
juga jadi bercerita tentang dirinya masing-masing. Ternyata mereka juga sering
kena ejek salah satu teman yang usil. Dimanapun
memang selalu ada teman seperti itu, usil, jahil atau bahkan menindas. Tapi
kita tak harus membalasnya kok, anak seperti itu pasti akan kena batunya.
Kami berpisah menuju rumah masing-masing, tapi saat
hampir sampai depan rumah rasanya seperti ada yang ketinggalan. Aku ingat
topiku tertinggal di lapangan jadi aku balik lagi ke sana mengambil topiku. Semoga
topiku aman-aman saja tak diambil orang, soalnya topi itu pemberian dari ayah
saat pulang dari luar kota, kalau sampai hilang aku bakal menyesal karena tak
hati-hati dan menaruhnya sembarangan. “Seingatku topinya ditaruh di paku yang
menempel di tembok, tapi sekarang tak ada. Gawat, topiku hilang”, aku
kebingungan harus mencarinya kemana. “Tapi tadi kalau tak salah lihat, ada anak
laki-laki membawa karung di pundaknya memakai topi yang warnanya sama dengan
topiku, aku melihatnya dari belakang”, tukasku sendiri lalu memeriksa anak itu
ternyata belum jauh jadi aku coba mengejarnya untuk melihat topi itu.
Aku berjalan menyamai langkahnya dan melihat dengan
jelas topi yang dipakainya. Ternyata benar itu seperti topi punyaku. “Dek,
kalau boleh tahu topinya dapat dari mana?”, tanyaku pada anak itu, aku tidak
mau langsung menuduhnya mencuri jadi aku bertanya dulu. “Oh ini, hmmm
ini..ini”, jawaban anak itu tak jelas. Lalu anak itu malah menangis di depanku
dan kemudian mengaku topi itu dia temukan di lapangan yang dilewatinya tadi.
Aku kasihan melihatnya menangis. “Sudah dek jangan menangis, itu topi saya,
tapi kalau adek mau silakan bawa saja”, ujarku padanya. Tapi dia belum berhenti
menangis masih mengusap air mata dengan pergelangan tangannya. Lalu dengan
terbata-bata ia bercerita ingin sekali membeli topi karena tiap siang hari
selalu panas dan ia selalu kepanasan saat mencari barang bekas. Dan ia
berterima kasih padaku telah memberi topi itu padanya. Aku malah bahagia
melihat anak itu berhenti menangis dan tersenyum dengan lebar padaku saking
senangnya. Dan akupun tersenyum melangkah pulang.
Aku jadi berpikir sepanjang jalan, kasihan betul
anak itu harus mengais rejeki sendirian di siang terik atau bahkan hujan.
Sedangkan aku, aku bisa enak bermain bola bersama teman-teman. Juga kadang aku
malas mengerjakan PR dari sekolah sedangkan anak itu mungkin tak sekolah dan
ingin sekali pergi ke sekolah tapi tak bisa. Aku tak bisa membayangkan jika
harus menjadi anak itu, harus memulung untuk bisa makan dan tak bebas bermain
seperti aku dan teman-temanku. Aku rasanya ingin menangis merasakan
penderitaannya. Aku bahkan lupa bertanya namanya, bagaimanapun aku berterima
kasih padanya telah mengajariku untuk bersyukur. Semoga kamu selalu dilindungi
Allah S.W.T.
“Assalamu’alaikum, Zaki pulang”, salamku tak ada
yang menjawab, mungkin ibu sedang mengerjakan sesuatu. Sekarang sudah jam
setengah empat, aku masuk ke kamar untuk mengambil handuk, sudah waktunya
untukku mandi badanku lengket setelah tadi penuh keringat bermain bola.
Ternyata ibu sedang di dapur membuat sesuatu. “Bu, sedang buat apa?”, tanyaku.
“Oh kamu sudah pulang, ini nak ibu sedang buatkan es kelapa muda untuk ayah
buka puasa nanti”, jawab ibu. Ayah dan ibu sering shaum senin kamis seperti
sekarang, aku juga kadang disuruh untuk shaum senin kamis oleh mereka tapi kadang
aku sering tergoda untuk makan di sekolah, jadi kadang sahum senin kamisku
berhasil atau bahkan gagal.
Selesai mandi aku lalu sholat Ashar habis itu
mengerjakan PR dari sekolah. PR dari sekolah harus sudah selesai semua sebelum
pergi ke madrasah magrib nanti. Soalnya kalau belum selesai semua sepulang dari
madrasah aku selalu mengantuk, bisa-bisa PR-ku tak sempat dikerjakan. Sambil
mengerjakan PR di ruang tengah aku bercerita sedikit pada ibu soal topi yang
kuberikan pada anak tadi. Ibu memberitahuku jika memberi sesuatu harus dengan
keikhlasan. Maksudnya, jika memberi sesuatu pada orang lain jangan sampai ada
perasaan ingin dipuji orang karena itu adalah cikal bakal dari riya. Biar Allah
S.W.T saja yang menilai, jangan sampai kita hanya ingin dinilai oleh orang
lain. Karena dengan memberi kita tak tahu akan menuai hasilnya kapan.
Aku mengerti apa yang dituturkan oleh ibu, ibu
bilang padaku bahwa ia bangga dengan apa yang kuperbuat. Ibu menambahkan lagi,
dengan memberi tidak membuat manusia jadi kekurangan justru malah mendapatkan
sesuatu yaitu rasa peduli sesama manusia. Ibu lalu bercerita pengalamannya
waktu masih remaja, sewaktu SMP ibu pernah menolong adik kelasnya yang terluka,
adik kelasnya ini perempuan dan tak saling kenal sebelumnya, ia tak sengaja
terjatuh hingga lututnya berdarah. Kebetulan ibu adalah PMR (Palang Merah
Remaja) lalu ibu menolongnya dengan memberi antiseptik dan perban agar tak
terkena infeksi. Semenjak ibu lulus dan masuk SMA mereka tak pernah bertemu
lagi. Suatu waktu dompet ibu hilang di jalan saat akan pulang ke rumah, padahal
semua uang ibu ada di sana. Dan jarak dari sekolah ke rumah masih jauh, ibu
jadi tak bisa pulang naik angkot dan harus berjalan kaki. Ibu sangat panik
waktu itu, tanpa disangka saat berada di halte adik kelasnya sewaktu SMP itu
bertemu lagi dengan ibu dan melihat ibu yang sedang panik. Akhirnya adik
kelasnya itu menolong ibu dengan memberi uang yang ibu perlukan untuk pulang.
Ibu sangat tertolong sekali karena dengan begitu ibu tak pulang telat ke rumah.
“Itulah contoh kecil pertolongan Allah S.W.T hasil dari memberi”, kata ibu.
Kamu tahu? belajar bukan hanya di sekolah tapi di
manapun akan jadi tempat untuk bisa belajar. Aku belajar banyak hari ini, dari
pagi sampai sore hari aku sudah punya pengalaman yang berharga, pengalaman yang
bernilai untuk diri sendiri. PR-ku sudah selesai semua, sekarang masih jam
17.30, tapi tak ada salahnya untuk siap-siap pergi ke madrasah. “Bu, sudah mau
malam begini kok Ayah belum pulang ya?”, tanyaku pada ibu. “Oh barusan Ayah sms
ke Ibu katanya Ayah pulang agak telat”, jawab ibu. “Kenapa Bu?, tanyaku lagi.
“Kata Ayah di jalan sedang ada perbaikan jadi Ayah kena macet”, jawab ibu lagi.
Jam 17.45 aku pamit pada ibu untuk berangkat ke
madrasah. Saat membuka pintu tahu-tahu ayah pulang. “Assalamu’alaikum, Ayah
pulang”, ucap ayah. “Wa’alaikum salam, kena macet ya Yah”, tanyaku. “Iya Za,
tadi macetnya panjang. Zaki baru mau berangkat ke madrasah?, tanya ayah. “Iya
Yah, Zaki berangkat dulu, assalamu’alaikum”, ucapku. “Wa’alaikum salam, nanti
langsung pulang ke rumah”, kata ayah. “Oke Yah”, jawabku sambil berlari ke luar
rumah. Ayah bekerja di farmasi untuk angkatan bersenjata kita, TNI. Walaupun
ayah di bagian farmasi tapi ayah pernah ditugaskan untuk ikut mengamankan
wilayah di Aceh saat umurku enam tahun. Kira-kira waktu itu aku masih kelas satu
SD. Kami sekeluarga ditinggal pergi selama tiga bulan, aku hanya tahu kalau
ayah hanya berjaga di sana. Tapi saat pulang ke rumah aku diceritakan jika di
sana ayah juga bertugas sama dengan prajurit yang lain, membawa senjata. Aku
malah ngeri setelah diceritakan begitu, bagaimana kalau ayah harus saling
tembak, tapi untungnya ayah pulang dengan selamat. Sambil memikirkan tentang
ayah aku tiba-tiba sudah ada di rumah Jojo.
Seperti biasa aku dan Jojo selalu berangkat ke
madrasah bersama-sama. Aku akan ke rumahnya untuk mengajaknya pergi bersama.
Biasanya aku disuruh menunggu 5 menit, tapi sekarang Jojo sudah siap di depan
pintu jadi aku tak harus menunggunya lagi. Kami harus tiba di mesjid sebelum
adzan Maghrib berkumandang, kalau tidak kami bisa telat ikut sholat Maghrib
berjamaah. Seperti waktu itu, aku malah asyik menonton acara TV sebelum adzan
sampai-sampai tak ingat waktu saking asyiknya, akhirnya aku telat pergi ke mesjid
dan ketinggalan sholat berjamaah. Padahal sholat berjamaah lebih utama, iya
kan? Aku suka heran kenapa ada teman santri yang lain justru malah sengaja
pergi ke mesjid setelah sholat berjamaah usai, padahal kan lebih ramai sholat
di mesjid.
Pembelajaran hari ini di madrasah mesjid Babussalam
hanya sebentar karena ternyata hari ini kakak pembimbing mengadakan syukuran
untuk kemenangan lomba cross country antar mesjid yang diadakan dua minggu
lalu, Kak Janu yang membawa pialanya tadi sore. Mesjid Babussalam diwakili oleh
enam orang, Kak Janu, Kak Ridwan, Kak Anwar, Kak Radit, Kak Fiqih dan yang
terakhir aku. Aku satu-satunya anggota tim peserta lomba yang masih duduk di
bangku Sekolah Dasar. Dua minggu lalu kami harus menempuh jarak sekitar 10 km
melewati hutan kecil, bukit, sungai dan jalan setapak yang panjang. Semua tim
diberi bendera yang harus dijaga baik-baik, jangan sampai terjatuh ataupun
kotor apalagi hilang atau sobek. Kemudian ada tantangan yang harus diselesaikan
untuk tiap pos jaga. Seru sekali, karena tubuhku ringan aku yang selalu ada di
depan saat menaiki bukit dan menjaga benderanya. Akhirnya kami tiba di garis
finish saat sore hari sambil kehujanan. Walaupun begitu ternyata membuahkan
hasil, Alhamdulillah.
Acara selesai setelah sholat Isya berjamaah, aku dan
teman yang lain berjalan pulang bersama. “Za, kalau waktu itu aku gak sakit
pasti aku ikut lomba cross country bareng kamu”, cetus Jojo. “Iya sayang banget
kamu gak ikut Jo, seru padahal”, jawabku. “Ah kamu malah manas-manasin, Za”,
Mia sedikit mengomel. “Kalau aku sih mending main Playstation, mumpung hari
Minggu”, “iya betul”, ujar Irsyad dan Wahyu. “Huu kalian memang selalu
mentingin Playstation”, celoteh Ilman. Kemudian kami semua tertawa
bersama-sama.
Selagi asyik mengobrol sambil berjalan pulang
tiba-tiba ada yang menegurku dari belakang. “Hei marmut, pulang ngaji ya?”,
celotehnya lalu pergi dengan sepedanya. Dia Jason, teman sekolahku, dia yang
selalu menamai orang lain dengan seenaknya. Kami semua diam saja mendengar celotehannya.
“Za, itu si Jason kan?”, tanya Mia. “Oh itu temanmu yang selalu mengejekmu Za”,
seru Irsyad. Aku hanya diam.
“Assalamu’alaikum, Zaki pulang”, ucapku. “Wa’alaikum
salam, kenapa mukamu kusut begitu, Za?”, tanya ayah. “Nggak kenapa-kenapa Yah”,
jawabku lalu menyimpan tas ke dalam kamar. Ayah menghampiriku ke dalam kamar
dan berdiri di depan pintu. “Kamu pasti habis berantem dengan temanmu ya?”, ujar
ayah. “Bukan Yah”, jawabku. “Terus?”, tanya ayah. “Tadi di jalan Zaki bertemu
teman sekolah, dia mengejek Zaki di depan Jojo, Irsyad dan yang lain”, jawabku.
“Ngejek bagaimana?”, tanya ayah lagi. “Zaki dikatai marmut karena gigi Zaki
seperti gigi marmut”, jawabku lagi”. “Lalu kamu sakit hati ya, Zaki, kalau ada
teman yang seperti itu berarti dia tidak menghargai sesama ciptaan Allah. Zaki,
kemarin Ayah membawa durian, menurut kamu kulit durian itu bagus tidak?”, tanya
ayah. “Hmm..kurang bagus Yah, kulitnya tajam”, jawabku. “Tapi Zaki kenapa suka
durian?” tanya ayah lagi. “Karena isinya manis dan enak”, jawabku. “Nah, kita
juga sama, sebenarnya fisik kita itu tidak penting Zaki. Percuma saja kalau
fisik kita tampan atau cantik tapi perilaku kita tidak mencerminkan kebaikan.
Allah pun tidak menilai manusia dari fisiknya, Allah menilai manusia dari
akhlaknya, karena fisik bisa menipu Zaki”
Aku paham setelah ayah memberitahuku, ternyata kita
hanya harus bersyukur karena kita masih sempurna tidak diberi cacat fisik. Aku
jadi lebih setuju dengan Mia, soalnya hamster lebih lucu dari marmut. Dan
namaku adalah Zaki Zakaria, bukan marmut.
Cerpen ini dibuat bulan Desember 2015. Menurut penulis cerpen ini yang tidak bukan adalah saya sendiri, cerpen ini diikutkan lomba yang diadakan salah satu panitia lomba menulis di Jogja. Dan, cerpen ini adalah anak sulung untuk karya tulis si penulis yang tidak bukan adalah saya sendiri.
0 Comments